Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HIDUP Mira Agustina, 28 tahun, kembali terguncang. Kabar mengejutkan itu datang di pagi buta, awal pekan lalu. Suaminya, Umar al-Faruq, yang menghilang empat tahun lalu, dikabarkan tewas dalam penyergapan pasukan Inggris di Basrah, kota bagian selatan Irak, 24 September lalu.
Berita yang disampaikan juru bicara Resimen Kerajaan Pangeran Wales, Mayor Charles Burbridge, itu tak disertai bukti visual. Namun, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Syamsir Siregar, berani memastikan: ”Benar itu al-Faruq.” Syamsir mengaku telah mengecek ke ”counterpart”-nya pekan lalu. ”Dia sudah mati.”
Nama Umar al Faruq dikenal setelah dokumen intelijen Amerika membeberkan dirinya sebagai bagian dari jaringan teroris Al-Qaidah di Asia Tenggara. Kepala Divisi Humas Markas Besar Polri, Inspektur Jenderal Paulus Purwoko, malah membenarkan bahwa Al-Faruq tak pernah masuk daftar tersangka polisi.
Faruq ditangkap BIN di Masjid Raya Bogor, Baranangsiang, pada 5 Juni 2002. Ini diakui Muchyar Yara, mantan Asisten Kepala Bidang Sosial Kemasyarakatan BIN, yang bergerak setelah dapat info intelijen Filipina, Singapura, dan Amerika Serikat.
Di Indonesia, keberadaan Faruq pertama terendus oleh Dinas Rahasia Amerika, CIA, yang menyebut Faruq pernah mengikuti latihan Al-Qaidah di kamp Khaldan, Afganistan, pada 1990. Lelaki kelahiran Kuwait, 1971, ini sempat ke Filipina Selatan pada 1995 dan bergabung dengan Front Pembebasan Islam Moro (MILF) di kamp Abu Bakar. Ia juga membantu Agus Dwikarna memimpin laskar Jundullah dalam konflik Poso.
Di Makassar, Faruq menetap antara 8 Februari 1998 dan Februari 1999. Ia sempat ditangkap Imigrasi Makassar karena tidak bisa berbahasa Indonesia. Faruq juga pernah menetap di Batu Merah, Ambon.
Menikahi Mira Agustina pada 1999, sejak itu ia menetap di Bogor. Sejak itulah BIN merekam aktivitas Faruq melalui telepon yang digunakannya. Ia diketahui berhubungan dengan Parlindungan Siregar, warga Indonesia yang ditahan polisi Spanyol karena dituduh teroris. Juga dengan Agus Dwikarna, yang ketika itu ditahan polisi Filipina karena tuduhan membawa bahan peledak.
Sejak ditangkap BIN, kabar tentang Faruq menghilang. Belakangan diketahui ia kabur dari penjara superketat di Bagram, Afganistan. Konon, setelah kabur, ia bergabung dengan pejuang Taliban dan belakangan diketahui berada di Irak.
Pengamat intelijen, Dynno Chressbon, yang mengaku sempat menjalin kontak dengan petinggi milisi Al-Mehdi, kelompok milisi Syiah terbesar di Basrah, mengungkapkan, keberadaan Al-Faruq di Basrah dalam rangka mengincar kepentingan tentara Australia di Irak. Wilayah selatan Irak ini memang diduduki pasukan Australia dan Selandia Baru, yang dipimpin pasukan Inggris.
Intelijen Al-Mehdi yang memonitor perbatasan negeri itu menginformasikan, selama 20 hari terakhir Al-Faruq aktif keluar-masuk Irak, Yordania, dan Suriah. Faruq bergabung dengan kelompok Rabiatul Mujahidin yang berafiliasi ke Al-Qaidah. Kelompok ini biasa bergerak dalam unit yang beranggotakan 14 hingga 20 orang.
Dua bulan lalu, Faruq dideteksi meninggalkan Pakistan dan bersembunyi di Mesir sebelum menuju Basrah. Di wilayah berpenduduk mayoritas Syiah ini, Faruq memperoleh perlindungan dari kelompok Anshar al-Islami, minoritas Sunni di Basrah.
Selain oleh tentara asing, Faruq juga diincar kelompok milisi Syiah, sebab, sebelumnya, kelompok Faruq, seperti halnya Abu Musab al-Zarkawi, menyerang masjid-masjid kelompok Syiah.
Kelompok Al-Mehdi sendiri belum bisa memastikan apakah yang tewas benar Al-Faruq. Mereka belum mempercayai pernyataan pejabat setempat. ”Al-Qaidah biasanya akan mengakui bila benar anggotanya tewas,” kata Dynno.
Ramidi, Oktamanjaya, Dimas Adityo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo