Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - Gunung Anak Krakatau kini tengah dalam proses rekonstruksi atau pembangunan kembali tubuhnya. Berdasarkan riset terbaru, sekitar separuh badan gunung api di Selat Sunda itu hancur saat letusan 22 Desember 2018 yang disusul kejadian tsunami. Pertumbuhannya tergolong cepat dan senyap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Subbidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Barat Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana (PVMBG) Nia Haerani mengatakan, hingga saat ini tidak ada aktivitas erupsi atau letusan dari Gunung api Anak Krakatau. “Aktivitas didominasi oleh pelepasan gas-gas vulkanik berupa hembusan di atas puncak atau kubah lava,” katanya Jumat, 21 Mei 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gunung yang muncul dari dasar laut itu, menurutnya, sedang membentuk kubah lava seiring proses keluarnya batuan dari titik letusan pada 22 Desember 2018. Batuan dari perut bumi itu menumpuk hingga membentuk morfologi seperti kubah dan bisa semakin tinggi.
Menurut vulkanolog dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Mirzam Abdurrachman, pertumbuhan Gunung Anak Krakatau tergolong cepat. “Setelah letusan 2018 yang muncul ke permukaan sekarang 150-200 mdpl,” katanya, Rabu, 19 Mei 2021. Sebelum letusan, ketinggiannya 333 meter dari permukaan laut (mdpl).
Berdasarkan risetnya, pertumbuhan Anak Krakatau bisa cepat karena gunung itu punya dua faktor pengisi magma. “Berkaitan dengan subduksi dan lapisan mantel bumi, jadi satu wadah diisi dua sumber,” ujarnya.
Mirzam mengatakan terhitung sejak 2010-2018, gunung itu membangun kembali dan meletus hampir setiap dua tahun sekali. Kini polanya agak berbeda, yaitu sudah lebih dari dua tahun atau lebih lama dari biasanya. “Sekarang mau tiga tahun, kita lihat saja perkembangannya sebagai tanda peringatan,” katanya.
Dengan letusannya pada 2018 yang diiringi tsunami ke selatan Sumatera dan barat Jawa dan memakan korban jiwa, aktivitas Gunung Anak Krakatau perlu dipantau bersama oleh peneliti dan lembaga terkait. Pantauan dari citra satelit, menurut Mirzam, bisa diakses secara langsung (real time), selain pantauan dari pos pengamatan gunung api.