DI bawah siraman hujan lebat, helikopter yang ditumpangi Prof. B.J. Habibie berputar-putar di kaki sebelah utara Gunung Muria, Jawa Tengah. Ada tiga lokasi sekaligus yang diperiksa Habibie: Ujung Piring, Ujung Labuhan, dan Ujung Watu -- ketiganya di pesisir Kabupaten Jepara. Di pagi bermendung itu, Selasa pekan lalu, Menristek menginspeksi calon lokasi untuk instalasi PLTN (pembangkit listrik tenaga nuklir) pertama di Indonesia. Situs Ujung Labuhan hanya dipandang sekilas dari udara oleh Habibie, yang kali ini disertai Dirjen Batan (Badan Tenaga Atom Nasional) Djali Ahimsa. Ujung Piring didarati beberapa menit. Perhatian rombongan lebih banyak untuk Ujung Watu. "Tampaknya, Ujung Watu menjadi prioritas untuk PLTN," ujar seorang petugas Batan. Habibie tak menolak sinyalemen itu. Di depan wartawan, yang menemuinya di Pendopo Kantor Bupati Jepara, Menristek menyebutkan bahwa dari hasil studi pendahuluan Ujung Watu memang dinilai paling cocok. Ujung Watu tak berada di dekat pertemuan lempengan bumi yang gampang bergolak. Gempa tak jadi ancaman. Tapi, kata Habibie, studi itu belum final. Masih akan ada studi kelayakan yang lebih detail, mulai April nanti, oleh konsultan asing. Studi kelayakan itu, menurut Habibie, menyangkut semua aspek dari PLTN: teknologi, prospek ekonomi, teknologi yang diterapkan, pendanaan, dampak lingkungan, keselamatan reaktor, sosial dan budaya, infrastuktur industri, dan daur ulang bahan bakunya. Semuanya akan makan waktu empat tahun. Dengan memperhatikan waktu untuk studi kelayakan itu, pembangunan fisik tahap pertama baru dimulai 1996. Namun, pengoperasiannya dijadwalkan masih jauh, baru tahun 2003 nanti. Biaya yang diperlukan sekitar US$ 10 milyar, sekitar Rp 19 trilyun, untuk dua reaktor yang masing-masing punya kapasitas 600-1.000 MW. Sesudah itu, beberapa PLTN lain akan dibangun di berbagai tempat di Jawa dan akan menyumbang listrik 7.000 MW pada 2015 nanti. Kendati belum final, Habibie memberi ancar-ancar bahwa PLTN di kaki Muria itu bakal menggelar dua macam teknologi PLTN: PWR (Pressurized Water Reactor) dan BWR (Boiling Water Reactor). Keduanya memiliki reaktor dalam "tabung" beton berisi air medium. Prinsipnya, kedua jenis PLTN itu sama: memanfaatkan panas dari reaktor nuklir untuk memanaskan air, dan uapnya digunakan untuk memutar turbin listrik. Instalasi BWR di Semenanjung Muria ini akan dibangun oleh General Electric dari AS, Hitachi dan Toshiba -- keduanya dari Jepang. Sedangkan fasilitas PWR akan dikerjakan oleh Westinghouse (AS) dan Mitsubishi (Jepang). Kedua jenis PLTN itu dijamin aman oleh Menristek Habibie. Bahkan lebih terjamin dibandingkan PLTN sejenis yang telah dibangun di Jerman, Prancis, AS, Jepang. Dan jauh lebih aman dibanding reaktor Chernobyl di Uni Soviet, yang pernah meledak. "Karena PLTN kita menggunakan teknik yang lebih baru, lebih canggih," katanya. Secara berapi-api, ia menjamin: dampak pem- bangunan PLTN ini nol. Hingga kini, di Desa Ujung Watu, desa pesisir di Kecamatan Keling, 45 km dari Jepara lewat jalan kelas tiga, kegiatan berbau nuklir belum tampak betul. Pihak Batan baru membebaskan tanah seluas 1,5 hektare, yang dipakai untuk pos pengamatan gempa mikro dan meteorologi. Tanah ini telah ditebus dari penduduk, awal 1980-an lalu, dengan ganti rugi 3.000/m2. Pengamatan gempa telah dilakukan sepanjang tahun lalu. Hasilnya, tak akan terdeteksi adanya sumber gempa di sekitar tempat itu. Kalaupun terdeteksi adanya getaran di dalam tanah, setelah dilacak, sumbernya jauh di seberang pulau, di Filipina misalnya. "Saya kira tempat ini memenuhi syarat," ujar Edy Murdjito, staf ahli Batan yang memimpin pos pengamatan itu. Gunung Muria, di sebelah selatan, yang menjulang setinggi 3.019 meter, tampaknya tidak menjadi ancaman. Muria tak termasuk dalam daftar gunung berapi, seperti yang tercantum di buku Data Dasar Gunung Api Indonesia terbitan Direktorat Vulkanologi. Dari sederet gunung, yang melakukan aksi vulkanis sejak tahun 1700-an, Muria tak terselip di dalamnya. Kendati demikian PLTN cukup mencemaskan Pariman, penduduk Desa Ujung Watu. Bukan ledakan nuklir atau limbah radioaktif yang dia khawatirkan. "Saya tak ingin tergusur," katanya. Dia bayangkan, proyek PLTN itu memerlukan lahan berukuran besar, yang membuatnya harus bertransmigrasi. "Padahal, kepandaian saya cuma bertambak," ujar pemilik tambak 3 hektar itu. Kepala Desa Ujung Watu Yusnyo sering kelabakan kalau ditanya warganya soal PLTN itu. Dia tak pernah tahu soal PLTN itu. Penyuluhan resmi belum dilakukan. Dari pihak kecamatan dan kabupaten pun informasi belum cukup. "Proyek ini turun langsung dari Jakarta. Kami di sini tak tahu-menahu," ujarnya. Bayangan bahwa PLTN ini bakal banyak menelan lahan rakyat disanggah Habibie. Proyek PLTN ini, menurut Habibie, hanya memerlukan lahan sekitar 100 ha. Lahan itu tidak terlalu besar jika dibandingkan wilayah desa yang 1.100 ha. Namun, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) merasa perlu mengingatkan agar pembangunan PLTN di Semenanjung Muria itu dilaksanakan dengan pemberian keterangan sejelas-jelasnya kepada khalayak. "Bukan saja manfaatnya tapi juga segala risikonya," begitu siaran pers Walhi. Putut Tri Husodo dan Bandelan Amarudin (Biro Ja-Teng)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini