Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Studi: Badai di Masa Depan Akan Lebih Banyak Berkeliaran di Bumi

Badai tropis dapat bermigrasi ke utara dan selatan karena Bumi menghangat sebagai akibat dari emisi gas rumah kaca antropogenik.

4 Januari 2022 | 14.12 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi badai. Johannes P. Christo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah studi baru yang dipimpin Yale University, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa badai dan topan (siklon tropis) akan meluas ke wilayah garis lintang tengah, yang meliputi kota-kota besar seperti New York, Boston, Beijing, dan Tokyo, di masa depan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penulis studi menjelaskan siklon tropis dapat bermigrasi ke utara dan selatan, karena planet ini menghangat sebagai akibat dari emisi gas rumah kaca antropogenik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Badai subtropis tahun 2020 Alpha, siklon tropis pertama yang diamati mendarat di Portugal, dan Badai Henri tahun 2021, yang mendarat di Connecticut, Amerika, mungkin menjadi pertanda badai semacam itu.

“Ini mewakili risiko perubahan iklim yang penting dan diremehkan," ujar penulis studi, Joshua Studholme, fisikawan di Departemen Ilmu Bumi dan Planet, Yale University, pada Senin, 3 Januari 2022.

Studholm menerangkan, penelitiannya yang terbit di Nature Geoscience itu memprediksi bahwa siklon tropis abad ke-21 kemungkinan akan terjadi pada rentang garis lintang. “Yang lebih luas daripada yang terjadi di Bumi selama tiga  juta tahun terakhir,” tutur dia.

Selain Studholm, studi juga dilakukan bersama Alexey Fedorov, profesor ilmu kelautan dan atmosfer di Yale University; Sergey Gulev dari Shirshov Institute of Oceanology; Kerry Emanuel dari Massachusetts Institute of Technology; dan Kevin Hodges dari University of Reading. 

Dalam studi dijelaskan, peningkatan siklon tropis biasanya disebut sebagai pertanda perubahan iklim, tapi masih banyak yang belum jelas tentang seberapa sensitifnya berpengaruh terhadap suhu rata-rata Bumi. Pada 1980-an, rekan penulis studi Emanuel menggunakan konsep termodinamika klasik untuk memprediksi pemanasan global akan menghasilkan badai yang lebih hebat—prediksi yang telah divalidasi dalam catatan pengamatan. 

Namun, aspek lain dari hubungan antara siklon tropis dan iklim masih kekurangan teori berbasis fisik. Misalnya, tidak ada kesepakatan di antara para ilmuwan tentang apakah jumlah badai akan bertambah atau berkurang saat iklim menghangat, atau mengapa planet ini mengalami sekitar 90 peristiwa seperti itu setiap tahun. 

Fedorov menjelaskan bahwa ada ketidakpastian besar tentang bagaimana siklon tropis akan berubah di masa depan. Namun, beberapa bukti menunjukkan bahwa semua orang dapat melihat lebih banyak siklon tropis di garis lintang menengah, bahkan jika frekuensi total siklon tropis tidak meningkat, yang masih diperdebatkan secara aktif.

“Ditambah dengan perkiraan peningkatan intensitas siklon tropis rata-rata,  temuan ini menyiratkan risiko yang lebih tinggi karena siklon tropis di iklim pemanasan Bumi,” kata Fedorov.

Biasanya, siklon tropis terbentuk di lintang rendah yang memiliki akses ke perairan hangat dari lautan tropis dan jauh dari dampak geser aliran jet—pita angin barat-ke-timur yang mengelilingi Bumi. Rotasi bumi menyebabkan gugusan badai petir berkumpul dan berputar membentuk pusaran yang menjadi siklon tropis. Mekanisme lain dari pembentukan badai juga ada. 

Saat iklim menghangat, perbedaan suhu antara Khatulistiwa dan kutub akan berkurang, kata para peneliti. Pada bulan-bulan musim panas, ini dapat menyebabkan melemahnya atau bahkan terbelahnya aliran jet, membuka jendela di garis lintang tengah untuk membentuk dan mengintensifkan siklon tropis. 

Untuk penelitian ini, Studholme, Fedorov, dan rekan-rekannya menganalisis simulasi numerik iklim hangat dari masa lalu Bumi yang jauh, pengamatan satelit, berbagai proyeksi cuaca dan iklim, serta fisika dasar yang mengatur konveksi atmosfer dan angin skala planet. Misalnya, mereka mencatat simulasi iklim yang lebih hangat selama Eosen (56 hingga 34 juta tahun yang lalu) dan Pliosen (5,3-2,6 juta tahun yang lalu) melihat siklon tropis terbentuk dan meningkat di garis lintang yang lebih tinggi. 

"Masalah inti ketika membuat prediksi badai di masa depan adalah bahwa model yang digunakan untuk proyeksi iklim tidak memiliki resolusi yang cukup untuk mensimulasikan siklon tropis yang realistis," kata Studholme.

Sebaliknya, Studholme menambahkan, beberapa pendekatan tidak langsung yang berbeda biasanya digunakan. Namun, metode itu tampaknya mendistorsi fisika yang mendasari bagaimana siklon tropis terbentuk dan berkembang. “Sejumlah metode ini juga memberikan prediksi yang saling bertentangan,” katanya lagi.

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

Erwin Prima

Erwin Prima

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus