Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Cacar Monyet di Negeri Singa

Untuk pertama kalinya, penyakit monkeypox alias cacar monyet dilaporkan masuk ke Asia Tenggara. Penularan dari manusia ke manusia jarang terjadi.

18 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baru dua hari mengikuti lokakarya di Singapura, seorang pria warga Nigeria tergolek lemas di kamar hotelnya di Geylang. Pria yang tiba di Singapura pada 28 April lalu itu mengalami panas-dingin, sakit otot, dan demam. Ruam pun muncul di kulitnya. Ia terpaksa meringkuk di kamar hotel hingga dilarikan ke rumah sakit pada Selasa, 7 Mei lalu.

Diagnosis dokter membuat otoritas Singapura turun tangan. Kementerian Kesehatan mengumumkan pria itu menderita penyakit yang sebelumnya tak ada di negara tersebut, yakni monkeypox alias cacar monyet. “Pasien tersebut mengatakan, sebelum tiba di Singapura, ia menghadiri pernikahan di Nigeria dan mungkin mengkonsumsi daging binatang buruan,” demikian pernyataan Kementerian Kesehatan Singapura di situsnya, Kamis, 9 Mei lalu.

Cacar monyet adalah penyakit langka yang menular dari hewan. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi virus monkeypox, yang bergenus Orthopoxvirus—satu genus dengan virus va-riola yang menyebabkan cacar (smallpox)—dengan familia Poxviridae. Penyakit tersebut endemis di desa-desa di Afrika Tengah dan Barat yang dekat dengan hutan hujan tropis, tempat sering terjadinya kontak antara manusia dan hewan yang terinfeksi.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan cacar monyet pada manusia pertama kali terdiagnosis pada 1970. Penyakit ini sering dijumpai di perdesaan di hutan Cekungan Kongo dan Afrika Barat. Sembilan puluh persen luas hutan Afrika berada di Cekungan Kongo, yang menjadi rumah bagi banyak satwa. Hingga kini, ada sepuluh negara di Afrika yang melaporkan temuan penyakit tersebut. Jumlah kasus bervariasi, dari satu sampai belasan per negara. Hanya Republik Demokratik Kongo—sebagian wilayahnya berupa hutan hujan—yang mengadukan lebih dari 1.000 kasus per tahun.

Tiga puluh tiga tahun setelah ditemukan pada manusia, cacar monyet dilaporkan keluar dari Afrika. Pada 2003, pemerintah Amerika Serikat mengabarkan ada 47 kasus yang terjadi hampir bersamaan di negaranya. Dari hasil penyelidikan, penyakit tersebut rupanya dibawa oleh hewan yang diimpor dari Ghana di Afrika Barat.

Sama seperti cacar lain, cacar monyet menyebabkan demam, sakit kepala, sakit otot, sakit punggung, pembengkakan kelenjar getah bening, dan ruam kulit. Namun, menurut WHO, penyakit ini lebih ringan dibandingkan dengan cacar, yang sudah dimusnahkan pada 1980.

Cacar Monyet di Negeri Singa/Tempo

Meski lebih ringan, cacar monyet bisa berakibat fatal. Saat terjadi wabah, 1-10 persen kasus bisa berujung pada kematian, terutama bila menyerang anak-anak. “Karena daya tahan tubuh dan organnya belum berkembang sempurna,” kata dokter spesialis penyakit dalam konsultan penyakit infeksi tropik, Adityo Susilo.

Seperti dilansir situs Kementerian Kesehatan Singapura, Direktur Eksklusif Pusat Nasional untuk Penyakit Infeksi (NCID) Profesor Leo Yee Sin mengatakan risiko cacar monyet mewabah di Singapura relatif kecil. Sebab, belum ada bukti penyakit itu bisa bertahan pada populasi manusia dengan penyebaran dari manusia ke manusia. Penularan antarmanusia memang bisa terjadi, tapi kemungkinannya sangat kecil karena rata-rata setiap orang yang terinfeksi hanya bisa menulari kurang dari satu orang.

Meski begitu, Negeri Singa tetap waspada. Kementerian Kesehatan mengadakan investigasi dan menemukan 23 orang yang melakukan kontak dengan pasien tersebut. Mereka ditawari vaksin, dikarantina, dan dipantau perkembangannya selama 21 hari.

Di Indonesia, menurut Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugiharto, sampai sekarang belum ditemukan kasus cacar monyet. Obat atau vaksin khusus untuk mencegah dan mengobati penyakit tersebut pun belum ada. “Pengobatan simtomatis dan suportif dapat diberikan untuk meringankan keluhan yang muncul,” tuturnya.

Adityo mengatakan masyarakat tak perlu panik atas temuan kasus cacar monyet di Singapura. Sumber penyakit yang menyebabkan pria Nigeria itu tumbang tak ada di negara itu. Pemerintah Singapura pun sudah mengkarantina lelaki tersebut, juga orang-orang yang melakukan kontak dengannya. “Kalau mau ke Singapura, ya, pergi saja,” ujarnya.

Namun, kalau menderita gejala demam tinggi yang mendadak, pembesaran kelenjar getah bening, dan ruam kulit dalam waktu kurang dari tiga minggu setelah kepulangan dari wilayah yang terjangkit, Anung mewanti-wanti agar penderitanya memeriksakan diri ke dokter. “Serta menginformasikan kepada petugas kesehatan tentang riwayat perjalanannya,” ucapnya. 

 

NUR ALFIYAH

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus