Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENCEMARAN udara makin parah di kota-kota besar Indonesia. Biangnya terutama disebabkan oleh padatnya lalu lintas kendaraan dan gas yang dikeluarkan pabrik-pabrik. Misalnya Jakarta, yang kendaraan bermotornya terbanyak dibandingkan dengan kota-kota lain. "Bahkan di kota ini banyak tempat macet." kata Dr. Umar Fahmi Achmadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekretaris Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan Lingkungan Universitas Indonesia (PPSML-UI) itu sudah tiga kali membikin penelitian. Terakhir awal tahun ini. Hasil penelitian tersebut kemudian diutarakannya pertengahan Juli silam, tatkala PPSML-UI mengadakan dengar pendapat dengan Komisi X DPR-RI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari penelitian ini, terungkap bahwa penduduk di tengah Kota Jakarta kini terkena anemia (kekurangan darah) 27 kali lipat dibandingkan dengan mereka yang menetap di pinggiran Jakarta Selatan. Supir Bajaj menerima risiko itu sampai 12,5 kali lipat, sedangkan pedagang kaki lima 4 kali lipat. Keadaan ini tak disangkal Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan hidup Emil Salim. "Apalagi ketika pada jam puncak kesibukan, pencemaran udara malah melewati ambang batas,"? katanya.
Dan bahaya timah hitam (Pb) yang keluar bersama asao kendaraan bermotor itu bahkan merupakan peringatan. "Kalau kandungan Pb dalam 100 cc darah kita mencapai di atas 0,1 miligram, itu sudah lampu merah," kata Fahmi.
Kadar Pb itu kemudian dijadikan ukuran dalam penelitiannya. Menurut E. Budihardjo, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkotaan dan Lingkungan (P4L) DKI Jakarta, kota ini memang rawan pencemaran. Namun, bila dilihat dari 3 parameter yang sudah dipantaunya (sulfur dioksida atau SO2, nitrogen oksida atau NOx, dan debu), kualitas udara Jakarta masih terkendali. "Tapi ini sudah lampu kuning," katanya.
Memang belum gawat betul, karena kadar ketiga unsur itu masih di bawah ambang bahaya. SO2 ambangnya 0,1 ppm per jam. Pada 1988, pemantauan P4L dari bulan ke bulan, masih di bawah 0,02 ppm. Nilai ambang NOx 0,05 ppm per 24 jam. Di daerah permukiman kurang dari 0,01 ppm. Kecuali debu, nilai ambangnya 0,26 miligram per meter kubik, yang kelewatan. Didaerah industri, ternyata mencapai 0,75 miligram, dan di lokasi lainnya di atas 0,5 miligram.
Penelitian serupa di Gresik, Jawa Timur, direkam Dr. Fuad Amsyari. Dari 5 ribu warga yang ditelitinya, sejak 1983, ia menemukan penderita abortus spontan 7%, faal paru 6,7%, dan bronkitis kronis 30%. Sedangkan penderita batuk, pilek, sesak napas mencapai 70%. Keadaan ini mencemaskan - jika data itu bisa dianggap mewakili semua penduduk Gresik.
Secara teoretis, gas SO2 itu memang bisa menyebabkan berbagai penyakit - seperti diderita 5 ribu penduduk yang dijadikan sampel penelitian oleh Fuad. Di Gresik ada dua pabrik besar: PT Semen Gresik dan PT Petrokimia. Sedangkan Petrokimia ini dipermasalahkan Fuad karena mengolah zat kimia dan mengeluarkan SO2. Kadarnya sejak 1983 sampai sekarang 0,026 ppm.
Kalau ditilik dengan nilai ambang yang ditetapkan KLH pada akhir 1988, yakni 0,03 ppm, kadar SO2 di Gresik itu masih belum melampaui batas ambang. "Tapi kenyataan di lapangan lain," ujar Fuad. Ia berpendapat bahwa ketentuan KLH tersebut sudah pantas direvisi. Alasannya, ukuran yang dipakai KLH memakai standar Amerika. Padahal, seperti kata Fuad, daya tahan tubuh orang Amerika berbeda dengan orang Indonesia. Di samping mempersoalkan nilai ambang itu, Fuad juga mempermasalahkan soal penghijauan di Gresik.
Menurut Fuad, industri berat seperti Petrokimia itu perlu zona bebas yang dihutankan. Bukan dijadikan permukiman seperti sekarang ini. Sementara itu, di Bandung, Dr. Nani Djuaningsing pada 1983-84 juga meneliti pencemaran udara yang disebabkan asap pabrik dan kendaraan bermotor. "Pencemaran udara di Bandung makin meningkat karena makin banyaknya kendaraan," kata Nani.
Tingginya tingkat pencemaran itu bertambah karena lokasi kota itu berupa cekungan, sehingga sirkulasi angin kurang bebas. Dan ini menyebabkan polutan menumpuk diatas Kota Bandung. Di Medan, ada dua mahasiswa Universitas Sumatera Utara yang juga meneliti pencemaran udara. Tahun lalu, Nurmala, kini sarjana kimia, meneliti kandungan SO2 di kota itu.
Sebelumnya, Masliana Hutabarat, sekarang juga sarjana kimia, meneliti kadar Pb di tanah dan rerumputan. Kesimpulannya: kadar Pb di permukaan tanah masih wajar. "Tapi untuk rumput sudah lewat ambang," katanya. Maslina meneliti rerumputan itu di pinggir jalan raya Medan dan sekitarnya.
Ternyata, makin dekat rumput dengan jalan, makin tinggi kadar Pb yang dikandungnya. KLH tak menutup mata terhadap pencemaran udara di Kota Medan, kendati belum separah pencemaran sungai akibat pembuangan limbah industri. "Polusi udara sudah menjadi prioritas KLH. Kami mengutamakan pengendalian sumber pencemarannya," ujar Emil Salim. Suhardjo Hs.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Asap Mobil Anda Mengancam Kota"