Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

S-t-a-t-u-s, kamerad

Jabatan sekretaris jenderal partai dan presiden soviet dirangkap oleh andropov. selain praktis, penyatuan kembali jabatan juga melambangkan masalah status, yakni tambah kuatnya sang sekretaris jenderal.

30 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM memoarnya yang baru saja terbit, bekas presiden Amerika, Richard Nixon, bercerita tentang kunjungannya ke Uni Soviet tahun 1959. Ketika itu Nikita Krustjov baru saja muncul sebagai orang kuat baru dan menjadi sekretaris jenderal Partai Komunis. Yang menjadi presiden adalah Vososhilov, pensiunan jenderal yang terkenal kepemimpinannya dalam Tentara Merah selama Perang Dunia Kedua. Tapi dalam memoarnya itu, Leaders, Nixon tidak hanya bicara tentang diplomasi global dengan Krustjov yang katanya suka menggertak. Yang menarik dari pengalaman Nixon adalah soal status. "Suatu waktu, saya berjalan dengan Voroshilov di depan, sedang Krustjov mengikuti saja di belakang. Saya agak rikuh karena tahu betul bahwa yang berkuasa sebenarnya Krustjov, sedang Presiden Voroshilov hanya untuk urusan seremonial. Karena itu saya memperlambat langkah supaya Krustjov bisa menyusul dan berjalan berdampingan bertiga. Tapi Krustjov menolak dengan mengatakan bahwa ia tahu tempatnya dalam urutan protokoler," tulis Nixon. Ternyata Brezhnev, yang kemudian menggantikan Krustjov sebagai sekretaris jenderal PKUS, lama-kelamaan tidak begitu tahan dengan urutan protokoler yang pura-pura itu. Sebab semua orang tahu sekretaris jenderal PKUS lebih berkuasa dari presiden Uni Soviet. Tapi karena jabatan itu tidak dirangkap, maka selalu terjadi kerikuhan -- khususnya menghadapi tamu-tamu asing, dan jika mengunjungi luar negeri. Akhirnya pada tahun 1971 Brezhnev juga merangkap jabatan presiden. Sehingga kalau jalan bertiga, sekretaris jenderal PKUS tidak perlu lagi menguntit di belakang presiden dan tamu agungnya seperti dialami Krustjov. Tradisi ini pun diambil alih oleh sekretaris jenderal PKUS yang menggantikan Brezhnev, Yuri Andropov. Baru-baru ini Andropov juga diangkat sebagai presiden Uni Soviet. Pemisahan jabatan presiden dengan sekretaris jenderal PKUS merupakan bagian dari proses destalinisasi yang dilancarkan Krustjov. Kalau satu orang main borong jabatan penting dalam negara, maka kecenderungannya menjadi diktator bertambah kuat. Untuk mencegah kultus individu inilah jabatan presiden dipisahkan dari sekretaris jenderal PKUS. Untuk jadi sekretaris jenderal PKUS terjadi persaingan habis-habisan. Maklum saja, nama permainannya kekuasaan. Siapa jadi sekretaris jenderal PKUS harus hati-hati dalam tindakan. Salah melangkah saja di tangga kantornya, bisa-bisa para pengamat Kremlin (kremlinologist) di Barat pada saling berkata: "Oh, dia pasti sakit. Lihat saja, melangkah satu tangga sudah harus dipapah. Tapi sakit apa? Kalau kaki yang tidak kuat diangkat, bisa karena kesemutan akibat duduk terlalu lama. Tapi masyarakat sampai harus ditolong. Mungkin lebih serius, reumatik. Tapi kan bisa telan obat terus tokcer. Pasti salah satu: lever atau ginjal". Akibatnya keluarlah ramalan yang begitu banyak dan simpang-siur, yang akhirnya sirna setelah minggu berikutnya sang sekretaris jenderal dengan angkah tegap seperti komandan upacara melangkahkan kakinya. Orang yang jadi presiden sebaliknya hanya berfunsi untuk upacara-upacara formal. Yang dipilih juga orang-orang yang pribadinya bakal kalah pamor dari sang sekretaris jenderal, misalnya Voroshilov ataupun Podgorny. Walaupun anggota Politbiro dan dilibatkan dalam soal-soal penting, pejabatnya masih bisa santai. Akhir pekan masih sempat ke dacha. Kalau ingin ke luar negeri tinggal bilang saja ke sekretaris jenderal, nanti diatur. Lagipula tidak perlu pusing-pusing, karena tombol hotline dengan Gedung Putih ada di meja sekretaris jenderal. Jadi kalau dunia lagi terancam, yang pertama kali tahu adalah sekretaris jenderal. Ini terus berlangsung, sampai akhirnya Brezhnev menganggap pemisahan jabatan itu menjadi kurang praktis. Misalnya, kalau mau KTT, yang berangkat justru sekretaris Jenderal, sedang presiden jaga gawang. Selain soal praktis, penyatuan kembali jabatan juga melambangkan masalah status, yakni tambah kuasanya sang sekretaris jenderal. Kalau Andropov diangkat sebagai presiden, ini berarti konsolidasi kekuasaannya sudah mantap. Pemimpin-pemimpin negara lain haruslah menganggap dialah yang "pegang kendali", formal maupun informal, lewat jalan depan sebagai presiden maupun lewat jalan belakang menurut tradisi intel yang lama digumulinya. Status sekretaris jenderal yang kuat sekarang ikut dilimpahkan pada jabatan presiden, sehingga status presiden pun jadi tinggi. Di negara-negara lain, soal status memang sudah dianggap salah satu bentuk telanjang 'kekuasaan'. Kalau orang jadi kepala atau pimpinan instansi, kursinya saja sudah lain. Pegawai-pegawai lain kursinya biasa saja: dari kayu yang keras pun tidak apa, supaya jangan ambeien. Organisasi modern makin memperlihatkan kecenderungan hierarhikal, dalam 'pandangan pertama' pengunjung instansi itu. Di pintu luar ada penjaga yang selalu siap bilang: "Tunggu dulu, saya lihat Bapak ada atau sedang ke luar". Di pintu dalam ada sekretaris yang tidak kalah jelinya. Itulah yang sebenarnya sudah diramalkan Max Weber dalam teori sosiologinya, dengan menyatakan bahwa karena pemegang kekuasaan adalah manusia juga, status merupakan salah satu pencerminan kekuasaan. Bentuknya bisa macam-macam: kursi yang mendul-mendul, rumah dinas yang lain sendiri, ujung jalan yang bebas hambatan ataupun tulisan All the buck stop here, seperti pada meja presiden Amerika Serikat, untuk menunjukkan bahwa tanggung jawab kenegaraan terakhir diambil oleh orang yang duduk di belakang meja itu. Akibatnya, masyarakat penuh orang yang mencari status, status-seekers, yang bermacam bentuknya. Pemimpin-pemimpin negara komunis tadinya bangga dengan tradisi puritan dan egalitarian yang digagaskan Marx. Orang seperti Ho Chi Minh ke mana-mana pakai sandal. Mao Tse Tung menghapuskan kepangkatan dalam Tentara Pembebasan Rakyat-nya. Tapi adanya privilise dan status-seekers di negara komunis sudah sejak tahun 1950-an dikhawatirkan intelektual Yugoslavia Milovan Djilas, dengan tuduhannya tentang 'kelas baru'. Kiranya, penyatuan jabatan sekretaris jenderal dengan presiden di Uni Soviet, seperti dilakukan Brezhnev dan Andropov, memperkuat pengamatan Weber. Bahwa pada dasarnya manusia itu ....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus