PERSIS sebelum masuk Kota Padang, bis ANS mengurangi kecepatan. Kenek bis pun segera berteriak, "Kita akan masuk Kota Padang, sampah jangan dibuang ke jalan. Biarkan di atas mobil, nanti kita bisa ditangkap." Pengumuman kenek bis itu bukan karena sudah ada peraturan daerah (1973) yang mengancam denda Rp 10.000 atau penjara selama 6 bulan bagi siapa pun yang buang sampah sembarangan. Tapi karena awal tahun ini dikeluarkan Perda nomor 5/1985 yang menyebutkan, kegiatan pengumpulan sampah menjadi tanggung jawab masyarakat. Padang dianggap berhasil. Ini dibuktikan dengan penelitian oleh konsultan Jerman Barat. "Kesimpulannya, pengelolaan sampah model Padang bisa disebarluaskan ke kota-kota lain di Indonesia," ucap Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Emil Salim, ketika menutup loka karya yang membahas cara mengatasi masalah sampah, dua pekan lalu, di Bukittinggi. Loka karya itu, yang dihadiri 26 wali kota dan 201 bupati seluruh Indonesia, memang telah sepakat untuk mencoba "model Padang" ini terhitung 1 Oktober nanti. Sebenarnya usaha menciptakan kebersihan kota, menurut Syahrul Udjud, wali kota Padang, sudah dimulai sejak 10 tahun lalu. Mula-mula dengan sistem bak sampah. Gagal, karena Dinas Kebersihan Kota (DPK) kewalahan. Lalu bak diganti tong, juga sama saja, gagal. Kegagalan demi kegagalan inilah yang akhirnya menelurkan Perda Nomor 5/1985 itu. Setiap rumah harus menyediakan karung atau kantung plastik. Sampah kering dan ringan dimasukkan ke dalam kantung dan, setelah penuh, diikat. Sampah keras, seperti kaca, botol, kaleng, harus masuk keranjang. Batang pisang atau pokok kayu harus ditebang sepanjang 2 meter. Semua itu, oleh pemiliknya harus ditumpuk di suatu tempat, yang ditunjuk sebagai TPS (tempat pembuangan sementara). Kemudian dengan truk, petugas dinas kebersihan pada jadwal tertentu mengambilnya untuk kemudian dibawa ke TPA (tempat pembuangan akhir). Dari penduduk dipungut uang retribusi mulai dari Rp 500 sampai Rp 1.500, menurut kemampuan. Sampah yang ada di pasar, pusat pertokoan, dan jalan-jalan besar ditarik retribusi mulai dari Rp 2.500 sampai Rp 20.000. Sebegitu jauh, cara ini berjalan mulus. Dengan berperannya LKMD atau RK/RT, ada jembatan penghubung antara Pemda dan masyarakat. Kini apabila terjadi kemacetan, masyarakat bisa memprotes atau mengadu pada LKMD atau RK/RT, atau mengadukan orang-orangnya pada Wali Kota atau Camat. Sebaliknya, apabila ada kawasan yang tidak bersih, Wali Kota bisa menegur Camat, Lurah, bahkan LKMD-nya. "Dengan sistem ini masyarakat merasa punya tempat mengadu," ujar Azwar Anas, gubernur Sum-Bar. "Dan apabila aspirasi tersalurkan, dengan sendirinya partisipasi akan tumbuh." Sukses yang dilaih Padang, ternyata, dengan usaha berat. Kota dengan luas 6.700 km dan penduduk 540.000 jiwa (kenaikan rata-rata 3,6 persen setahun), yang terdiri dari 11 kecamatan dan 193 kelurahan, setiap hari memproduksi sampah sekitar 1.100 m3, atau rata-rata setiap penduduk menghasilkan sampah 2 liter sehari. Sementara itu, DPK hanya memiliki tenaga tetap 66 orang, 21 buah truk, 40 becak sampah, dan sebuah mobil patroli kebersihan. Kekurangan tenaga dipenuhi dengan mempekerjakan tenaga musiman sebanyak 284 orang dengan upah masing-masing Rp 1.250 /shift (sehari tiga shift). Untuk mengoperasikan DPK, Pemda Padang setiap tahun mengeluarkan biaya rutin Rp 242 juta lebih. Ini berarti Pemda Padang harus memberikan subsidi Rp 100 juta lebih, karena retribusi sampah cuma Rp 125. Namun, masalah lain timbul di tempat pembuangan sampah terakhit di Lubuk Buaya yang luasnya sekitar 17 hektar. Masyarakat sekitarnya mulai diresahkan bau tak sedap yang menyengat, lalat yang melebah, dan kelapa penduduk pun banyak terserang kumbang-kumbang yang membiak dari tempat pembuangan sampah itu. "Kami tidak punya alat untuk mengubut sampah itu," ujar Syahrul Udjud ketika rekannya para wali kota yang dalam loka karya itu mencoba menguji keampuhan "model Padang" itu. Agaknya yang dianggap menjadi persoalan utama barulah sistem penanggu-langan. Apabila langkah ini sudah mantap, dengan sendirinya akan dipikirkan teknis pemusnahan, kata Asisten Menteri KLH Ir. Rachmat Wiradisuria. Toeti Kakiailatu, Laporan Fachrul Rasyid H.F. (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini