Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

KPA Ungkap Krisis Agraria dan Ekologis Indonesia Semakin Parah

KPA mengklaim krisis agraria dan ekologis semakin parah terjadi di Indonesia dalam satu dekade terakhir.

16 Oktober 2023 | 17.00 WIB

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Zenzi Suhadi, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammads Ishnur, dan Sekjen Aliansi Masyarakat Adat  Nusantara (AMAN) Erasmus Cahyadi, dalam konferensi pers pada acara Konferensi Tenurial 2023 di Gedung Serbaguna Senayan, Jakarta, Senin, 16 Oktober 2023. TEMPO/Defara Dhanya
Perbesar
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Zenzi Suhadi, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammads Ishnur, dan Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Erasmus Cahyadi, dalam konferensi pers pada acara Konferensi Tenurial 2023 di Gedung Serbaguna Senayan, Jakarta, Senin, 16 Oktober 2023. TEMPO/Defara Dhanya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sekretariat Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sekaligus Ketua Steering Committee Konferensi Tenurial 2023, Dewi Kartika, mengklaim krisis agraria dan ekologis semakin parah terjadi di Indonesia dalam satu dekade terakhir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Situasi ini adalah buah dari kebijakan ekonomi-politik dan hukum yang liberal dan kapitalistik,” ujar Dewi dalam acara Konferensi Tenurial 2023 di Gedung Serbaguna Senayan, Jakarta, Senin, 16 Oktober 2023. Tanah-tanah rakyat, kekayaan agraria, dan sumber daya alam, kata Dewi, dijadikan komoditas yang bisa diambil paksa untuk kepentingan investasi dan ragam bisnis skala besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Dalam catatan KPA selama Pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi, 2015—2022, telah terjadi setidaknya 2.710 letusan konflik agraria yang berdampak pada 5,88 juta hektar. “Letusan konflik tersebut disebabkan ragam bisnis dan investasi, pembangunan infratstruktur, pertambangan, hingga berbagai proyek-proyek strategis nasional dan pariwisata premium,” tutur Dewi.

Konflik agraria dan perampasan tanah juga telah meningkatkan jumlah petani gurem dan petani tidak bertanah di Indonesia. “Ini karena pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan dan investasi tersebut sebagian besar menarget tanah-tanah pertanian produktif rakyat,” ujar Sekjen KPA itu.

Berdasarkan Data Sensus Pertanian 2013, terdapat 11,51 juta keluarga petani yang berstatus sebagai petani gurem. Hingga 2018, guremisasi kelas petani melonjak tajam menjadi 15,8 juta keluarga atau bertambah sekitar 4,29 juta keluarga. Angka ini didasarkan pada data Badan Pusat Statistik (BPS) terkait Survey Pertanian Antar Sensus. 

Sementara pada 2021, melansir dari data BPS, sebanyak 72,19 persen petani merupakan petani gurem, di mana 91,81 persen diantaranya adalah petani laki-laki dan 8,19 persen merupakan petani perempuan. 

 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus