Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Apa itu panca agama

Keterangan harsya bactiar tentang pendidikan agama di sd, sekolah menengah & perguruan tinggi sehubungan dengan isu pendidikan panca agama. ada rencana diajarkan di perguruan tinggi menurut hm rasyi di pendidikan agama islam di sma belum lengkap. (pdk)

1 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALKISAH, Departemen P & K punya ide untuk memperbaharui pendiikan agama di Indonesia dalam kurikulum di perguruan tinggi. Bagaimana? Di luaran santer terdengar, bahwa Departemen P&K mau merubah pelajaran agama di seluruh tingkat sekolah, SD maupun menengah. Disebut-sebut bahwa pendidikan agama para murid tidak akan lagi menurut agama yang dianut murid itu, melainkan 5 agama yang ada di Indonesia sekaligus akan diajarkan kepada setiap murid. Disebut-sebut pula sudah ada sebuah buku yang siap untuk itu. Benarkah? Setelah diselidiki, buku seperti itu memang ada, karangan Yusuf Abdullah Puar, Tapi buah tangan penulis Islam itu bukan hasil dari P & K, melainkan inisiatif pribadi yang direstui oleh segenap Dirjen Bimas Departemen Agama. Menurut keterangan pihak P&K, buku ini tak diajarkan di sekolah-sekolah. Demikianlah, isyu itu pun, setelah memperoleh penjelasan, kemudian mereda. Tapi apa sebenarnya pendidikan panca agama itu? "Sebenarnya tidak ada istilah panca agama," kata Dr. Harsya Bachtiar, 45 tahun, Ketua Konsorsium Antar sidang--satu konsorsium di bawah Ditjen Pendidikan Tinggi yang salah satu tugasnya menyusun konsep pendidikan agama di perguruan ringgi. Bekas Direktur LEKNAS itu lalu menceritakan sebab musababnya diadakan penyusunan konsep baru untuk merubah pendidikan agama di perguruan tinggi. "Pendidikan agama di universitas seharusnya lain dengan di SD dan sekolah menengah. Di SD dan sekolah menengah, lebih menekankan kepada pembentukan kepribadian, jadi ditekankan pada iman dan keyakinan menurut agama masing-masing." Sementara di universitas, kata Harsya "dengan asumsi para mahasiswa itu telah tebal iman dan keyakinannya" sebagai golongan terpelajar mereka perlu mengetahui pengerahuan dasar mengenai agama-agama besar di Indonesia. Dalam satu masyarakat yang seperti Indonesia ini--beberapa agama sekaligus hidup dan berkembang dalam masyarakat -- dibutuhkan rasa roleransi yang besar. Apalagi bagi mahasiswa. "Supaya nantinya mereka bisa bekerjasama dengan orang yang menganut agama lain," tutur Harsya. Adakah juga direncanakan untuk pendidikan di SD dan sekolah menengah? "Anak-anak seusia SD dan sekolah menengah masih mengembangkan kepribadiannya. Jadi pelajaran agama bagi mereka masih perlu menekankan pada iman dan keyakinan pada agama sendiri masing-masing," jawab Harsya. "Tapi ini bukan pelajaran ilmu perbandingan agama. Karena membandingkan agama-agama mendorong orang untuk menilai agama lain. Dan maksud pendidikan agama di perguruan tinggi, meski direncanakan memberikan pengetahuan dasar semua agama, bukan itu." Harsya pun memberi contoh. Seorang kepala kantor akan lebih memahami kenapa seorang pegawainya minta izin tak masuk kantor untuk menunaikan ajaran agamanya, bila dia tahu tentang agama orang itu. Dan contoh yang mudah saja, orang Islam masuk masjid dengan melepas sandal atau sepatu dan biasanya hanya bersarung dan berpeci. Orang Kristen masuk gereja dengan pakaian seperti kalau dia mau ke pesta. "Nah, andai ada orang Kristen yang maksudnya ingin menghormati masjid, lalu ia masuk masjid seperti kalau dia masuk gereja, apa kata orang Islam? " Mempertebal Toleransi Contoh yang diberikan Harsya barangkali terlalu sepele dan dicari-cari. Tapi merubah pendidikan agama di perguruan tinggi, menurut Menteri P&K pekan lalu, "untuk lebih mempertebal toleransi beragama." Hanya saja dengan mempelajari lima agama termasuk agama yang dipeluk, apakah seorang mahasiswa tak tergoda membanding-bandingkannya dan lalu terbuka kemungkinan berpindah agama. "Bisa diinstruksikan kepada para pengajarnya dan mahasiswa bahwa dalam pelajaran tak diijinkan memperbanding-bandingkannya. Tapi di luar pelajaran, terserah kepada mahasiswa itu sendiri," kata Harsya. "Yang penting, masing-masing agama diberikan olehahlinya." Kini sedang dipersiapkan oleh konsorsium itu satu buku untuk pendidikan agama di perguruan tinggi. "Penyusunnya dari masing-masing agama. Tapi metode penulisannya diseragamkan." Toh, ada suara keras yang diam-diam menentang gagasan tersebut. Prof. Dr. HM Rasyidi, 64 tahun, mengatakan kepada TEMPO: "Ini adalah usaha dari sekelompok orang yang ingin menghilangkan sifat-sifat Islam yang ada di Indonesia." Agaknya, yang menjadikan Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Hukum UI ini keras menentangnya, adalah "ada yang belum tercakup dalam pendidikan agama Islam di tingkat SMA." Dan yang belum tercakup itu, menurutnya, di SMA tidak diajarkan bahwa Islam "bisa menanggulangi soal-soal yang dihadapi manusia di dunia modern ini." Juga disebutnya pendidikan agama di SD dan SMP masih belum intensif benar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus