ALKISAH, Departemen P & K punya ide untuk memperbaharui
pendiikan agama di Indonesia dalam kurikulum di perguruan
tinggi. Bagaimana? Di luaran santer terdengar, bahwa Departemen
P&K mau merubah pelajaran agama di seluruh tingkat sekolah, SD
maupun menengah. Disebut-sebut bahwa pendidikan agama para murid
tidak akan lagi menurut agama yang dianut murid itu, melainkan 5
agama yang ada di Indonesia sekaligus akan diajarkan kepada
setiap murid.
Disebut-sebut pula sudah ada sebuah buku yang siap untuk itu.
Benarkah? Setelah diselidiki, buku seperti itu memang ada,
karangan Yusuf Abdullah Puar, Tapi buah tangan penulis Islam
itu bukan hasil dari P & K, melainkan inisiatif pribadi yang
direstui oleh segenap Dirjen Bimas Departemen Agama. Menurut
keterangan pihak P&K, buku ini tak diajarkan di sekolah-sekolah.
Demikianlah, isyu itu pun, setelah memperoleh penjelasan,
kemudian mereda.
Tapi apa sebenarnya pendidikan panca agama itu?
"Sebenarnya tidak ada istilah panca agama," kata Dr. Harsya
Bachtiar, 45 tahun, Ketua Konsorsium Antar sidang--satu
konsorsium di bawah Ditjen Pendidikan Tinggi yang salah satu
tugasnya menyusun konsep pendidikan agama di perguruan ringgi.
Bekas Direktur LEKNAS itu lalu menceritakan sebab musababnya
diadakan penyusunan konsep baru untuk merubah pendidikan agama
di perguruan tinggi. "Pendidikan agama di universitas
seharusnya lain dengan di SD dan sekolah menengah. Di SD dan
sekolah menengah, lebih menekankan kepada pembentukan
kepribadian, jadi ditekankan pada iman dan keyakinan menurut
agama masing-masing."
Sementara di universitas, kata Harsya "dengan asumsi para
mahasiswa itu telah tebal iman dan keyakinannya" sebagai
golongan terpelajar mereka perlu mengetahui pengerahuan dasar
mengenai agama-agama besar di Indonesia.
Dalam satu masyarakat yang seperti Indonesia ini--beberapa agama
sekaligus hidup dan berkembang dalam masyarakat -- dibutuhkan
rasa roleransi yang besar. Apalagi bagi mahasiswa. "Supaya
nantinya mereka bisa bekerjasama dengan orang yang menganut
agama lain," tutur Harsya. Adakah juga direncanakan untuk
pendidikan di SD dan sekolah menengah? "Anak-anak seusia SD dan
sekolah menengah masih mengembangkan kepribadiannya. Jadi
pelajaran agama bagi mereka masih perlu menekankan pada iman dan
keyakinan pada agama sendiri masing-masing," jawab Harsya.
"Tapi ini bukan pelajaran ilmu perbandingan agama. Karena
membandingkan agama-agama mendorong orang untuk menilai agama
lain. Dan maksud pendidikan agama di perguruan tinggi, meski
direncanakan memberikan pengetahuan dasar semua agama, bukan
itu."
Harsya pun memberi contoh. Seorang kepala kantor akan lebih
memahami kenapa seorang pegawainya minta izin tak masuk kantor
untuk menunaikan ajaran agamanya, bila dia tahu tentang agama
orang itu. Dan contoh yang mudah saja, orang Islam masuk masjid
dengan melepas sandal atau sepatu dan biasanya hanya bersarung
dan berpeci. Orang Kristen masuk gereja dengan pakaian seperti
kalau dia mau ke pesta. "Nah, andai ada orang Kristen yang
maksudnya ingin menghormati masjid, lalu ia masuk masjid seperti
kalau dia masuk gereja, apa kata orang Islam? "
Mempertebal Toleransi
Contoh yang diberikan Harsya barangkali terlalu sepele dan
dicari-cari. Tapi merubah pendidikan agama di perguruan tinggi,
menurut Menteri P&K pekan lalu, "untuk lebih mempertebal
toleransi beragama." Hanya saja dengan mempelajari lima agama
termasuk agama yang dipeluk, apakah seorang mahasiswa tak
tergoda membanding-bandingkannya dan lalu terbuka kemungkinan
berpindah agama.
"Bisa diinstruksikan kepada para pengajarnya dan mahasiswa bahwa
dalam pelajaran tak diijinkan memperbanding-bandingkannya. Tapi
di luar pelajaran, terserah kepada mahasiswa itu sendiri," kata
Harsya. "Yang penting, masing-masing agama diberikan
olehahlinya."
Kini sedang dipersiapkan oleh konsorsium itu satu buku untuk
pendidikan agama di perguruan tinggi. "Penyusunnya dari
masing-masing agama. Tapi metode penulisannya diseragamkan."
Toh, ada suara keras yang diam-diam menentang gagasan tersebut.
Prof. Dr. HM Rasyidi, 64 tahun, mengatakan kepada TEMPO: "Ini
adalah usaha dari sekelompok orang yang ingin menghilangkan
sifat-sifat Islam yang ada di Indonesia."
Agaknya, yang menjadikan Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas
Hukum UI ini keras menentangnya, adalah "ada yang belum tercakup
dalam pendidikan agama Islam di tingkat SMA." Dan yang belum
tercakup itu, menurutnya, di SMA tidak diajarkan bahwa Islam
"bisa menanggulangi soal-soal yang dihadapi manusia di dunia
modern ini." Juga disebutnya pendidikan agama di SD dan SMP
masih belum intensif benar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini