Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Dakwah dengan Kompor dan Senyum

Setelah Amerika, giliran Inggris memasukkan Jemaah Tabligh ke dalam kelompok teroris. Di Indonesia, kelompok ini menghindari politik dan perbedaan pendapat.

2 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemuda itu beringsut mendekati nampan berisi nasi di dalam masjid tua di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Ia menggabungkan diri dengan sejumlah rekannya yang sudah duduk mengelilingi nampan berwarna merah. Kaki kanan mereka terlipat dan menjadi penopang ke lantai, kaki kiri melipat dengan lutut menekan ke arah perut. ”Beginilah cara kami makan,” kata Misbah, pemuda asal Brebes, Jawa Tengah, itu. ”Duduk bersama, seperti yang diajarkan Rasulullah.”

”Kami” yang dimaksud Misbah adalah kelompok jemaah yang sudah puluhan tahun menjadikan Masjid Jami’ Kebon Jeruk sebagai markas kegiatan mereka. Secara formal, kelompok ini tidak memiliki nama. Namun kebanyakan orang menyebut mereka Jemaah Tabligh. ”Ada juga yang menyebut kami Jemaah Kompor atau Jemaah Silaturahmi,” kata Misbah. Nama itu muncul karena, ketika berdakwah ke daerah-daerah, mereka sering membawa kompor untuk memasak dan senang bersilaturahmi.

Bulan lalu, nama Jemaah Tabligh mencuat setelah MI6 memasukkan mereka ke dalam daftar kelompok teroris. Badan intelijen Inggris itu mengklaim

berhasil mengorek keterangan dari satu tersangka kasus pengeboman 7 Juli 2005, yang mengaku anggota Jemaah Tabligh.

Tudingan serupa pernah dilontarkan badan intelijen Amerika Serikat, Central Intelligent Agency (CIA), pada 2003. Amerika mensinyalir kelompok yang sering melakukan khuruj (dakwah keliling) itu merupakan salah satu sumber rekrutmen Al-Qaidah untuk melakukan aksi teror.

Anggota Jemaah Tabligh di seluruh dunia, tak pelak, merasa resah. Tindakan itu dianggap tidak adil, apalagi mengaitkan gerakan mereka dengan Al-Qaidah. ”Kami tidak pernah bicara politik. Tuduhan itu kebohongan besar dari Amerika dan sekarang dilakukan Inggris,” kata Abdul Rahman Khan, tokoh Jemaah Tabligh Amerika Serikat, seperti dikutip New York Times.

Jemaah Tabligh merupakan gerakan dakwah keliling yang diilhami ulama India Syeikh Muhammad Ilyas Kandhalawi (1885-1944). Dari anak benua India, gerakan ini menyebar ke seluruh dunia. Gerakan ini memikat banyak orang termasuk bekas kapten tim kriket Pakistan Said Anwar dan penyanyi Junaid Jamshid.

Anggota Jemaah Tabligh membiayai khuruj dari kantong mereka sendiri. Mereka menabung uang hasil bekerja dan kemudian menggunakannya untuk melakukan perjalanan. Sering kali mereka harus meninggalkan anak-istri dalam waktu lama.

Di Indonesia, Jemaah Tabligh telah dikenal sejak 1952. Gerakan ini mulai marak 20 tahun kemudian. Mereka biasanya keluar-masuk kampung, dari satu mushala ke mushala lain, atau dari satu masjid ke masjid lain. Mereka biasa berkelana melintas batas negara.

Umumnya mereka singgah dan menginap tak lebih dari tiga malam di tempat ibadah itu. Mereka mengajak warga sekitar meramaikan tempat ibadah dengan kegiatan keagamaan seperti salat berjamaah. Tidak ada balasan yang mereka harapkan kecuali pahala.

”Kami tidak ingin menyusahkan orang lain,” kata Misbah. Itulah sebabnya, selama menjalankan khuruj, para anggota jemaah membawa kompor. ”Untuk mengurangi biaya, kami masak sendiri.”

Anggota jemaah selalu menekankan ibadah sunah seperti yang dicontohka Nabi Muhammad SAW, misalnya salat dhuha, tahajud, dan rawatib. Mereka juga berusaha berpenampilan dan bertingkah laku laiknya Nabi dan para sahabat: memelihara jenggot, berjubah atau gamis, menebar salam dan senyum, dan bersiwak.

Meski bersikap ramah, kehadiran mereka tak jarang memantik kecurigaan. Dengan atribut khas salafi tadi, mereka sering dikaitkan dengan kelompok Islam fundamentalis atau aliran-aliran agama tertentu. ”Perlakuan itu kami anggap sebagai ujian. Ikhlas dan sabar adalah kuncinya,” kata Jumhori, anggota Jemaah asal Pontianak, Kalimantan Barat.

Bagi Jumhori, kecurigaan dan fitnah semacam itu memang sulit dielakkan.

Karena itu, sejak awal anggota Jemaah selalu diingatkan untuk tidak membahas masalah politik, perbedaan pendapat para ulama, dan membicarakan aib orang lain, golongan, atau masyarakat tertentu. Menyinggung masalah pangkat, derajat, maupun status sosial pun merupakan pantangan. ”Meminta sumbangan termasuk yang dilarang,” katanya.

Bagaimana dengan tuduhan teroris? Jumhori secara tegas menilai itu sebagai fitnah. ”Nabi dan sahabat-sahabatnya dulu juga mendapat fitnah, dan mereka tetap berdakwah.” Ayah dua anak itu pun tak menyurutkan tekad untuk melakukan khuruj ke Pakistan. Hanya waktu yang akan menunjukkan siapa yang benar.

Suseno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus