ISKANDAR Alisjahbana kesal. Tambak udangnya seluas 200 hektare di Serang, di tepi laut Jawa, mengalami kekeringan. Karena itu, perusahaan udang bekas rektor Institut Teknologi Bandung ini, PT Samudra Farmindo Luas (SFL), terancam kerugian besar. Pangkal mengeringnya tambak SFL adalah genangan minyak di Sungai Ciujung yang berasal dari pipa-pipa pabrik kertas dan pulp PT Indah Kiat Paper. Radius genangan itu, September lalu, diketahui mencapai 40 meter. Iskandar yakin, penyebab kekeringan tambaknya adalah pencemaran minyak Indah Kiat itu. ''Sudah lima tahun kami menggunakan air Sungai Ciujung dan tak ada masalah. Sejak Indah Kiat muncul, pencemaran langsung terasa,'' katanya pekan lalu. Bukan cuma SFL yang terkena akibat pencemaran tersebut. Penduduk sekitar, terutama para nelayan, juga merasakannya. ''Sejak ada pencemaran itu, jumlah ikan tangkapan menjadi sedikit sekali. Kalaupun ada, sudah pada mati,'' ujar salah seorang nelayan. Udang di tambak SFL, yang jaraknya 20 kilometer dari lokasi pencemaran, ikut mabuk. Menurut seorang pegawai SFL, sejak pencemaran itu terjadi, pertumbuhan udang terhambat. Jumlah panen yang biasanya 5-8 ton kini tinggal 1 ton. Produksi tahunan SFL pun menurun. Tahun 1991 produkisnya masih 1.075 ton. Tahun lalu hanya 816 ton. Merasa kerugiannya sudah terlalu besar, Iskandar minta PT Indah Kiat menanggung kerugian SFL. Pertengahan bulan lalu SFL dan Indah Kiat mengadakan pertemuan di Bapedal (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan). Kedua pihak sepakat menyelesaikan persoalan mereka melalui proses mediasi. Dari pertemuan yang ditengahi Bapedal itu, kedua pihak setuju membentuk tim untuk meneliti dampak pabrik Indah Kiat terhadap tambak SFL. ''Karena ini menyangkut tuntutan ganti rugi, diperlukan fakta-fakta. Kalau tidak ada faktanya, akan terjadi perdebatan prokol bambu,'' kata Nabiel Makarim dari Bapedal. Namun, proses mediasi itu terancam gagal. Perbedaan pandangan dalam menentukan jumlah kerugian yang harus ditanggung Indah Kiat belum bisa dipertemukan. ''Indah Kiat bohong terus dan saya merasa dipermainkan. Karena itu saya memilih perang terbuka dan mau menuntut mereka,'' kata Iskandar. Penelitian pencemaran itu kini masih ditangani Bapedal. Bersama tim Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bapedal menerjukan timnya ke lapangan sejak tiga minggu lalu. Pekan ini, Bapedal menerjunkan lagi sejumlah ahlinya. Kali ini, dibantu ahli perikanan dan ahli industri kertas dari Kanada. ''Mereka akan memberi jawaban dalam satu bulan mendatang,'' kata Nabiel. Porses pemeriksaan tim BKPM sebenarnya sudah selesai. Namun hasilnya belum bisa dijadikan patokan karena tim ini hanya meneliti baku mutu air Sungai Ciujung dengan patokan-patokan dasar yang tak spesifik, seperti COD (chemical oxygen demand), TSS (total suspended solid) dan DO (dissolved oxygen). Kadar COD dan TSS dari hasil pemeriksaan itu menunjukkan memang telah terjadi pencemaran. Nilai COD air di sekitar instalasi Indah Kiat mencapai 59,5 mg/liter, padahal normalnya 20 mg/liter. Adapun angka TSS, yang mestinya 200 mg/liter, mencapai 900 mg/liter. Namun, kadar COD dan TSS yang tinggi itu sudah mulai terakumulasi di hulu sungai, sebelum melewati Indah Kiat. Di sepanjang Sungai Ciujung memang ada sejumlah pabrik lain yang berdiri sebelum Indah Kiat. Tak bisa disangkal, kehadiran Indah Kiat memperburuk mutu air sungai. Namun, hasil pengujian BKPM itu, di sisi lain, juga tak bisa dijadikan bukti untuk menunjuk Indah Kiat sebagai biang pencemaran. Penyebab kematian udang SFL pun harus dibuktikan, apakah karena penyakit udang yang muncul karena buruknya kondisi air atau karena zat beracun yang repotnya mesti dibuktikan pula dari mana asalnya. Kalau racun berasal dari pabrik Indah Kiat, harus dihitung juga berapa kontribusinya. ''Jadi, bagaimana bisa merundingkan ganti rugi tanpa fakta-fakta ini?'' ujar Nabiel. Semua pembuktian yang membutuhkan waktu itu membuat SFL menjadi tidak sabaran. Sedangkan pihak Indah Kiat, di sisi lain, berkeras menunggu hasil penelitian tim interdepartemen (KLH, Departemen Perindustrian, dan Departemen Pertanian) yang dikoordinasi Bapedal. ''Bila hasil pemeriksaan itu menyatakan kami yang salah, kami siap memberi ganti rugi,'' kata Eka Tjipta Widjaya, bos Sinar Mas Group (induk Indah Kiat), seperti ditirukan Inke Maris, humas Indah Kiat. Kasus pencemaran Sungai Ciujung bukan pengalaman pertama Indah Kiat. Beberapa waktu lalu, pabrik kertasnya di Riau juga digugat penduduk karena mencemari sungai. Namun kasus ini dapat diselesaikan lewat mediasi. Kedua kasus tersebut mempunyai kemiripan. Pabrik Indah Kiat di Riau dan di Ciujung didirikan di tepi sungai yang sudah ramai dengan pabrik lain, dan berdekatan dengan usaha perikanan. Pabrik kertas Indah Kiat yang akan dibangun di Jambi, kabarnya, mempunyai profil lokasi yang lagi-lagi sama. Maka, bukannya tak mungkin Indah Kiat akan kembali menghadapi persoalan sama. Aneh. Mengapa pemberi izin lokasi tidak belajar dari kasus- kasus sebelumnya? G. Sugrahetty Dyan K., Ahmad Taufik, dan Andi Reza
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini