Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Delapan tumpeng terhidang di pinggir sungai, lengkap dengan lauk-pauk, sayuran, dan jajanan pasar. Ini bukan pembukaan acara lomba dayung perahu di Kali Surabaya. Lagi pula, siapa yang mau berlomba di tengah kali yang sebagian telah tercemar dan berbau menyengat itu? Ini acara ruwatan.
Ubo rampe seperti cok bakal, kembang, jarum, dan kaca sudah siap. Lima ratus orang menyesaki bantaran kali di Desa Bambe, Kecamatan Driyorejo, Gresik. Doa-doa kemudian dipanjatkan. Di puncak acara, para penganut Buddha—yang hadir—menggelar upacara fangshen atau pelepasan makhluk hidup. Sekitar 50 ribu ikan air tawar, seperti sepat, bader, kutuk, keting, dan lele, diloloskan ke kali.
Inilah cara sebagian masyarakat bantaran Kali Surabaya untuk menyehatkan sungai sepanjang 41 kilometer tersebut. Dalam tradisi Jawa, ruwatan berarti upacara pertobatan agar keluar dari mara bahaya. ”Filosofi acara ini adalah selamatkan lingkungan agar bumi terus bergerak,” kata Prigi Arisandi, ketua panitia, kepada Tempo, Senin pekan lalu.
Panitia acara ruwatan ini adalah Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) atau Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah. Digelar pada Ahad tiga pekan lalu, acara ini bermula pada tahun 2005. Niatannya, ya itu tadi, menyehatkan sungai.
Sakitkah Kali Surabaya? Kondisi airnya, terutama di sekitar muara, makin mengkhawatirkan. Hasil pengujian sampel limbah oleh Laboratorium Pekerjaan Umum Bina Marga Jawa Timur per 19 Juni 2007 menyimpulkan sungai yang membelah Surabaya ini tercemar logam berat. Datang dari tiga industri besar di Driyorejo, pencemaran ini telah melewati baku mutu. Ada zat-zat krom, seng (Ze), detergen, amoniak, dan besi (Fe).
Sepanjang Maret dan April 2007, Ecoton melakukan penelitian. Lembaga ini menyimpulkan air Kali Surabaya tak layak untuk bahan baku air minum. Kandungan oksigen terlarut mengalami penurunan drastis dari 5,08 mg/l di wilayah Cangkir menjadi 3,50 mg/l di Bambe. Daerah Bambe merupakan pertemuan Kali Surabaya dengan anak sungainya, Kali Tengah, yang menampung limbah 40 industri di kawasan Driyorejo.
Ecoton menemukan terjadinya kepunahan biota air. Punahnya makroinvertebrata ini amat berbahaya bagi ekosistem. Sebab, biota tersebut adalah makanan pokok 18 jenis ikan air tawar di Kali Surabaya. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Gresik pada 1983 mencatat 26 dari 59 pabrik berpotensi menghasilkan limbah cair.
Kini 330 ton limbah cair tumpah ke sungai ini setiap hari. Kurniawan, warga yang tinggal di dekat bantaran sungai di Karangpilang—perbatasan Gresik-Surabaya—setiap malam mencium bau menyengat. ”Air sungai menjadi kehitam-hitaman,” katanya. Dia curiga sejumlah pabrik di sepanjang sungai tengah membuang limbahnya. Menjelang pagi, warna air berangsur-angsur jernih kembali.
Padahal banyak warga yang memanfaatkan sungai. Tempo, yang menyusuri Karangpilang pada Rabu pekan lalu, melihat seorang pria mandi di bawah jembatan. Dia mandi di antara lumut dan tanaman eceng gondok. Di seberangnya, seorang perempuan separuh baya mencuci satu bak pakaian dan membilasnya di air sungai yang kotor.
Tak jauh dari tempat ia mencuci, seseorang asyik menyelam untuk mengambil cacing dari dasar sungai. Untuk minum, warga mengambil air dari sungai tersebut dengan cara mengalirkannya ke bak penampungan menggunakan pompa mesin.
Menurut Kurniawan, warga bukannya tak menyadari air sungai telah tercemar logam berat. ”Tapi bagaimana lagi? Membuat sumur di sini sulit. Airnya tidak keluar,” ucapnya. Sejak tahun 2000, ujarnya, banyak warga Karangpilang terserang gatal-gatal.
Pencemaran sebenarnya dimulai pada 1978. Ini bersamaan dengan tumbuhnya kawasan industri di Surabaya dan Gresik. ”Kontribusi terbesar pembuang polutan ke sungai adalah industri besar,” kata Suparto Wijoyo, dosen hukum lingkungan Universitas Airlangga.
Kali Surabaya berasal dari aliran Sungai Brantas di Gunung Arjuno dan Welirang. Sungai Brantas mengalir melewati Malang, Blitar, Tulungagung, Trenggalek, Kediri, Nganjuk, Jombang, dan Mojokerto sepanjang 434 kilometer. Di Mlirip, Mojokerto, aliran Brantas bercabang menjadi dua, yakni Kali Porong dan Kali Surabaya. Kali Surabaya sendiri akhirnya pecah menjadi dua, yaitu Kali Mas dan Kali Wonokromo.
Bagi Suparto, pencemaran sungai muncul akibat kepala daerah di Mojokerto, Gresik, Sidoarjo, dan Surabaya memberikan izin pendirian pabrik secara serampangan. ”Tidak menguji terlebih dulu apakah mereka memiliki alat penjernih limbah atau tidak,” katanya.
Suparto menambahkan, Gubernur Jawa Timur tidak responsif menyikapi kasus pencemaran ini. Padahal dia memiliki kewenangan mengendalikan pencemaran, seperti tertuang dalam peraturan pemerintah. Ditambah lagi, kepolisian setempat kurang proaktif menangani kasus-kasus pencemaran.
Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Pemerintah Kota Surabaya Togar Arifin Silaban membantah jika pihaknya dianggap mendiamkan pencemaran Kali Surabaya. ”Kami sudah punya program kali bersih,” katanya. Warga Surabaya sendiri mulai menyadari arti penting sungai kebanggaan warga ini.
Ecoton, misalnya, sejak 2001 melakukan pendidikan lingkungan bagi pelajar SMP dan SMA. Para siswa diajak menjadi detektif kali, dibekali pengetahuan seputar pencemaran dan penyebab-penyebabnya. Setelah itu, mereka menyusuri Kali Surabaya. Tugas utama mereka memantau kegiatan-kegiatan penyebab pencemaran.
Dalam ruwatan tahun ini, Ecoton melibatkan sebagian masyarakat sepanjang bantaran kali. Mereka juga mengundang pejabat pemerintah dan pengusaha yang pabriknya berada di tepi Kali Surabaya.
Mereka menggelar lomba melukis bagi anak-anak dengan tema ”Air Sumber Kehidupan” serta melangsungkan kegiatan pengobatan massal. Upacara fangshen di akhir acara itu bertujuan mengetuk hati siapa saja agar bersifat welas asih pada lingkungan.
Sejak ruwatan mulai ditradisikan, Prigi Arisandi memperhatikan mulai ada perubahan perilaku warga sekitar sungai. Mereka marah bila ada orang mencari ikan dengan setrum listrik. ”Kalau warga tahu, orang itu pasti dilempari,” katanya.
Kurniawan merasakan hal serupa. Menurut dia, warga Karangpilang sudah jarang sekali membuang bekas bungkus detergen dan sampah dapur ke sungai. Beberapa warga membangun WC sendiri—cermin sikap mencintai sungai mereka. Sehingga dia amat menyayangkan perilaku para pelintas di atas sungai: banyak pengemudi mobil gemar melempar sampah dari jembatan.
Untung Widyanto, Kukuh S. Wibowo (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo