Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Dari yogya, juga untuk suriname

Tafsir al huda, tafsir al quran berbahasa jawa yang ditulis bakri syahid, eks rektor iain sunan kalijaga akan terbit akhir 1979. selain terjemah dan tafsir terdapat teks latin di bawah setiap ayat.(bk)

1 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERITA terakhir tentang terjemah Qur'an HB. Jassin koreksiannya, oleh tim yang dibentuk Departemen Agama, sudah selesai. Ada dinyatakan oleh Penerbit Jambatan, selama menunggu koreksian itu selama ini tidak melakukan cetak ulang--juga tidak menarik buku terjemah yang sudah ada dari peredaran. Dengan kata lain hanya menghabiskan persediaan sambil menunggu yang baru. Sementara itu dari Yogya terdengar berita gembira tentang tambahan kepustakaan Qur'an dengan sebuah tafsir yang lain lagi: Bekas rektor IAIN Sunan Kalijaga, bekas orang Sekneg dan Pusroh ABRI, Kol. H. Bakri Syahid (55 tahun), hampir merampungkan penerbitan tafsir Qur'an berbahasa Jawa. Ia sendiri yang menggubah tafsir itu dan ia pula yang memimpin penerbitnya --Bagus Arafah, Yogya. Naskah yang kini sudah seluruhnya selesai itu dicetak di Percetakan Persatuan, yang dikenal sebagai milik Muhammadiyah atau kalangan itu di Yogya. Beberapa tenaga menyertai pekerjaan Bakri Syahid. H. Djarnawi Hadikusumo bekas ketua umum DPP Parmusi, bersama H. Muh. Djaldan Badawi bertindak sebagai pengatur tata muka. Khat (kaligrafi) dikerjakan oleh seorang mahasiswa IAIN di kota itu, Abdulhamid Dimyathi. Selain itu di antara para peneliti terdapat Kyai KKRP Haji Moh. Waran Dipaningrat, yang dikenal sebagai Penghulu Kraton Yogya, dan Ustaz Rachmat Qosim. Untuk penerbitan yang di harap selesai akhir 1979 itu, sudah adteks samburan Menteri Agama H. Alamsjah Ratu Perwiranegara, Ketua Majelis Ulama DIY Haji GBPH Prabuningrat, dan lembaran izin terbit dari Lajnah Pentashhih Mashhaf Al Qur'an Departemen Agama bertanggal 20 Agustus 1977. "Jawa Kitab" Yang menarik dari tafsir Al Huda itu (yang akan berukuran 16 x 24 cm dengan tebal 960 kaca) adalah terdapatnya teks ejaan Indonesia di bawah setiap ayat --selain terjemah di samping dan komentar (tafsir) di bagian lain. Ini barangkali terbitan Qur'an yang kedua yang menyertakan teks latin seperti itu. Sebuah penerbit di Bandung, yang tak menyertakan namanya pada hasil cetakannya, beberapa tahun lalu sudah pula melakukan hal sama. Kebijaksanaan ini agak menarik menunjukkan bahwa orang rupanya sudah mentolerir bacaan yang kurang fasih--didesak oleh keharusan memenuhi kebutuhan orang yang bagaimana pun juga ingin "membaca Qur'an." Kalangan Muhammadiyah dalam kenyataan memang termasuk kalangan yang jauh lebih menganggap penting kandungan makna Al Qur'an daripada sekedar bacaannya. Berbeda misalnya dengan kalangan pesantren tradisional, di mana membaca ayat merupakan satu keahlian yang bahkan sudah menumbuhkan ilmu-ilmu qiraat yang tetap dipelihara, dan tak akan mungkin memprcayai kemampuan membaca Qur'an tanpa proses belajar langsung alias hanya lewat tulisan Latin. Penggunaan bahasa Jawa sendiri tentu bukan yang pertama kali dilakukan. Di Sala, di Karang Kajen, Yogya, di Semarang, atau di kota-kota lain, pernah dahulu diterbitkan tafsir berbahasa Jawa. Sedang tokoh Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo, almarhum, pernah pula menerbitkan Hikmah Qur'aniyab dalam bahasa tersebut, yang bahkan eranya menafsirkan ayat diakui Bakri Syahid sebagai banyak dia tiru. Belum lagi disebut kalangan pesantren--yang memang separoh dari pengajarannya dilakukan dengan bahasa daerah. Yang unik: bahasa Jawa pesantren, yang konon banyak dipengaruhi Jawa Cirebon, mengenal beberapa kata sandang yang khas selain beberapa istilah yang kemudian membentuk apa yang dikenal sebagai "Jawa kitab". Utawi pira-pira rukune wudhu, misalnya, adalah contoh "Jawa kitab" itu dua kata pertama digunakan hanya untuk menandai subyek (rukun wudhu) yang ada di permulaan kalimat. Bisa difaham terjemahan model pesantren selamanya terjemahan gramatikal. Dan dengan terjemahan seperti itu pulalah terkenal misalnya Tafsir Ibriz dari KH Bisyri Mustofa dari Rembang, almarhum. Tata muka buku tafsir itu pun' khas kitab pesantren. terjemahar. diberikan miring ke kiri bawah, berpangkal persis di bawah teks kata per kata ayat--sementara tafsir menempati ruang lain. Semua dengan huruf Arab. Tetapi tafsir dengan bahasa Jawa yang seindah-indahnya, bukan "Jawa kitab" atau terjernahan gramatikal, barangkali karya R. Ng. Djajasugita, Qur'an Suci Jarwa Jawi Dalah Tafsiripun. Ini terjemahan dari The Holy Qur'an Maulana Muhammad Ali --yang sebelum Kemerdekaan dahulu sudah diterjemahkan ke bahasa Belanda oleh Sudewo (De Heilige Quraan) dan juga dicoba ke bahasa Indonesia (baru satuju) oleh H.O.S. Tjokroamin&to. Di sini dipakai dengan sangat kaya bahasa ngoko yang antik (bahasa orang yang lebih tinggi atau sama derajat) untuk bagian ayat, dan bahasa halus (dari si pengarang) untuk tafsir. Entah bagaimana, tafsir ini terasa "lebih Jawa" dari tafsir bahasa Jawa-nya Bakri Syahid. Contoh, dari ayat 96 Al Baqarah: Sudewo: Lan sayekti, sira katemu deweke iku wong kang luwih abanget brangtane marang urip, malah luwih saka wong kang manembah pangeran akeh sawenehe ana kang kepengin sinungana umur sewu taun . . . Bakri Syahid: Lan sira Muhammad bakal nyumurupi pribadine won mau luwih dhemen-dhemene wong marang panguripan Donya ngungkuli kabeh wong, lan ngungkuli wong kang padha Musyrik. .Sijine-sijine wong mau dhemen yen ta umure dawa tumeka sewu tann . . . Rasa Persaudaraan Tetapi, memang akan lariskah tafsir Qur'an berbahasa Jawa, sekarang? Untuk cetakan pertama ini hanya akan terbit 5.000 eksemplar. Bukan berarti tafsir berbahasa Jawa sedikit peminatnya. Menurut Bakri Syahid, "terasa sekali kitl bangsa Indonesia ini masih banyak memerlukan mengetahui isi Al Qur'an dari bahasanya sendiri-sendiri." Ia, yang sehari-harinya dosen Kewiraan di UGM, UNS Sebelas Maret dan Ikip Yogya serta penulis buku-buku tentang Hankamnas, Kewiraan dan Pancasila itu, lantas bercerita tentang orang-orang Suriname, Muangthai, Filipina, yang bertemu dengan dia dan bicara bahasa Jawa di Mekah. Mereka misalnya mengidam-idamkan hanya buku-buku tuntunan keagamaan dalam bahasa "nenek moyang"--maklumlah dalam bahasa resmi negeri mereka sendiri mungkin sangat sulit. Terdorong oleh rasa persaudaraan itulah ia menggarap tafsir itu secara sungguh-sungguh sejak ia mundur sebagai rektor IAIN 1976, setelah menjadi purnawirawan setahun sebelumnya -- walaupun ia mengaku sebenarnya sudah memulai pekerjaan itu sejak 1970. Itu berarti, dari satu segi, Bakri Syahid menghidupkan salah satu bahasa daerah kita--Jawa, yang daya tariknya dalam sastra dikatakan semakin pudar. Apa lagi bila tafsir ini kelak mengalami cetak ulang. (Tafsir Ibriz dicetak ulang beberapa kali, tapi tafsir Djajasugita agaknya tidak). Dari segi lain, ia akan melengkapi khazanah. Walaupun bahasanya kelihatan tidak terlalu "monumental" -- dibanding misalnya apa ang diinginkan oleh terjemah Qur'an il.B. Jassin dalam hal bahasa Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus