Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Siapa Gemar Main Api

Sebagian besar hutan yang terbakar ada di lahan gambut. Proyek satu juta hektare menjadi ancaman.

2 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Deru suara buldoser mengiringi rembetan api yang melahap kayu di lahan milik PT Sarana Titian Permata. Sie Ai Kiong, estate manager di perusahaan itu, hanya bisa menyaksikan dari jauh jilatan api tersebut. Sementara itu, buldoser terus mengeruk kayu-kayu sisa kebakaran yang terjadi di Kecamatan Danau Sembuluh, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah.

Kepada wartawan yang menemuinya di Danau Sembulan awal September lalu, Ai Kong membantah melakukan pembakaran untuk pembukaan lahan (land clearing). ”Api berlangsung secara sporadis, berpindah-pindah dan sulit dideteksi karena berada di dalam hutan,” katanya ketika itu. ”Yang melakukan pembakaran sulit diketahui.”

Namun, Rabu pekan lalu, Kepala Polres Persiapan Seruyan AKBP Andi Fairan menyatakan bahwa PT Sarana Titian Permata dan PT Hamparan Mas Sawit adalah pelaku pembakaran hutan. ”Kami tinggal mencari tersangka utamanya,” ujar Fairan kepada Tempo. Ai Kong termasuk salah satu manajer yang diperiksa kepolisian.

Dua perusahaan itu ternyata milik pengusaha Malaysia di bawah grup PT PPB Oilpalm Bhd-Malaysia. Dan keduanya menjadi bagian dari 17 perusahaan perkebunan besar sawit yang disinyalir Gubernur Kalimantan Tengah Teras Narang sebagai pelaku pembakaran hutan di wilayahnya.

Andi Fairan masih menunggu hasil penelitian sampel tanah yang dilakukan Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan Institut Pertanian Bogor (IPB). Laboratorium yang dipimpin Bambang Hero Saharjo ini memang selalu dimintai bantuan oleh Markas Besar Polri untuk menyidik kasus kebakaran hutan yang terjadi pada setiap musim kemarau.

Sejumlah polda di Indonesia memang mengerahkan penyidiknya keluar-masuk hutan. Mereka bekerja sama dengan penyidik dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Departemen Kehutanan menjerat perusahaan yang secara sengaja membakar hutan.

Tim itu aktif bergerak setelah akhir bulan lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo turun tangan. Presiden meminta kebakaran hutan segera dihentikan karena asapnya mengganggu Singapura dan Malaysia.

Perintah Presiden tersebut ditunggu semua pihak. Maklum, dari tahun ke tahun kasus pembakaran hutan terus saja berulang. Untuk tahun ini, musim pembakaran memang terlambat dibanding sebelumnya. Berdasarkan data satelit Asian Specialist Meteorology Center, Singapura, hingga awal bulan ini titik panas (hotspot) menyebar di sejumlah daerah.

Di Pulau Sumatera, titik panas yang terpantau paling banyak terdapat di Provinsi Riau, selanjutnya berturut-turut di Jambi dan Sumatera Selatan. Sedangkan di Kalimantan sudah terpantau titik panas di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Dari 19 Juli sampai 7 Agustus di kedua pulau ini muncul 18.267 titik api.

Jumlah titik panas di Kalimantan Barat meningkat tajam pada Agustus dibanding di Riau. Di Kalimantan Barat terdapat 7.163 hotspot, sementara di Riau muncul 3.344 titik api. Kebakaran hutan dan lahan ini sebagian besar berada di lahan gambut, yang memberikan kontribusi asap 10 kali lipat dibanding asap di lahan kering. Dari catatan Kantor Menteri Lingkungan Hidup, kebakaran hutan di Sumatera sekitar 31,8 persen terjadi di lokasi hak pengusahaan hutan (HPH) dan 46,3 persen di masyarakat. Sedangkan di Kalimantan sebanyak 41,12 persen di lokasi HPH dan 34,67 persen di masyarakat.

Bambang Hero, yang sejak tahun 2000 turun ke daerah meneliti kasus ini, melihat sejumlah kejanggalan. ”Hampir semua kebakaran hutan di Riau dan Kalimantan diduga ada unsur kesengajaan,” ujar doktor tentang kebakaran hutan dari Universitas Kyoto, Jepang, ini.

Menurut Bambang, ada beberapa modus operandi yang dilakukan pelaku pencurian kayu yang berujung pada pembakaran hutan secara sengaja. ”Tujuannya jelas untuk mengelabui aparat penegak hukum soal penyebab kebakaran,” kata Bambang, yang tiga bulan ini membantu kepolisian di Kalimantan dan Sumatera.

Menteri Negara Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar, juga berpandangan sama. ”Saya menganggap ini adalah pembakaran hutan, bukan kebakaran hutan. Ada sejumlah pihak atau oknum tertentu yang sengaja membakar hutan untuk maksud tertentu,” kata Rachmat.

Motif pertama adalah mendapatkan kayu secara ilegal. Bambang mencatat tujuh perusahaan—milik warga Indonesia, Malaysia, dan Singapura—yang mencuri kayu, lalu membakar hutan. Dari kunjungan ke lapangan setelah terjadi pembakaran hutan, Bambang melihat tunggul pohon bekas potongan gergaji mesin.

Motif kedua adalah mempercepat pembersihan lahan. Misalnya yang dilakukan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kotawaringin Timur dan Seruyan di Kalimantan Tengah. Koordinator Save Our Borneo (SOB), Nordin, menemukan bahwa pembakaran dilakukan malam hari pada blok yang baru dibuka dan berdekatan dengan hutan. ”Bila api menyebar ke hutan, maka yang disalahkan adalah masyarakat yang melakukan pembakaran,” ujarnya. Satu blok luasnya mencapai 20 hektare.

Di Riau, cara serupa dilakukan PT Subur Arum Makmur dan PT Riau Andalan Sentosa, yang berlokasi di Kabupaten Rokan Hulu. Menurut Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan, Masnellyarti Hilman, luas wilayah yang dibakar PT Subur untuk pembersihan lahan sekitar 150 hektare. Namun, jika dihitung selama 2006, katanya, akumulasinya sekitar 4.000 hektare yang sebagian sudah ditanami sawit. Motif ketiga, pembakaran dilakukan guna menaikkan kadar pH tanah. Pada lahan gambut di Kalimantan dan Sumatera, pH-nya sekitar 3-4. Kondisi ini membuat komoditas perkebunan kelapa sawit dan akasia tidak cocok tumbuh. Dengan melakukan pembakaran, abu yang tersisa mampu menaikkan pH tanah menjadi 5-6 sehingga layak ditanami. Pimpinan PT Adei Plantation & Industry yang berlokasi di Bengkalis, Riau, mengakui motif itu ketika bersaksi di pengadilan.

Karena itulah, koalisi LSM di Riau meminta pemerintah segera menghentikan pemberian izin konversi atau pembukaan lahan di atas tanah gambut. ”Sudah saatnya pemerintah Indonesia memberlakukan moratorium konversi hutan gambut menjadi HTI dan perkebunan kelapa sawit,” kata Hapsoro, regional forest campaigner dari Greenpeace South East Asia. Selain itu, pemerintah diimbau membuat tata guna kawasan hutan yang mengakomodasi kepentingan ekologi dan sosial.

Menurut Ahmad Jazali, Wakil Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau, tahun ini pemerintah mencanangkan pembukaan satu juta hektare lagi hutan rawa gambut di Riau. Lahan itu bakal dijadikan hutan tanaman industri dan perkebunan sawit. Jika rencana ini terealisasi, pembakaran hutan seperti yang dilakukan Sie Ai Kiong dan ratusan cukong lainnya terus menjadi-jadi.

Untung Widyanto, Deffan Depurnama, Karana W.W. (Palangkaraya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus