Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Selama Ramadhan dengan bising

Pendapat orang-orang di jakarta, banda aceh, surabaya & ujung pandang tentang penggunaan pengeras suara untuk azan & menabuh beduk & berteriak-teriak di waktu sahur. tanggapan 2 orang psikolog, mulyono dan daldiri m. (ling)

1 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGHUNI sebuah kompleks perumahan di Jakarta pernah menyerbu ke halaman musholla di seberang rumahnya. Kulit beduk musholla itu dirobeknya dengan klewang. Masyarakat sekitar heran dan berkomentar "Ia seorang sarjana, kok perangainya begitu." Peristiwa itu terjadi tahun lalu, ketika menjelang Hari Raya semalam suntuk beduk musholla itu tak hentinya ditabuh oleh para pemuda. Sang sarjana, yang sebetulnya terkenal taat beribadah, tak tahan lagi mendengarkan suara gaduh itu. dan meledaklah emosinya. Farid Jusuf, pedagang di kompleks itu mengatakan "Ini kan hanya sekali setahun." Juga Ny. Syamsuarni Syamsudin, pegawai pemda Sul-Teng di Ujung Pandang, tidak merasa terganggu "Hanya sekali setahun, jadi wajar," katanya. Rumahnya hanya 50 m dari mesjid yang menggunakan beduk plus pengeras suara. Nurdin laga yang tinggal di Perumnas Ujung Pandang, juga berlapang dada. "Bagi kita orang Islam hal itu suatu kewajiban," katanya saleh. Ia juga menganggap wajar kalau pemuda malam hari menjelang sahur membangunkan orang dengan teriakan. "Ini malah membantu," tambahnya. Di beberapa tempat harga rumah sekitar mesjid bisa turun akibat bunyi-bunyian yang mengganggu. Tapi "bagi orang Islam tinggal lebih dekat dengan mesjid, lebih baik," kata orang Ujung Pandang tadi. Juga sepaham Usman Yusuf, pegawai negeri dan penduduk kampung Sukaramai, Banda Aceh. "Sebagai orang Aceh, rumah harus dekat mesjid, haru puas," katanya. Tapi Usman mengakui bunyi dari pengeras suara memang mengganggu. di kampung Sukaramai, langgarnya saling berdekatan dan masing-masing punya pengeras suara. "Suara azan saja bisa beradu tiga atau empat. Tidak khidmat lagi mendengarnya," katanya kesal..... Pacik, pengurus Mesjid Agung Kuta Alam di Banda Aceh, tak pernah menerima keluhan masyarakat sekitarnya akibat bunyi-bunyian. "Maklum, di sini kan daerah Aceh. Gengsi dong," katanya. Pacik memakiumi anak-anak yang sering serampangan menabuh beduk. "Ramadhan kan merupakan puncak penantian mereka saban tahun." Ramli, penduduk kampung Tanah 80, Kelender, Jakarta, tinggal berjarak 10 meter dari langgar. Suara beduk itu baginya memantapkan suasana bulan Puasa. Namun ia juga merasa jengkel mendengarkan anak-anak keliling kampung sambil berteriak, apalagi waktu sahur. Di Surabaya, Syamsudin justru merasa kehilangan kebiasaan pemuda ini. Pengusaha muda ini belum lama tinggal di daerah Rungkut, pindah dari karmpung. Karena tidak pernah lagi dengar teriakan anak-anak, "malah sering ketinggalan waktu sahur, katanya. Niscaya Syahdu Lain pendapa seorang ibu di kampung Malang, Surabaya. "Apa iya ada dalam agama membangunkan orang dngan berteriak histeris diiringi lagu tak senonoh," ujarnya. Sedang M. Abi Agil dari Jl. KH Mansur, Surabaya, berkata "Itu tradisi jelek. Sejak anak-anak ngeluyur selama bulan puasa penyakit ayah tambah kambuh." Selama bulan puasa terdengar pengajian sepanjang malam dari pengeras suara mesjid Sunan Ampel. Mesjid tertua dan terluas di Ja-Tim ini terletak di tengah permukiman padat di kota Surabaya. Sangat hebat pengeras suaranya, apalagi di bulan puasa. Mungkinkah ini menambah pada kebisingan? M. Hafidz Majid, ta'mirul (penyemarak) mesjid itu membantah. "Kami punya muazzin yang bersuara emas, dan peralatan elektronik kami bukan sembarangan," katanya. Tapi Sjafeii Ali karenanya mengeluh "Bayi saya tak sempat tidur banyak selama bulan puasa ini." Rumah keluarga Machful Bachtiar di Jl. Pamuji, Ujung Pandang, berjarak dengan mesjid sekitar 150 m. "Saking kerasnya suara itu terdengar pecah" kata Machful. "Seandainya volume alat elektronik dikecilkan, niscaya azan tau pengajian itu terdengar syahdu." Tapi pengeras suara dari mesjid di kampung Layang Utara, mulai dibunyikan pada jam 02.00 pagi. Jl. Fadeli Luran, Ketua Umum DPP Ikatan Masjid Musholla Muttahidah menjelaskan bahwa ledakan pengeras suara di Ujung Pandang bermula pada tahun 1967. "Ada yang memasang kasetnya kemudian pergi tidur," katanya mengenang masa lalu. Kemudian IMMIM menertibkan hal ini dengan mengedarkan jadwal penggunaan pengeras suara kepada lebih 300 mesjid dan musholla di Ujung Pandang. "Umumnya jadwal ini ditaati," tutur H. Fadeli. "Tapi ada juga yang nakal. Kalau saya tahu orangnya langsung saya tegur." Di Aceh, selain beduk dan pengeras suara sirene memberi tahu waktu berbuka puasa, waktu sahur dan waktu imsak. Sirene ini selama Ramadhan menaung dari pucuk Mesjid Raya Baiturahahim Banda Aceh misalnya dan terdengar sejauh radius 4 km. Setiap saat 5 menit lamanya, bahkan waktu sahur selama 10 menit. Pedoman yang mengatur bunyi-bunyian tidak pernah ada di Aceh. Bahkan pemda sendiri turut menganjurkan supaya bulan suci Ramadhan ini disemarakkan dengan jalan apapun. Sekarang belum ada kesimpulan jelas tentang pengaruh negatif apa yang ditimbulkan oleh suara bising. Namun Dr. Mulyono MA, dosen Ilmu Psikologi di UI dan pengasuh ruang ilmu itu di teve melihatnya bgini: Kalau cahaya bercampur maka hasilnya terang. Lain halnya dengan suara. Kalau terjadi percampuran suara tanpa pola maka yang timbul adalah gaduh, bising atau complex noise. Kebisingan itu tidak semata-mata ditentukan sumber suara itu tetapi juga tergantung dari pribadi penerimanya dan sedang dalam keadaan apa si penerima itu. Orang cenderung bersikap lebih sensitif terhadap suara bikinan orang lain, ketimbang terhadap yang ditimbulkan sendiri. Memang ada orang yang karena suara azan saja merasa kebisingan. Sebaliknya ada juga yang merasakan kenikmatan bathiniah di kala mendengarkan suara azan waktu subuh. Zaman Romawi Dr. Daldiri M., psikolog di Surabaya, mengatakan bahwa semua bunyi-bunyian, asalkan tidak berlebihan, memang dibutuhkan manusia. "Kalau sedang dilanda sepi, suara cicak pun indah," katanya. Ia mengakui bahwa memang ada orang yang terpengaruh oleh bising dan merasakan iritasi. "Yang penting, asal suara itu tidak berlebihan, orang tidak akan mengalami gangguan jiwa," katanya. United Nations Environment Programme (Program Lingkungan PBB) mengemukakan dalam suatu laporan bahwa bising tidak saja bisa menimbulkan gangguan jiwa pada seseorang, tetapi juga gangguan fisiologis. Misalnya, tekanan darah dan denyut jantung meningkat, sedang berbagai otot mengencang di kala orang mendengarkan suara bising, apalagi mendadak. Di samping itu terdapat gangguan pada proses pencernaan, kontraksi otot mag terhenti, dan tubuh tidak menghasilkan zat pencernaan yang esensial. Perobahan ini memang berkurang di kala suara itu sudah dianggap biasa. Namun tetap akan ada perobahan psikologis dalam jangka waktu lebih lama, kalau tetap menyerap suara bising itu. Sejak zaman Romawi ketika dilarang melakukan pacuan kereta perang berkuda di jalan umum pada malam hari manusia telah berusaha untuk mengatur dan mengatasi gangguan yang ditimbulkan bising dan gaduh. Masyarakat modern pun makin terdorong untuk menolak kebisingan yang ditimbulkan oleh berbagai peralatan industri, transpor dar komunikasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus