Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 1980-an, redaksi majalah Zaman dimarahi lewat telepon oleh ketua umum partai politik ternama. Apa pasal? Karena majalah itu memuat kartun karya Budi Indera Cahya, staf redaksi majalah itu, yang menggambarkan Garuda Pancasila dibawa ke dokter hewan untuk berobat. Semprotan sang ketua umum partai menyatakan kartun itu dianggap tidak etis dan merendahkan lambang negara. Sang kartunis tidak menjawab, cuma cekikikan.
Dalam gerakan reformasi yang sudah berumur 9 tahun ini, kejadian yang sebenarnya memikat itu sudah tidak kedengaran lagi. Karena apa? Karena kita semua sudah dianggap dewasa. Jadi sesungguhnya kedewasaan itu tidak enak dan merugikan, karena sudah tidak dijumpai kejadian atau sikap yang konyol lagi.
Tersebutlah seorang perupa, Haris Purnomo namanya, yang tidak lelah-lelahnya memamerkan Garuda Pancasila dan ribuan bayi di Galeri Nasional Jakarta, dalam karya-karyanya. Pamerannya dibuka bukan oleh pidato seperti biasanya, melainkan oleh antrean panjang untuk berbuka puasa ke-16, pada 28 September 2007. Berpuasa dalam cuaca yang panas tentu berat, tapi alhamdulillah, terhibur oleh isi pameran yang lugas.
Di ruang depan dipajang lukisan Garuda Pancasila. Lambang negara yang jadi obsesi Haris dari tahun ke tahun ini dilukis sangat terperinci dan ornamentik. Tampak manis dan mewah, Garuda Pancasila ini malah menjadi sindiran Haris bagi para pejabat dan masyarakat pada umumnya. Tentu termasuk sang ketua umum partai yang memarahi redaksi majalah Zaman itu (atau justru sekarang siapa tahu malah mengoleksi lukisan itu seandainya ia tahu adanya pameran ini, karena zaman sudah berubah).
Kita, bagi Haris, tentu terlalu obral janji dengan Garuda Pancasila, meski sikap dan tindakan kita bertentangan dengan filosofi Garuda Pancasila itu. Bahkan di masa Orde Baru yang penuh gelora indoktrinasi Pancasila, yang tindakan dan perilaku sebagian besar pejabatnya justru bertentangan dengan Pancasila. Begitulah, ketika Orde Baru tumbang, terdengar semangat rakyat yang mengolok-oloknya dengan, ”Awas! Waspadai bahaya laten Orde Baru!”
Memamerkan sekitar 14 karya dari sejumlah lukisan di atas kanvas dan instalasi, dengan judul Alien = Nation, Haris menohok kita dengan ratusan boneka bayi. Di antaranya, dalam dua bidang foto digital, 4 x 4 meter, yang disinari dari belakang, tampak bayi berjubelan tumpang-tindih. Dalam 4 panel dengan ukuran keseluruhan 145 x 800 sentimeter, Prosesi Bayi 2 (2007) bayi-bayi yang digambarkan merangkak seolah sedang antre. Bayi-bayi itu bertato garuda di pipinya dan di antaranya memiliki sayap kecil emas di punggung, juga di telinga. Lukisan bayi itu kelihatan cukup sehat dan cerdas, yang dari penampilannya tentu tak kekurangan suatu apa. Inilah ”bayi-bayi Pancasila” hasil indoktrinasi Pancasila yang kelak ketika dewasa juga akan mengindoktrinasi Pancasila generasi berikutnya.
Sebuah bidang besar sekitar 4 x 8 meter, penuh ceker, kaki ayam, ribuan jumlahnya, Kuasa Sang Ceker (2007) sedang menerkam bayi-bayi. Ini ceker betulan yang diawetkan. Agaknya Haris bercerita, bayi itu kalah bukan oleh hal besar, melainkan oleh hal sepele, misalnya oleh kelalaian kita sebagai orang tua. Haris juga menghadirkan bayi di bangsal rumah sakit maupun rumah tangga, berjubel di ranjang bayi, dan berserakan di lantai.
Namun instalasi yang menyedot perhatian penonton seni rupa adalah ratusan boneka bayi yang dibungkus pembalut putih, berjubel di dalam jaring yang diangkut oleh sepeda maupun di atas atap oplet Austin, yang keduanya ia beri judul Nation and Character Building (2007). Di antaranya bayi-bayi itu berserakan di jalan-jalan. Hal ini mengingatkan prediksi bahwa sekitar dua juta anak bakal menjadi ”generasi yang musnah”, menjadi gelandangan, pengemis, pemulung, preman, ataupun penjahat, akibat ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola pendidikan bagi mereka.
Haris Purnomo, 51 tahun, adalah perupa heboh yang bergabung dalam Pameran Kepribadian Apa (1977 dan 1979) di Seni Sono Art Gallery, Yogyakarta, dengan idiom bayinya. Ia masih percaya, idiom bayi-bayi tetap mampu merambah kawasan realitas sosial dan punya efek yang kuat, sehingga muncullah kembali bayi-bayi itu dalam pameran ini sampai 7 Oktober 2007.
Dalam peringatan Nuzulul Quran 1428 H, pada Sabtu, 29 September 2007, di Masjid Istiqlal, Presiden Yudhoyono mengingatkan bahwa untuk melakukan perubahan menuju hari depan yang lebih baik di Tanah Air, hendaknya setiap komponen masyarakat berpikir positif, bersikap optimistis, dan menjauhkan diri dari tindakan kekerasan dan radikalisme. Sedangkan bagi Haris, masalahnya sudah jelas, dengan menghadirkan petaka Garuda Pancasila dan bencana bayi-bayi, pemerintah sedang menuju gagal negara.
Danarto, sastrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo