BERITA terakhir tentang terjemah Qur'an HB. Jassin
koreksiannya, oleh tim yang dibentuk Departemen Agama, sudah
selesai. Ada dinyatakan oleh Penerbit Jambatan, selama menunggu
koreksian itu selama ini tidak melakukan cetak ulang--juga tidak
menarik buku terjemah yang sudah ada dari peredaran. Dengan kata
lain hanya menghabiskan persediaan sambil menunggu yang baru.
Sementara itu dari Yogya terdengar berita gembira tentang
tambahan kepustakaan Qur'an dengan sebuah tafsir yang lain lagi:
Bekas rektor IAIN Sunan Kalijaga, bekas orang Sekneg dan Pusroh
ABRI, Kol. H. Bakri Syahid (55 tahun), hampir merampungkan
penerbitan tafsir Qur'an berbahasa Jawa. Ia sendiri yang
menggubah tafsir itu dan ia pula yang memimpin penerbitnya
--Bagus Arafah, Yogya. Naskah yang kini sudah seluruhnya
selesai itu dicetak di Percetakan Persatuan, yang dikenal
sebagai milik Muhammadiyah atau kalangan itu di Yogya.
Beberapa tenaga menyertai pekerjaan Bakri Syahid. H. Djarnawi
Hadikusumo bekas ketua umum DPP Parmusi, bersama H. Muh. Djaldan
Badawi bertindak sebagai pengatur tata muka. Khat (kaligrafi)
dikerjakan oleh seorang mahasiswa IAIN di kota itu, Abdulhamid
Dimyathi. Selain itu di antara para peneliti terdapat Kyai KKRP
Haji Moh. Waran Dipaningrat, yang dikenal sebagai Penghulu
Kraton Yogya, dan Ustaz Rachmat Qosim. Untuk penerbitan yang di
harap selesai akhir 1979 itu, sudah adteks samburan Menteri
Agama H. Alamsjah Ratu Perwiranegara, Ketua Majelis Ulama DIY
Haji GBPH Prabuningrat, dan lembaran izin terbit dari Lajnah
Pentashhih Mashhaf Al Qur'an Departemen Agama bertanggal 20
Agustus 1977.
"Jawa Kitab"
Yang menarik dari tafsir Al Huda itu (yang akan berukuran 16 x
24 cm dengan tebal 960 kaca) adalah terdapatnya teks ejaan
Indonesia di bawah setiap ayat --selain terjemah di samping dan
komentar (tafsir) di bagian lain. Ini barangkali terbitan Qur'an
yang kedua yang menyertakan teks latin seperti itu. Sebuah
penerbit di Bandung, yang tak menyertakan namanya pada hasil
cetakannya, beberapa tahun lalu sudah pula melakukan hal sama.
Kebijaksanaan ini agak menarik menunjukkan bahwa orang rupanya
sudah mentolerir bacaan yang kurang fasih--didesak oleh
keharusan memenuhi kebutuhan orang yang bagaimana pun juga ingin
"membaca Qur'an." Kalangan Muhammadiyah dalam kenyataan memang
termasuk kalangan yang jauh lebih menganggap penting kandungan
makna Al Qur'an daripada sekedar bacaannya. Berbeda misalnya
dengan kalangan pesantren tradisional, di mana membaca ayat
merupakan satu keahlian yang bahkan sudah menumbuhkan ilmu-ilmu
qiraat yang tetap dipelihara, dan tak akan mungkin memprcayai
kemampuan membaca Qur'an tanpa proses belajar langsung alias
hanya lewat tulisan Latin.
Penggunaan bahasa Jawa sendiri tentu bukan yang pertama kali
dilakukan. Di Sala, di Karang Kajen, Yogya, di Semarang, atau di
kota-kota lain, pernah dahulu diterbitkan tafsir berbahasa Jawa.
Sedang tokoh Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo, almarhum, pernah
pula menerbitkan Hikmah Qur'aniyab dalam bahasa tersebut, yang
bahkan eranya menafsirkan ayat diakui Bakri Syahid sebagai
banyak dia tiru.
Belum lagi disebut kalangan pesantren--yang memang separoh dari
pengajarannya dilakukan dengan bahasa daerah. Yang unik: bahasa
Jawa pesantren, yang konon banyak dipengaruhi Jawa Cirebon,
mengenal beberapa kata sandang yang khas selain beberapa istilah
yang kemudian membentuk apa yang dikenal sebagai "Jawa kitab".
Utawi pira-pira rukune wudhu, misalnya, adalah contoh "Jawa
kitab" itu dua kata pertama digunakan hanya untuk menandai
subyek (rukun wudhu) yang ada di permulaan kalimat. Bisa difaham
terjemahan model pesantren selamanya terjemahan gramatikal. Dan
dengan terjemahan seperti itu pulalah terkenal misalnya Tafsir
Ibriz dari KH Bisyri Mustofa dari Rembang, almarhum. Tata muka
buku tafsir itu pun' khas kitab pesantren. terjemahar. diberikan
miring ke kiri bawah, berpangkal persis di bawah teks kata per
kata ayat--sementara tafsir menempati ruang lain. Semua dengan
huruf Arab.
Tetapi tafsir dengan bahasa Jawa yang seindah-indahnya, bukan
"Jawa kitab" atau terjernahan gramatikal, barangkali karya R.
Ng. Djajasugita, Qur'an Suci Jarwa Jawi Dalah Tafsiripun. Ini
terjemahan dari The Holy Qur'an Maulana Muhammad Ali --yang
sebelum Kemerdekaan dahulu sudah diterjemahkan ke bahasa Belanda
oleh Sudewo (De Heilige Quraan) dan juga dicoba ke bahasa
Indonesia (baru satuju) oleh H.O.S. Tjokroamin&to. Di sini
dipakai dengan sangat kaya bahasa ngoko yang antik (bahasa orang
yang lebih tinggi atau sama derajat) untuk bagian ayat, dan
bahasa halus (dari si pengarang) untuk tafsir. Entah bagaimana,
tafsir ini terasa "lebih Jawa" dari tafsir bahasa Jawa-nya Bakri
Syahid. Contoh, dari ayat 96 Al Baqarah:
Sudewo: Lan sayekti, sira katemu deweke iku wong kang luwih
abanget brangtane marang urip, malah luwih saka wong kang
manembah pangeran akeh sawenehe ana kang kepengin sinungana
umur sewu taun . . .
Bakri Syahid: Lan sira Muhammad bakal nyumurupi pribadine won
mau luwih dhemen-dhemene wong marang panguripan Donya ngungkuli
kabeh wong, lan ngungkuli wong kang padha Musyrik.
.Sijine-sijine wong mau dhemen yen ta umure dawa tumeka sewu
tann . . .
Rasa Persaudaraan
Tetapi, memang akan lariskah tafsir Qur'an berbahasa Jawa,
sekarang? Untuk cetakan pertama ini hanya akan terbit 5.000
eksemplar. Bukan berarti tafsir berbahasa Jawa sedikit
peminatnya. Menurut Bakri Syahid, "terasa sekali kitl bangsa
Indonesia ini masih banyak memerlukan mengetahui isi Al Qur'an
dari bahasanya sendiri-sendiri." Ia, yang sehari-harinya dosen
Kewiraan di UGM, UNS Sebelas Maret dan Ikip Yogya serta penulis
buku-buku tentang Hankamnas, Kewiraan dan Pancasila itu, lantas
bercerita tentang orang-orang Suriname, Muangthai, Filipina,
yang bertemu dengan dia dan bicara bahasa Jawa di Mekah.
Mereka misalnya mengidam-idamkan hanya buku-buku tuntunan
keagamaan dalam bahasa "nenek moyang"--maklumlah dalam bahasa
resmi negeri mereka sendiri mungkin sangat sulit. Terdorong oleh
rasa persaudaraan itulah ia menggarap tafsir itu secara
sungguh-sungguh sejak ia mundur sebagai rektor IAIN 1976,
setelah menjadi purnawirawan setahun sebelumnya -- walaupun ia
mengaku sebenarnya sudah memulai pekerjaan itu sejak 1970.
Itu berarti, dari satu segi, Bakri Syahid menghidupkan salah
satu bahasa daerah kita--Jawa, yang daya tariknya dalam sastra
dikatakan semakin pudar. Apa lagi bila tafsir ini kelak
mengalami cetak ulang. (Tafsir Ibriz dicetak ulang beberapa
kali, tapi tafsir Djajasugita agaknya tidak). Dari segi lain, ia
akan melengkapi khazanah. Walaupun bahasanya kelihatan tidak
terlalu "monumental" -- dibanding misalnya apa ang diinginkan
oleh terjemah Qur'an il.B. Jassin dalam hal bahasa Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini