Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lubang berukuran 50 x 60 sentimeter di ujung kamar tahanan itu membuat Sapriyadi terkesiap. Buru-buru, petugas berpangkat kopral dua marinir ini melapor ke atasannya. Tak lama berselang, ia bersama rekannya, Sersan Dua Ikhsan Joni, keluar lagi, lalu memacu sepeda motor menyusuri jalan-jalan sekitar kawasan Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Kebetulan hari masih pagi, sekitar pukul 05.30, belum terlalu banyak orang yang lalu-lalang, tapi mereka pulang dengan tangan hampa. Orang yang dicari tak ditemukan.
Begitu pula rekan-rekannya yang menyisir seluruh gedung Polisi Militer Pelabuhan Utama Angkatan Laut II. Mereka tak menemukan apa-apa setelah mencari sampai ke atap gedung. Semua petugas yang berjaga di kamar tahanan polisi militer di Jalan Gunung Sahari IV nomor 1 itu pun kelimpungan. Hari itu, 5 Mei 2005, dua tahanan, Letnan Dua Syam Ahmad Sanusi dan Kopral Dua Suud Rusli telah kabur.
Mereka bukan sembarang tahanan. Keduanya adalah pelaku pembunuhan bos PT Aneka Sakti Bhakti (Asaba), Boedyharto Angsono. Mereka menembak korban di Pluit pada 19 Juli dua tahun lalu. Pengawalnya, Sersan Kepala Edy Siyep, anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus), ikut terbunuh. Pembunuhan ini didalangi oleh Gunawan Santosa, bekas menantu Boedyharto sendiri.
Pernah berusaha kabur dari mobil tahanan, Gunawan kini telah divonis hukuman mati. Hukuman yang sama diterima oleh Syam dan Rusli lewat putusan Pengadilan Militer II-08 Jakarta pada awal Februari lalu. Keduanya juga telah dipecat dari korps marinir. Sambil menanti proses banding, mereka ditempatkan di kamar tahanan Polisi Militer Lamtamal II.
Itulah yang kemudian memberi peluang kedua narapidana hukuman mati itu untuk kabur. Menurut Kepala Dinas Penerangan Angkatan Laut, Laksamana Pertama Abdul Malik Yusuf, sel di sana bukan didesain untuk terpidana mati. Seharusnya mereka diinapkan di rumah tahanan militer. "Di sana ada penjagaan berlapis, ring satu, ring dua, dan ring tiga," kata Yusuf.
Karena Syam dan Rusli sudah mengajukan banding, secara yuridis mereka menjadi tanggung jawab Pengadilan Tinggi Militer. Kendati begitu, Angkatan Laut tak mau lepas tangan. Yusuf mengatakan, pihaknya tetap bertanggung jawab untuk menangkap mereka kembali. "Kami juga tidak ingin muncul kesan dalam masyarakat, TNI AL sengaja melepas kedua terpidana mati itu," ujarnya.
Sekitar dua jam sebelum mereka kabur, sebenarnya pengecekan telah dilakukan. Saat itu, Kapten M. Fauzi yang melakukan patroli tidak menemukan kejanggalan. Tahanan yang berjumlah delapan orang, termasuk Syam dan Rusli, dalam keadaan lengkap.
Setelah pengecekan itulah diduga mereka kabur. Petugas yang berjaga di pos sulit mengawasi semua tahanan karena deretan kamar tahanan berbentuk huruf L. Apalagi, ada gedung lain yang menghalangi pandangan. "Lokasi tahanan dengan pos penjagaan memang punya jarak yang memungkinkan si pelaku tidak terlihat oleh penjaga," kata Yusuf.
Syam dan Rusli kabur dengan cara memotong tiga batang besi sel dengan gergaji, lalu dibengkokkan ke dalam. Melalui lubang jeruji yang berada di ujung gang kamar tahanan ini, mereka naik pagar seng dekat ruang tahanan. Keduanya menyusuri teras gedung lantai II, menuju atap genteng. Mereka turun melalui pipa ke arah bangunan di samping tempat tahanan, kemudian melarikan diri.
Dari mana mereka mendapat gergaji? Inilah yang sedang diusut. Menurut Komandan Polisi Militer Angkatan Laut, Brigadir Jenderal Marinir Soenarko, pihaknya telah memeriksa 12 petugas yang berjaga hari itu. Sepuluh dari mereka kini juga telah ditahan. Mereka dinilai telah lalai dalam menjalankan tugas. "Mereka jaga, tapi lalai," ujar Kolonel Kingkin Suroso, Komandan Pom Lantamal II.
Selain itu, Polisi Militer Angkatan Laut juga telah memeriksa orang-orang yang sering membesuk Syam dan Rusli serta tahanan lainnya. Namun, siapa sebenarnya yang memberikan gergaji, belum terungkap. "Sejauh ini belum ada yang mengaku," kata Soenarko.
Lis Yuliawati, Ramidi, Agus Supriyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo