Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Dampak Tambang Emas Ilegal Solok: Rusaknya Aliran Sungai Batang Hari

Tambang emas ilegal yang longsor di Kabupaten Solok, Sumatera Barat, merusak DAS Batanghari. Aparat diduga melindungi pemodal.

6 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KERIKIL dan bebatuan pelan-pelan berjatuhan dari ketinggian tebing yang menganga di Nagari Sungai Abu, Kecamatan Hiliran Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, pada Kamis petang, 26 September 2024. Tepat di bawah tebing, Rezky Ardiko Putra, 21 tahun, asyik mengorek-ngorek lubang sedalam 2 meter. Dia sama sekali tak menggubris teriakan sejawatnya yang mengingatkan tanda-tanda bukit setinggi lebih dari 10 meter itu bakal longsor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rezky bukannya tak tahu tanah longsor akan terjadi. Ia bersama puluhan pendulang emas lain punya firasat buruk ketika perbukitan Sungai Abu yang menjadi tambang emas itu diguyur hujan sejak pagi. Namun saat guyuran air mereda pada sore hari, berbekal linggis dan dulang, Rezky mencoba kembali mengais bijih emas di dalam tanah. “Saya tidak ada pilihan lain, hanya ini pekerjaan yang bisa saya tekuni,” katanya saat ditemui Tempo pada Sabtu, 28 September 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada percobaan pertama, pemuda asal Nagari Talang Babungo, Kecamatan Hiliran Gumanti, itu berhasil masuk ke lubang penambangan. Pengalaman dua tahun menjadi pendulang emas membuatnya kian cekatan dalam mengais bijih logam mulia. Rezky kemudian berupaya masuk jauh lebih dalam hingga mencapai 2 meter. Sekonyong-konyong ia mendengar gemuruh disertai datangnya tanah yang menyumpal lubang penggangsiran.

Rezky bersama 24 pendulang emas lain di tambang ilegal itu tak sempat menghindar. Kesadarannya hilang ketika tanah dan batu runtuh membekap tubuhnya. Beruntung, nyawa Rezky terselamatkan berkat warga yang buru-buru datang menolong. Namun Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyebutkan 13 warga lain tewas tertimbun tanah longsor.

Ketika ditemui Tempo di Rumah Sakit Umum Daerah Arosuka, Kabupaten Solok, Rezky masih tergolek di atas ranjang menahan rasa sakit. Tulang bahu kanannya patah sehingga harus ditopang tali perban yang melingkari lehernya. Rezky bercerita, ia sudah delapan hari berturut-turut sibuk mencari emas di tengah tambang yang masuk zona dengan kerentanan gerak tanah tingkat menengah itu.

Berbeda nasib dengan Rezky, keponakan Hasran Basrial yang bernama Herman Doni, 36 tahun, justru tak bisa diselamatkan. Hasran, 53 tahun, mendapat kabar duka itu pada Jumat, 27 September 2024, ketika warga menemukan jenazah Herman. “Kami sudah tahu bahwa keponakan saya ditemukan warga sudah dalam keadaan meninggal sehingga menunggu proses evakuasi saja,” ucap Hasran saat ditemui di pos komando pencarian korban di Kampung Sungai Abu.

Dia bercerita, sudah 11 hari Herman mendulang emas di pertambangan ilegal tersebut. Pekerjaan itu sudah lama dilakoni keponakannya itu. Hasran mengungkapkan, mulanya Herman diajak seorang kenalan bergabung dengan kelompok penambang. Herman bersedia meski tahu area tersebut pertambangan liar yang acap dibuka-tutup karena dirazia oleh penegak hukum dan pemerintah daerah.

Peristiwa di Nagari Sungai Abu hanya satu dari puluhan kasus penambangan ilegal yang sering memicu tanah longsor. Pada 18 April 2020, Kepolisian Resor Solok Selatan menemukan sembilan penambang liar mati tertimpa tanah longsor saat menggangsir emas di Nagari Ranah Pantai Cermin. Jaraknya sekitar 23 kilometer ke arah selatan dari Sungai Abu. Kejadian serupa terjadi pada 30 Oktober 2023 dengan satu penambang tewas di Nagari Abai, Kecamatan Sangir Batang Hari.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Barat sudah berulang kali mengingatkan ihwal penambangan liar yang tak terkendali dalam 10 tahun ke belakang. Lokasinya berada di kawasan hutan lindung dan membentang di antara Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari yang melintasi wilayah Kabupaten Solok, Sijunjung, Dharmasraya, hingga Solok Selatan. Mereka mendapati penggangsiran dilakukan masif menggunakan alat berat.

Dua warga setempat yang dijumpai Tempo menceritakan proses penggundulan hutan dan pengupasan tanah yang hampir selalu menggunakan alat berat. Praktik ini bukan tidak diketahui penegak hukum. Justru pelakunya sering berkongkalikong agar terhindar dari razia. “Salah satunya dilakukan oleh penambang di Sungai Abu yang menggunakan ekskavator dan kebetulan alat itu juga digunakan untuk membantu proses penggalian tanah timbunan longsor pada Kamis lalu,” kata seorang di antaranya.

Keberadaan ekskavator untuk penambangan liar itu terekam dalam sebuah video berdurasi 1 jam 1 menit yang tersebar di media sosial. Masih menurut sumber yang sama, mulanya sejumlah mesin pengeruk bermerek Sany hanya terparkir tidak jauh dari lokasi tanah longsor. Ketika bencana terjadi, alat berat yang berfungsi mengeruk emas itu turut digunakan mencari korban yang tertimbun tanah. “Tapi saya tidak tahu itu punya siapa.”

Kabar mengenai penggunaan alat berat untuk penambangan ilegal tidak dibantah oleh Kepala Kepolisian Resor Solok Ajun Komisaris Besar Muari. Namun dia menepis tuduhan bahwa lembaganya membiarkan aktivitas tambang emas liar. “Di sana memang ada alat berat, tapi mereka menambang pakai linggis untuk membuat gua sedalam 40 meter, lebar 10 meter, dan tinggi 1 meter,” ucap Muari ketika dimintai konfirmasi pada Senin, 30 September 2024.

Muari enggan menjawab pertanyaan tentang keterlibatan polisi sebagai beking penambangan ilegal di Kabupaten Solok, khususnya di Sungai Abu. Namun dia mengatakan pihaknya justru sedang mengusut kepemilikan ekskavator yang didapati di lokasi tambang. Selain itu, kepolisian sudah menggelar tiga kali operasi penertiban tambang ilegal tersebut pada Mei-Juli 2024. Polisi menyita unit panel monitor ekskavator, tapi tidak memboyong ekskavator karena terhambat medan yang sulit.

•••

PRAKTIK penambangan emas ilegal sudah lama terpotret oleh peneliti bidang politik lingkungan di Universitas Andalas, Padang, Dewi Anggraini. Dia menyebutnya sebagai rent-seeking atau kegiatan mencari keuntungan dengan memanipulasi atau membiarkan pertambangan liar. Aktivitas ini berlangsung bertahun-tahun dengan melibatkan pengusaha sebagai pemodal dan penegak hukum lancung yang menjadi pelindung.

Temuan tersebut didapatkan Dewi ketika melakukan penelitian di Kabupaten Sijunjung dan Solok Selatan pada 2023—makalahnya terbit di Journal of Election and Leadership edisi 2 Juli 2022. Dia mendapati tiga faktor utama yang mendorong praktik rent-seeking dalam skema pertambangan emas ilegal. “Pertama, adanya kepentingan yang kompleks antara beberapa oknum pemerintah daerah dan pengusaha tambang ilegal, di mana kepentingan ekonomi-politik sering kali bertautan,” ujar Dewi.

Plt Gubernur Sumatera Barat, Audy Joinaldy (berbatik merah) berbincang dengan salah satu korban tanah longsor tambang emas ilegal di ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Arosuka di Kabupaten Solok, Sumatera Barat, 28 September 2024. Antara/Fandi Yogari

Faktor kedua, Dewi melanjutkan, adalah keterlibatan penegak hukum dan pemerintah daerah yang bertindak menjadi beking atau pelindung aktivitas pertambangan ilegal. Praktik ini melibatkan pemberian uang atau imbalan lain agar pelaku bebas memasukkan alat-alat berat. Ketiga, lemahnya pengawasan dari pemerintah daerah yang kian memperumit situasi penambangan liar di lapangan.

Kepala Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas itu menjabarkan para aktor yang bermain di dalam lingkaran rent-seeking. Para aktor, Dewi memaparkan, adalah korporasi besar, pejabat pemerintah, aparat penegak hukum, hingga warga yang memiliki lahan. Kombinasi para pemain ini menciptakan kondisi yang mendukung berkembangnya aktivitas pertambangan emas ilegal.

Masalah ini diperparah oleh sulitnya mencari lapangan kerja sehingga warga mencari jalan pintas dengan ikut menjadi pekerja pendulang. Perkiraan Dewi, tiap pekerja kelas bawah dapat memperoleh uang Rp 500 ribu-1 juta dalam sepekan. “Siapa yang tidak mau dapat uang dengan cepat, walaupun risikonya tinggi?”

Penjabat Gubernur Sumatera Barat, Audy Joinaldy, berdalih persoalan tambang emas ilegal bukan bagian kewenangannya. Hal ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang mengalihkan perizinan dari daerah ke pemerintah pusat. “Ya, soal tambang emas dan mineral lain itu kewenangan pusat,” ucapnya pada Sabtu, 28 September 2024.

Karena pertimbangan tersebut, Audy tak bisa berbuat banyak dalam penertiban tambang liar. Meski begitu, ia tak akan berpangku tangan dan berjanji melakukan pendekatan persuasif kepada masyarakat agar menghentikan praktik tambang ilegal. Politikus Partai Golkar sekaligus pengusaha itu tak memungkiri penambangan emas ini bertalian erat dengan kegiatan ekonomi masyarakat.

Koordinator Divisi Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang Diki Rafiqi menyanggah pernyataan Pejabat Gubernur Sumatera Barat tersebut. Menurut Diki yang menjadi urusan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral itu adalah tambang emas berizin. Sedangkan kejadian di Kabupaten Solok adalah pertambangan emas tanpa izin (PETI). “Tentu pemerintah provinsi punya kewenangan untuk menertibkannya.”

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Barat Wengki Purwanto mengatakan kerusakan bentang alam pada Daerah Aliran Sungai Batanghari menjadi bukti masifnya penambangan ilegal di kawasan seluas 4,9 juta hektare tersebut. “Sesuai dengan analisis kami, jika dilihat dari timelapse 2020-2024, lokasi diduga tambang emas di Sungai Abu makin masif sejak 2022,” tutur Wengki, yang akrab disapa Tomy.

Analisis Walhi Sumatera Barat meliputi ribuan anak sungai di hamparan DAS Batanghari. Khusus pada Sungai Abu, Tomy mendapati pembukaan tambang seluas kira-kira 10 hektare pada satu titik. Organisasi nirlaba di bidang lingkungan hidup itu juga menemukan titik-titik bukaan di tempat lain. Namun dia tidak bisa merinci luas bukaan dari tahun ke tahun pada keseluruhan bentang daerah aliran sungai.

Ketua Forum DAS Sumatera Barat Isril Berd juga menyoroti alih fungsi peruntukan hutan dan lahan pada DAS Batanghari dalam 10 tahun ke belakang. Dia menjelaskan, dominasi kerusakan diakibatkan aktivitas pertambangan ilegal. “Sepertinya kualitas DAS-nya sudah menurun dan tentu akan berpengaruh terhadap debit aliran dan kualitas air,” ujarnya.

Peneliti ilmu fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas, Dwi Rani, pernah mempublikasikan artikel di Jurnal Fisika Universitas Andalas pada 2020 mengenai kualitas air di Sungai Batanghari. Lokasi penelitiannya berfokus pada aliran Batu Bakauik, Kabupaten Dharmasraya, yang dalam air bersihnya didapati kandungan merkuri hingga 5,198 miligram per liter. Adapun ambang batas maksimum yang disyaratkan oleh pemerintah adalah 0,001 miligram per liter.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tambang Emas Terkubur, Pemodal Kabur"

Fachri Hamzah

Fachri Hamzah

Kontributor Tempo di Padang, Sumatera Barat

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus