Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Ancaman Dari Belakang Knalpot

Hasil penelitian PPSDALH Unpad, menyatakan polusi udara dari asap knalpot mengandung karbon monoksida dan plumbum yang dapat membahayakan darah. Korban pertama adalah polantas.

10 Agustus 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POLANTAS Parlindungan membunyikan sempritannya. Dia menghardik seorang pengendara motor yang terus melesat meski lampu lalu lintas berubah merah. Percuma. Pengendara motor itu menghilang di kelokan jalan dan tinggal asap knalpot dan deru mesinnya yang tersisa, seakan mengejek Pak Polisi. Simpangan Cikapayang - Dago di Bandung memang terkenal padat dan sering macet. Di simpangan lain yang selalu tak pernah putus deretan kendaraan, jalan M. Toha, Bandung Selatan, Polantas Kusmaji marah-marah. Ketika dia menyeberang ke gardu jaganya, tubuhnya nyaris disenggol mobil angkutan umum yang nyelonong karena lampu hijau telah berubah ke kuning. Kusmaji, di siang hari yang panas itu, tentu saja melotot memarahi sang supir. "Tentu saja saya marah," ujar Kusmaji, "panas, capek, dan pemakai jalan terus saja menerobos lampu merah." Baik Parlindungan maupun Kusmaji bertugas 8 jam setiap hari, berpindah-pindah lokasi. Keduanya tak pernah tahu, pengaruh asap knalpot yang merasuk rongga dadanya tiap hari. Mereka cuma merasa mual di siang hari, lebih-lebih kalau pagi tidak sarapan. Kalau lalu lintas begitu padatnya, cuping hidung mereka memang merasa penuh dengan debu hitam. Parlindungan, yang sudah berdinas 3 tahun di jalan raya, menyatakan akhir-akhir ini sering mencret. Padahal Parlindungan, seperti juga kebanyakan polisi lalu lintas lainnya, kalau sedang bertugas tampak gagah (dan garang) di balik kacamata hitamnya. Itukah gejala Pak Polantas keracunan CO (karbon monoksida? yang tersedot lewat pernapasan berikut semakin tebalnya penumpukan plumbum (Pb atau timah hitam) dalam darah? Menurut penelitian yang dilakukan oleh PPSDALH Unpad (Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Universitas Padjadjaran) yang diketuai Otto Sumarwoto, tingkat polusi udara akibat buangan transportasi kini semakin membahayakan. Karena itu, "kalau sering mendapati polantas galak, itu bukan karena sikap bawaan," demikian Otto Sumarwoto, "melainkan akibat polusi." Gampang marah dan perut mual-mual, seperti yang dikatakan Otto, karena adanya kandungan Pb dalam darah pada mereka yang banyak berkecimpung di jalan raya yang padat lalu lintasnya. Selama 3 bulan akhir tahun lalu, PPSDALH telah melakukan penelitian di Bandung terhadap 66 orang responden (24 polantas, 22 supir, dan 20 penduduk dewasa biasa) untuk diperiksa kandungan Pb dan CO. Hasilnya, 46% dari 24 polantas dalam darahnya mengandung Pb di atas NAB (nilai ambang batas) WHO yang 40 mg/dl. Di antaranya ada yang mengandung Pb sampai 58,8 mg/dl. Dari 22 orang supir, 32% darahnya mengandung Pb di atas NAB. Kandungan Pb rata-rata 25,23 mg/dl, sedang yang tertinggi 49,8 mg/dl. Sedangkan pada penduduk biasa, tak satu pun yang melebihi NAB. Rata-rata cuma 12,28 mg/dl. Sebagai perbandingan, Dr. Nani Djuangsih, ahli biologi yang memimpin penelitian ini, telah membandingkan kadar kandungan Pb terhadap respondennya dengan penelitian di Cincinnati, USA. Kandungan Pb rata-rata polantas di sana, ternyata lebih rendah dari polisi Bandung hanya 30 mg/dl. Berdasarkan daerah penelitian, Djuangsih menarik kesimpulan, kadar Pb tertinggi terdapat di sekitar jalan A. Yani, Bandung, berkisar antara 3,5-6,0 mg setiap m3 udara. Volume kendaraan yang melintasi jalan itu, 2.750 buah/jam. Sedang di jalan M. Toha, dekat terminal bis Kebun Kelapa, Bandung, kadar Pb berkisar antara 1,4-3,8 mg/m3, dengan volume kendaraan sebesar 2.500/ jam. Sementara kadar Pb di Salamungkal, tempat 20 responden penduduk biasa, dengan volume kendaraan 0, kadar Pb cuma 0,3 mg/m jumlah ini boleh dibilang cuma sedikit lebih rendah dibandingkan dengan di pusat Kota Tokyo yang ramai, yang kadar kandungan Pb-nya cuma 0,9 mg/m3. Kepada Farid Gaban, Djuangsih yang telah melakukan penelitian rutin sejak 1976 menyebutkan bahwa Jalan M. Toha, meski volume kendaraannya lebih rendah dibanding dengan Jalan A. Yani, tetapi karena macet, kadar gas CO-nya untuk tiap m3, 110 ppm. Sedangkan nilai ambang batas untuk CO, 40 ppm. Bandung yang mempunyai penduduk hampir 1,5 juta, jumlah kendaraannya ada 300.840 buah. Jumlah ini menurut catatan terus meningkat sekitar 10,5% setiap tahunnya. Sebenarnya bagi setiap kendaraan bermotor ada ketentuan untuk memperoleh surat kir. Menurut Surastomo, direktur Direktorat Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya, Ditjen Perhubungan Udara, menyatakan bahwa setiap kendaraan umum, untuk mendapat surat kir harus melalui smoke tester alat untuk menguji asap knalpot. Kendaraan yang buangan asapnya mengandung CO di atas angka 75 ppm, tidak mendapat surat kir. Walhasil, jalan raya di kota-kota besar yang padat kendaraan, dengan Bandung sebagai contoh, tak aman lagi. Pemilik mobil mungkin bisa melengkapi mobilnya dengan AC. Tapi Pak Polantas? "Tugas kami di lapangan delapan jam sehari," ujar Parlindungan tegas. Tambahnya: "Sekali bertugas di lapangan, kami tak bisa bertugas di administrasi." Artinya sekalipun tak tertutup kemungkinan untuk pindah profesi, tapi pindah ke bagian lain misalnya di administrasi, hampit sulit dilakukan. Toeti Kakiailatu Laporan Biro Bandung dan Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus