SUDAH 22 hari ini, Nyonya Muharam, 69 tahun, tak pernah keluar rumah. Janda beranak empat ini enggan meninggalkan rumah yang sudah dihuninya sejak 35 tahun lalu. "Sampai kapan pun saya akan tetap mempertahankan rumah ini. Di sini anak-anak saya dilahirkan. Di sini pula saya akan mengisi hari tua saya dengan tenang," ujar istri almarhum Kolonel (Pol.) Muharam Wiranatakusuma itu. Semula, rumah permanen seluas sekitar 300 meter persegi di atas tanah 638 meter persegi itu beralaskan hak Barat (Erfpacht). Setelah dinasionalisasikan pada 1955, almarhum Muharam Wiranatakusuma memperoleh Surat Izin Penghunian (SIP) dari Kantor Urusan Perumahan Jakarta. Pada 1964, Menteri Pertanian dan Agraria mengizinkan Muharam untuk membeli rumah tersebut. Muharam pun membeli rumah itu kepada negara, seharga Rp 4,17 juta. Pada tahun itu juga, Muharam, yang meninggal dunia pada 1968, berhasil mendapatkan sertifikat HGB atas tanah itu. Tiba-tiba, pada 1977, tutur putri kedua Muharam, Nyonya Shyarmi, muncul gugatan atas kepemilikan rumah itu dari ahli waris Mohamad Sanusi, antara lain Ida. Menurut mereka, Sanusi sudah lebih dulu membeli rumah itu pada 6 Oktober 1955 dari pemiliknya, seorang Belanda bernama Nyonya Maria Theodora Jacoba Middeldorp, seharga Rp 75 ribu. Pada 1979, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak gugatan itu. Tapi pada 1982, Pengadilan Tinggi Jakarta meralat keputusn tersebut. Menurut pengadilan banding, Sanusi-lah yang lebih berhak atas rumah itu. Keputusan ini, pada 1984, dikukuhkan Mahkamah Agung. Tapi baru pada 19 Desember 1990 keputusan itu bisa dilaksanakan. Yakni pengosongan rumah di bilangan Menteng itu. Namun, lima hari setelah eksekusi, Nyonya Muharam kembali ke rumah di bilangan Menteng itu. Ia mengaku memperoleh bukti baru bahwa Ida tidak berhak lagi atas rumah tersebut. Sebab, menurut Nyonya Shyarmi, pada 7 November 1955, sebulan setelah membeli rumah itu, Sanusi ternyata menjualnya kembali kepada Yayasan Bahan-Bahan Pertanian, milik Departemen Pertanian. Sebab itu, melalui Pengacara T. Saraswati, pihak Muharam, selain akan menggelar gugatan baru, kini juga mengadukan Ida ke polisi. Kuasa hukum Nyonya Ida, H. Anzus, mengaku belum mengetahui soal bukti baru itu. Namun, katanya, kalaupun benar ada fakta itu, seharusnya bukan pihak Muharam yang menggugat, tapi Departemen Pertanian. Adapun soal Nyonya Muharam, tambahnya, setelah dinyatakan kalah oleh pengadilan, kliennya berkali-kali mengajak musyawarah, termasuk menawarkan bantuan ongkos pindah sebesar Rp 10 juta. "Tapi upaya musyawarah itu tak pernah ada hasilnya, karena Nyonya Muharam selalu menolak usul kami," kata Anzus. Di tengah kebisingan Jakarta, Nyonya Muharam tetap bertahan di dalam rumah tua di Jalan Teuku Cik Ditiro 66 itu. Ia mengurung diri di dalam bekas kamarnya. Sehari-hari, ia membunuh waktu dengan sembahyang, mengaji, dan menulis surat. Tak ada listrik. Tak ada air. Pensiunan pegawai tinggi di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan itu tidur cuma beralaskan tikar. Jika malam tiba, hanya sebatang lilin menerangi kamarnya. Di halaman rumah, ada beberapa orang suruhan Nyonya Ida, yang tampak terus berjaga-jaga. Mungkin karena "pusing" menghadapi sikap Nyonya Muharam, para penjaga itu pun mengunci pintu gerbang rumah. Entah kenapa, mereka juga melarang orang lain, termasuk anak-anak Nyonya Muharam, masuk, apalagi menemui wanita itu. Akibatnya, komunikasi dengan Nyonya Muharam, juga kiriman makan sehariharinya, terpaksa berlangsung melalui pintu gerbang tadi. Hp. S. dan G. Sugrahetty D.K.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini