Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Siberut Terancam Hutan Industri

Pemerintah mengizinkan pembukaan hutan tanaman industri di Pulau Siberut, yang ditetapkan sebagai cagar biosfer oleh UNESCO. Mengancam satwa endemis, flora yang dilindungi, dan tanaman obat Mentawai.

18 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CUACA yang cerah di musim panen cengkih dan pinang yang melimpah di Desa Saibi Samukop, Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, pada April lalu tak membuat bahagia Melki Sanene. Kepala suku Sanene itu gundah memikirkan nasib lahan sukunya yang akan diambil alih perusahaan hutan tanaman industri (HTI). “Betapa jahat perusahaan HTI. Tanah kami yang ada di peladangan ditebas semua. Itu sumber kehidupan banyak orang yang dimusnahkan,” ujar Melki, 60 tahun.

Bagi orang Mentawai, kata Melki, tanah dan hutan diwariskan untuk diolah turun-temurun, karena setiap generasi butuh lahan untuk hidup. Namun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 24 Desember 2018 mengeluarkan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI) untuk PT Biomass Andalan Energi di Siberut, termasuk di lahan suku Sanene, pemilik tanah paling luas di Desa Saibi Samukop.

Area konsesi yang diperoleh PT Biomass itu luasnya 19.876,59 hektare yang merupakan bekas hak pengusahaan hutan Koperasi Andalas Madani milik Universitas Andalas, yang berhenti beroperasi pada 2007. Area itu membentang di Siberut Tengah dan Siberut Utara, meliputi Desa Saibi Samukop dan lima desa lain: Cempungan, Sirilogui, Saliguma, Bojakan, dan Sotboyak.

Mendapatkan izin menteri, PT Biomass bergerak cepat. Mereka mengumpulkan perwakilan suku-suku pada 8 April lalu untuk mensosialisasi ganti rugi terhadap tanaman masyarakat. Ganti rugi itu, menurut Melki, betul-betul membuat masyarakat merugi. “Saya tinggalkan rapat itu karena banyak yang tidak dapat saya terima,” ucap mantan Kepala Desa Saibi Samukop itu.

Ganti rugi tanaman cengkih ditetapkan Rp 150 ribu-1,5 juta per batang, karet Rp 100-300 ribu per batang, kelapa Rp 150-300 ribu per batang, pinang Rp 50-200 ribu per batang, dan kayu jati Rp 100 ribu-1,5 juta per batang. Tanaman kebun, seperti ubi, keladi, pisang, dan nanas, dengan luas 1 hektare diganti Rp 1,5 juta dan Rp 3 juta untuk yang lebih dari 1 hektare. “Diiming-imingi ratusan juta mungkin kita tergiur, tapi saat itu saja dapat uang. Kemudian selamanya kita menderita kehilangan tanah dan semua sumber hidup,” ujar Melki.

Aksi penolakan terhadap perusahaan HTI itu pun muncul. Daudi Satoko, mahasiswa asal Saibi Samukop yang mantan Ketua Forum Mahasiswa Mentawai, contohnya, beberapa kali memimpin demonstrasi di Siberut. “Masyarakat bingung karena perusahaan HTI tiba-tiba datang menawarkan ganti rugi tanaman dan akan menggusur ladang,” kata Daudi.

Padahal, menurut Daudi, itu semua sumber kehidupan masyarakat di Saibi. “Dari tanaman pinang saja dalam 1 hektare bisa menghasilkan Rp 2 juta setiap bulan. Belum termasuk hasil penjualan cengkih, kopra, dan manau,” ujarnya. Apalagi perusahaan juga membabat pohon-pohon sagu yang menjadi sumber makanan pokok di Mentawai.

PT Biomass Andalan Energi membuka hutan tanaman industri di Siberut untuk menghasilkan pelet kayu, yang merupakan bahan bakar energi terbarukan pengganti batu bara. Kapasitas produksi pabrik pelet kayu itu 200 ribu ton setahun. Untuk kebutuhan listrik pabrik itu, pada tahun kedua, perusahaan akan membangun pembangkit listrik tenaga biomassa berdaya 10 megawatt.

Direktur PT Biomass Andalan Energi Syamsu Rizal mengatakan perusahaannya berinvestasi lebih dari Rp 1 triliun di Siberut. Menurut dia, dari seluruh luas area konsesi HTI, hanya 9.356 hektare yang akan ditanami kaliandra, gamal, dan lamtoro. “Selebihnya untuk pengelolaan sistem tebang pilih tanam jalur seluas 2.133 hektare, area buffer zone dengan kawasan Taman Nasional Siberut seluas 4.282 hektare, dan sisanya untuk keperluan jalan dan base camp,” tutur Syamsu.

Dengan tegas Syamsu mengatakan perusahaannya beroperasi di kawasan hutan produksi. “Izinnya ada. Kalau ada dampak lingkungannya, akan kami tanggulangi sesuai dengan kajian di amdal,” katanya. Dia menerangkan, hutan di lokasi HTI akan dibuka secara bertahap. “Kayunya bisa dimanfaatkan untuk pembuatan wood pellet- dan sebagian kayu gelondongan dijual, mungkin akan kami pasok untuk kebutuhan Kawasan Ekonomi Khusus Mentawai, yang akan segera dibangun di Siberut,” ujar Syamsu.

Masuknya HTI ke Pulau Siberut, yang ditetapkan Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sebagai cagar biosfer pada 1981, akan mengancam keanekaragaman hayati di pulau tersebut. Menurut ahli primata Mentawai dari Jurusan Biologi Universitas Andalas, Padang, Rizaldi, pembukaan HTI akan mengancam empat primata endemis Mentawai, yakni bilou (Hylobates klossii), bokoi (Macaca siberu), simakobu (Simias concolor), dan joja (Presbytys potenziani). “Bila HTI masuk, tidak ada harapan hidup bagi primata itu, ya habis semua,” katanya.

Bilou, primata endemis Mentawai, di Pulau Siberut. TEMPO/Febriyanti

Keempat primata endemis itu, menurut Rizaldi, sangat bergantung pada tegakan pohon karena tidak pernah turun ke lantai hutan. “Mereka hidup di atas pohon serta makan daun dan buah dari berbagai jenis tumbuhan hutan, terutama buah ara,” ujarnya.

Pulau Siberut menjadi cagar biosfer karena memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Merujuk pada dokumen analisis mengenai dampak lingkungan PT Biomass, di dalam kawasan konsesi terdapat 27 jenis pohon, 3 di antaranya dilindungi, yaitu pelahlar (Dipterocarpus hasselthii), durian (Durio zibethinus Murr), dan durian hutan (Durio griffithii).
Ada juga 15 jenis mamalia, yang 9 di antaranya dilindungi. Termasuk pula 27 jenis burung, 5 di antaranya dilindungi, serta 16 spesies reptil, 7 di antaranya dilindungi.

Peneliti tanaman obat dari Universitas Andalas, Amri Bachtiar, juga khawatir terhadap hilangnya kekayaan tanaman obat Mentawai. Penelitian Amri pada 2012 bersama Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional di Dusun Sirisurak serta di Desa Bojakan dan Monganpola, yang menjadi lokasi HTI, tak menemukan 23 jenis tanaman obat yang biasa digunakan dan 10 jenis tanaman yang kerap dipakai oleh sikerei (dukun).

Menurut Amri, hal ini menandakan tanaman itu sudah langka. “Eksploitasi hutan skala besar seperti HTI akan menghilangkan tanaman obat khas,” kata Amri. “Apalagi kalau yang ditanam kaliandra. Itu jenis tumbuhan yang ekspansif, dengan cepat akan mengalahkan tanaman asli.”

Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai Rifai Lubis mengatakan adanya HTI akan mempertinggi risiko bencana banjir di lokasi karena ada tiga sungai yang masuk area konsesi. “Banjir sudah menjadi bencana rutin di Pulau Siberut, termasuk di Saibi, karena sungai-sungai yang meluap merupakan daerah hulu dan daerah tangkapan air yang telah mengalami eksploitasi penebangan,” ujar Rifai. “Kami meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencabut IUPHHK-HTI PT Biomass Andalan Energi,” katanya.

Dia juga menuntut komitmen pemerintah terhadap penetapan cagar biosfer di Siberut. “Kami juga meminta Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai mendampingi masyarakat menghadapi perusahaan HTI, jangan dibiarkan masyarakat menghadapinya sendiri,” ucap Rifai.

Wakil Bupati Mentawai Kortanius Sabeleake mengatakan Bupati Yudas Sabagalet pernah mengirimkan surat kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang permohonan peninjauan ulang peta arahan pemanfaatan hutan produksi di Siberut sebagai HTI. Disebutkan dalam surat itu kebijakan mengalokasikan HTI di Pulau Siberut sangat bertentangan dengan upaya mitigasi perubahan iklim. “Sampai sekarang kami tetap menolak, tapi tidak bisa berbuat apa-apa karena kawasan konsesi HTI itu berada dalam hutan produksi dan menjadi kewenangan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” kata Kortanius. 

FEBRIANTI (SIBERUT)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus