Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu merupakan hari nahas bagi Gugun. Senin pertengahan April lalu, ia terkena jebakan berupa jerat kawat baja bekas rem yang dipasang penduduk Desa Pasir Tamiang, Kecamatan Cihaurbeuti, Ciamis. Penduduk desa itu memang marah besar dan sedang memburunya, setelah lima ekor domba milik warga lenyap dicuri sejak sepekan sebelumnya.
Akibat jerat kawat baja bekas rem, kaki belakang Gugun bagian kanan mengalami luka parah sehingga harus diamputasi sebatas lutut, akhir April lalu. "Pembuluh darah dan saraf kaki kanan bagian bawah mati akibat terlalu lama terjerat tali rem itu," kata Zulfi Arsham, dokter hewan di Cikananga. Dan kini Gugun, si macan kumbang (Panthera pardus melas) jantan itu, lebih banyak menghabiskan waktu dengan berbaring di kandang karantina Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga, Sukabumi, Jawa Barat.
Macan kumbang yang masih berusia dua setengah tahun ini dianggap terlambat dibawa ke dokter. Ketika ditemukan terjerat di kebun bambu H. Kosim, Senin pagi, Gugun malah jadi tontonan warga desa. Warga, dibantu Gunawan, dokter Puskesmas Cihaurbeuti, membius dan memasukkan macan itu ke kerangkeng besi bekas kandang anjing. Warga membawa macan kumbang luka ini ke Mapolres Ciamis.
Dari Mapolres, Gugun diserahkan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat II. Karena tak memiliki tempat, BKSDA menitipkan macan jantan itu di PPS Cikananga, Desa Cisitu, Kecamatan Nyalindung. Lembaga swadaya yang bertujuan melestarikan kehidupan satwa liar Indonesia itu menjadi tempat penampungan 3.309 ekor binatang dari 105 jenis, mulai dari burung, mamalia, sampai reptil dilindungi.
Gugun bukan satu-satunya binatang buas di PPS Cikananga. Ada lima ekor macan tutul (Panthera pardus pardus) dan seekor macan kumbang lain di sana. Semuanya dalam kondisi fisik cacat, gigi taringnya dipotong atau ompong. Mereka disita dari warga yang memelihara hewan yang dilindungi itu. Ayu Asih, misalnya, macan kumbang betina ompong ini pernah dipelihara Gunawan Santosa (terdakwa kasus pembunuhan bos Asaba).
Pejabat Humas PPS Cikananga, Budiharto, menyatakan kondisi binatang-binatang itu sudah tidak layak dilepaskan ke alam liar. "Kalau dilepas di habitat alaminya, sama saja membiarkan dia mati karena tidak bisa mencari mangsa," katanya. Tetapi, celakanya, kalaulah hewan itu terus berada di balik kerangkeng besi di pusat penyelamatan, sama artinya dengan membiarkan penderitaan berkepanjangan bagi binatang itu. Tentu saja ini bertentangan dengan tujuan utama pendirian PPS, yaitu melepas-liarkan kembali hewan-hewan langka hasil sitaan maupun hasil penyerahan sukarela dari penduduk.
Untuk meliarkan ketujuh hewan buas itu mendekati perilaku alamiahnya, PPS Cikananga dan Departemen Kehutanan merintis pembuatan sanctuary di wilayah Cikepuh, Sukabumi. Lokasi yang dilirik PPS Cikananga adalah kawasan Suaka Margasatwa Blok Pasir Koneng Hideung, Gunung Sentul, Cikepuhsekitar 100 kilometer selatan kota Sukabumi. Mereka menginginkan habitat buatan seluas 500 hektare, dari total luas Suaka Margasatwa Cikepuh 8.600 hektare.
Tempat perlindungan ini akan menjadi rumah baru bagi Gugun dan teman-temannya. Penelitian lokasi sudah dilakukan setahun lalu. Namun, survei lapangan secara serius baru dilakukan pertengahan April 2005. Menurut Budiharto, sanctuary adalah pilihan terbaik bagi hewan karnivora cacat. "Diharapkan hewan-hewan ini bisa berkembang biak secara alami," kata Budiharto. "Nanti anakannya bisa dilepas-liarkan ke habitat alaminya."
Menurut Humas PPS Cikananga itu, lokasi yang diincar sebagai sanctuary itu statusnya sedang disewa pengacara Yapto Soerjosoemarmo sebagai taman berburu. Lokasi itu juga berdekatan dengan tempat latihan perang Kostrad. "Kami sedang melakukan pembicaraan dengan Yapto selaku penyewa maupun Kostrad untuk diajak kerja sama," kata Budiharto.
Bahkan Departemen Kehutanan hingga kini juga belum memastikan lokasi sanctuary. Juru bicara departemen, Transtoto Handadhari, menyatakan persoalan ini masih harus dibahas dan dikaji untuk menentukan luas dan batasannya. "Prinsipnya oke. Soal penduduk dan Yapto juga masih perlu dibahas," ujarnya. "Harus dibicarakan apakah dia mengontrak atau sekadar izin berburu."
Menurut Budiharto, Blok Pasir Koneng Hideung sebenarnya sangat cocok untuk tempat perlindungan. Selain cukup terpencil, tumbuhan serta binatang mangsa masih tersedia. Ada babi hutan, kijang, kancil, dan banteng. "Dulu, suaka ini sebenarnya habitat banteng. Namun, karena adanya penjarahan kayu hutan, sebagian banteng-banteng itu telah pergi," kata Budiharto.
Seorang staf PPS peneliti lokasi sanctuary, Dani Heryadi, menyatakan vegetasi di sana masih bagus. Letak yang berdekatan dengan tempat latihan perang Kostrad dan permukiman penduduk justru dianggap sebagai faktor pendukung. "Keberadaan mereka diharapkan bisa diajak kerja sama mengawasi sanctuary ini nantinya," kata Dani. Selain itu, sepuluh polisi hutan ditambah 10 personel PPS Cikananga secara bergilir akan menjaganya.
Bila rencana ini disetujui, sekeliling sanctuary akan diberi pagar kawat untuk mencegah binatang kabur maupun orang masuk. Nantinya sanctuary ini akan menjadi sebuah kawasan tertutup. Artinya, tidak boleh ada kunjungan wisatawan seperti di kebun binatang. "Kalaupun ada kunjungan, sifatnya sangat terbatas. Tidak boleh ada kunjungan secara massal," ujarnya.
Mengingat sebagian besar binatang ini telah lama menjadi hewan peliharaan, PPS Cikananga akan melakukan pemantauan. Jika nantinya sebagian besar penghuni tak bisa memangsa pakan hidup, terpaksa diberi daging segar secara berkala. "Tapi sudah kami coba, macan tutul yang kehilangan taring masih bisa memangsa ayam hidup yang dilepas di kandangnya," tutur Budiharto.
Selain menunggu persetujuan Departemen Kehutanan, PPS Cikananga masih bernegosiasi dengan donatur luar negeri. Budiharto memperkirakan dana yang dibutuhkan cukup besar, "Sekitar Rp 5 miliar."
Transtoto optimistis masalah biaya akan dapat diatasi. Selain anggaran dari Departemen Kehutanan, sumbangan dari negara donor juga akan mengalir. "Tampaknya banyak donor yang berminat membangun konservasi," ujarnya.
Dia berharap sanctuary ini akan menjadi tempat penangkaran alami macan kumbang dan macan tutul. Sebuah sekolah untuk kembali ke alam liar, bertahan hidup dengan berburu. "Jangan sampai kayak kebun binatang," ujarnya. "Bikin penangkaran macan tapi kita kasih makan, sama saja bohong. Kita ingin ini setengah liar."
Satu-satunya macan yang berasal dari alam liar, ya, Gugun itu. Meski cacat kaki, diharapkan di tempat barunya itu dia bisa berburu mangsa hidup karena giginya lengkap. Menurut Budiharto, "Perilaku Gugun masih ideal untuk dilepas-liarkan. Sayang kondisi cacat tidak memungkinkan dilepas di alam bebas, kecuali di perlindungan."
Di rumah barunya nanti, Gugun bisa kembali hidup bebas. Hidup berpasangan dengan Ayu Asih, si macan kumbang betina, dan membiakkan anak-anak macan liar.
Tjandra Dewi/Heru Catur Nugroho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo