Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK sampai dua hari, tim reserse Kepolisian Resor Cilegon menangkap Saenah, 39 tahun, serta dua orang lain: Rahmi (38) dan Emi (23). Mereka disangka sebagai pembunuh APH, bocah perempuan berusia lima tahun. Saat mayatnya ditemukan pada 19 September 2024 di Pantai Cihara, Kabupaten Lebak, Banten, wajah APH terlilit lakban. APH diduga dibunuh dua hari sebelumnya. Setelah menangkap Saenah, Emi, dan Rahmi, polisi juga menangkap Ujang Hildan dan Yayan Herianto. Kedua pria itu diduga membantu Saenah membuang jasad APH ke pantai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Polisi sudah menetapkan kelimanya menjadi tersangka. Saenah ditengarai menjadi dalang pembunuhan APH. Motif pembunuhan diduga adalah kecemburuan Saenah kepada ibunda APH yang kerap pergi dengan Rahmi. Selama ini, Saenah dan Rahmi adalah sejoli yang sudah tinggal bareng. Dalam wawancara dengan wartawan Tempo, Lani Diana, baik Saenah, Rahmi, maupun Emi mengaku bersalah. Namun ketiga perempuan itu mengatakan pembunuhan APH tak disengaja. “Saya menyesal,” kata Saenah sambil menangis saat ditemui bersama Rahmi di Polres Cilegon pada Kamis, 3 Oktober 2024. Berikut ini petikannya.
Mengapa Anda membunuh APH?
Saya cemburu karena ibu korban sering kali mengajak Rahmi pergi. Padahal Rahmi dalam keadaan kurang sehat. Dia juga belanja, tapi malah kami yang bayar. Emi juga bercerita sering dibentak oleh ibu APH, terus sering enggak dibayar setelah bersih-bersih rumahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rahmi: Iya, saya sering jalan sama ibu APH ke sana-sini untuk menagih. Kadang pulang malam. Ibu APH mengkreditkan barang kepada orang-orang.
Bagaimana Anda membunuh korban?
Awalnya saya dan Emi datang ke rumah ibu APH pada Selasa, 17 September 2024. Pada waktu itu ada APH, tapi ibunya tak ada. APH sedang menggambar dan menulis. Kami mengajak APH pergi dan dia mau. Dia memang sudah mengenal kami.
Ke mana Anda membawa APH?
Kami pergi ke salah satu gudang dekat rumahnya. Berselang beberapa lama, ibu korban pulang. Dia mencari-cari APH. Saat itulah kami panik.
Kenapa panik?
Korban mendengar suara sepeda motor orang tuanya, lalu memberontak ingin keluar. Kami tambah panik. Sampai akhirnya kami refleks memegang tangan dan kaki korban, lalu melilitkan lakban pada mulut dia. Kami pukul tengkuknya. Mulanya hanya ingin dia pingsan. Tapi dia belum pingsan sehingga saya ambil barang mirip shockbreaker, kami pukul lagi.
Korban lalu meninggal?
Kami belum tahu. Karena setelah dipukul, mulut APH dibekap dengan boneka berbentuk pisang oleh Emi. Berselang beberapa lama, saya bilang kepada Emi: “Kok, perutnya enggak bergerak?”
(Catatan: APH diduga meninggal di gudang.)
Kenapa dibawa ke gudang?
Kalau langsung dibawa ke luar pasti terlihat orang lain.
Apakah kalian sudah merencanakan pembunuhan ini?
Enggak sama sekali. Kami enggak bawa apa-apa saat hari kejadian. Kami refleks karena panik, lalu membunuh. Awalnya kami mau merawat dan membawa APH ke Jawa Tengah. Ide pertama yang terpikir pun mengerjai ibu korban, bukan menghabisi APH.
Rahmi: Kami enggak setega itu, lah, membunuh APH. Saya tidak ikut ke rumah APH dan ke gudang. Saenah dan Emi pulang ke rumah kontrakan setelah bersembunyi di gudang. Mereka lalu panik. Setelah kejadian, saya tanya kepada mereka mengapa bisa kayak gini? Mereka bilang panik saat mendengar suara sepeda motor orang tua APH. Lalu APH melawan, kemudian dipukul sampai pingsan.
Kenapa hanya APH yang dibawa pergi?
Rahmi: Niat Saenah dan Emi cuma mau kasih ibu APH pelajaran. Maksudnya enggak sampe membunuh APH. Ini di luar keinginan kami.
Lalu kenapa wajah APH dililit lakban?
Saat itu kami tidak berpikir apa-apa. Saya panik dan takut. Yang melakban APH adalah saya dan Emi.
Apa peran dua pria tersangka lain?
Mereka berdua hanya membantu mengantar mayat untuk dibuang. Salah seorang enggak bisa membawa sepeda motor dengan kopling. Jadi saya yang mengendarai dan dia yang menggendong di belakang. Satu lagi membonceng Rahmi.
Jadi Anda dan Rahmi juga ikut ke Pantai Cihara?
Ikut. Sehari setelah kejadian saya bilang kepada Rahmi: “Gimana ini? Dimakamin aja?” Tapi Rahmi enggak mau karena takut. Lalu ada ide supaya dibawa ke Pandeglang untuk dikuburkan. Tapi dua pria itu enggak mau.
Siapa yang punya ide membuang jasadnya ke Pantai Cihara?
Kami enggak tahu arah Pantai Cihara. Yang punya ide ke sana si cowok itu karena orang asli sana. Jaraknya lumayan jauh.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Saya Refleks Membunuh"