Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Saran Walhi Sumbar Agar Tidak Terjadi Lagi Bencana Ekologis di Kawasan Lembah Anai

Risiko bencana ekologis di kawasan Lembah Anai telah sering diingatkan banyak pihak.

13 Mei 2024 | 20.17 WIB

Kondisi jalan nasional di Air Terjun Lembah Anai yang terban akibat diterjang banjir lahar dingin di Kabupaten Tanah Datar, Minggu, 12 Mei 2024. (Antara/Fandi Yogari).
Perbesar
Kondisi jalan nasional di Air Terjun Lembah Anai yang terban akibat diterjang banjir lahar dingin di Kabupaten Tanah Datar, Minggu, 12 Mei 2024. (Antara/Fandi Yogari).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi Sumatra Barat mengatakan perlu dilakukan evaluasi dalam pengeloan tata ruang dan lingkungan agar tidak terjadi lagi bencana ekologis seperti banjir bandang yang melanda kawasan Lembah Anai, Sumatra Barat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Setelah penanganan dampak bencana, perlu dilakukan evaluasi dan penataan ulang pemanfaatan-peruntukan ruang kawasan Lembah Anai berbasis KLHS dan analisis resiko bencana. Kegiatan pemulihan kembali fungsi sempadan sungai penting dilakukan, termasuk meng-audit dan memulihkan hulu daerah aliran sungai," ujar Direktur Walhi Sumatra Barat Wengki Purwanto kepada Tempo, Senin, 13 Mei 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 yang dimaksud KLHS adalah serangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.

Wengki mengatakan bencana ekologis yang terjadi bukanlah sekadar akibat dari cuaca ekstrem semata, melainkan juga hasil dari krisis ekologis yang terakumulasi. Oleh karena itu sangat dibutuhkan kesadaran kolektif akan lingkungan dan keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dalam konteks ini, perubahan iklim, alih fungsi lahan, dan kerusakan lingkungan menjadi faktor yang meningkatkan risiko bencana.

"Bencana ekologis terus berulang, kini dampaknya kian parah. Bencana ini, harus dijadikan momentum untuk membangun dan menumbuhkan kesadaran kolektif. Bencana banjir dan longsor tidak selalu soal ekstremnya curah hujan, tetapi krisis ekologis yang terakumulasi. Aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan harus seimbang. Jika lingkungan terus diabaikan, maka akan terus menerus memanen bencana ekologis. Saatnya kita semua meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan," ucapnya.

Tak hanya itu, dia juga menyoroti kegagalan pemerintah dalam melindungi dan melestarikan lingkungan, terutama di kawasan Lembah Anai. Dia menilai bahwa pembangunan dan pemanfaatan ruang tidak didasarkan pada kebijakan penanggulangan bencana secara menyeluruh. Tanggung jawab BKSDA Sumbar dan pemerintah daerah, khususnya Gubernur Sumatra Barat dan Bupati Tanah Datar, turut dipertanyakan atas kegagalan tersebut.

"BKSDA Sumbar harus bertanggung jawab atas pengelolaan Kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Mega Mendung, baik karena kemungkinan kelalaian ataupun kesengajaan, yang menyebabkan adanya aktivitas atau kegiatan yang mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan dan kegiatan yang tidak sesuai fungsi zona TWA, serta tidak memadukan konsep pengelolaan TWA dengan pengurangan risiko bencana (analisis risiko bencana) secara utuh," ucapnya.

Selain itu, Wengki menegaskan perlunya kebijakan konkret yang berbasis data akurat dan penegakan regulasi lingkungan yang tegas. Dia menyerukan peninjauan ulang kebijakan pembangunan, penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana, dan audit lingkungan menyeluruh sebagai langkah-langkah mendesak dalam menghadapi bencana ekologis.

Menurutnya, bencana di kawasan Lembah Anai semestinya tidak terjadi. "Kami menilai, bencana terjadi karena lalai dan gagalnya pemerintah dalam melindungi dan melestarikan fungsi lingkungan, gagal dalam melakukan penataan ruang dan gagap dalam urusan penyelenggaraan penanggulangan bencana. Risiko bencana ekologis di kawasan Lembah Anai telah sering diingatkan banyak pihak, bahkan rekomendasi-rekomendasi resmi telah diberikan kepada pemangku kebijakan," katanya.

"Gubernur Sumatra Barat dan Bupati Tanah Datar juga pihak yang bertanggung jawab terhadap bencana kawasan Lembah Anai, baik karena kemungkinan kelalaian, ataupun kesengajaan, yang menyebabkan pembangunan dan pemanfaatan ruang tidak berbasis pada kebijakan penanggulangan bencana secara utuh, termasuk belum selarasnya kebijakan penanggulangan bencana pada kebijakan pembangunan daerah. Pemerintah gagal dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana," katanya.

Menurutnya, masyarakat Sumatra Barat membutuhkan kebijakan yang sungguh-sungguh, bukan sekadar gimmick politisasi. Dalam situasi geografis yang rawan bencana, peningkatan kesiapsiagaan dan perhatian terhadap informasi resmi dari pemerintah menjadi kunci bagi pemulihan daerah tersebut.

"Kami mengajak semua pihak untuk terus memberikan dukungan kepada korban dan keluarganya, baik materil maupun immateril. Dukungan kita semua, dalam bentuk apapun, akan sangat berarti bagi korban. Semoga tim SAR dan para relawan yang membantu para korban dalam keadaan sehat, korban yang masih hilang semoga segera ditemukan, dan semoga kita semua diberi kekuatan dan dilindungi yang maha kuasa," katanya.

 

 

Fachri Hamzah

Fachri Hamzah

Kontributor Tempo di Padang, Sumatera Barat

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus