SAYA bahagia atas bantuan Dokter Kevorkian, karena saya tak mampu melakukannya sendiri.'' Itulah bunyi surat Susan Williams, 52 tahun, seorang dari 15 pasien (berusia 4173 tahun) yang meminta Kevorkian mengakhiri hidupnya. Pekan lalu, wartawan majalah Newsweek mewawancarai Dokter Kevorkian. Bagaimana Anda dihubungi pasien? Lewat surat atau telepon. Lalu saya minta catatan medis mereka untuk dievaluasi. Jika ia memang pantas ditolong, saya ke rumahnya bersama dua asisten. Sebelum euthanasia dilakukan, saya ajak dia diskusi dan direkam dengan kamera video. Patokan Anda yang pantas dibantu untuk mati itu? Dalam kasus kanker, itu jelas. Tapi untuk penyakit lain, seperti jenis pengapuran, saya memantaunya lebih dari satu ta- hun. Patokannya adalah kemunduran fisiknya? Ya. Tampaknya saya membuat pasien menderita. Hal ini saya lakukan karena mereka mempercayai saya. Mereka tahu, dengan kematian, penderitaan mereka akan berakhir. Anda juga membuat kriteria yang tak pantas ditolong? Tentu. Saya tak akan peduli pada permintaan mati penderita diabetes atau penyakit kejiwaan. Seperti apa, sih, orang yang menjelang ajal? Seperti fenomena yang ganjil. Mereka tak merasa takut. Mereka beragama, tapi tak satu pun mau mengonsultasikan soal ini. Kata mereka, dalam hal ini agama tidak relevan. Perasaan Anda sendiri bagaimana? Saya tabah. Seorang dokter memang harus begitu. Tapi saya beberapa kali menangis. Melihat seseorang mengakhiri hidupnya itu bukan peristiwa yang mengenakkan. Apakah usaha Anda ini lebih berarti ketimbang menolong pasien? Tidak. Tapi saya tidak peduli pada hukum, tidak peduli perintah, tidak peduli legislator. Yang terpenting, ada pasien di depan saya dan saya harus menyelamatkannya. Anda tidak takut dipenjara? Saya dua kali dibui. Jika Anda berjalan di lorong penjara seraya mencengkeram jeruji di kiri dan kanan, lalu seseorang tersenyum dan dari balik sel menyalami saya, buat apa saya takut? Itu yang pernah saya alami. Spd.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini