Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kinerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam penyelesaian usaha di kawasan hutan tanpa izin masih sangat rendah dan lamban. Publik telah lama mendamba transparansi dan akuntabilitas dari kinerja KLHK tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penilaian itu diberikan Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (PURAKA), Ahmad Zazali, menanggapi dugaan korupsi tata kelola perkebunan sawit ilegal periode 2005-2024 di KLHK yang saat ini sedang diusut Kejaksaan Agung. Kasus diwarnai antara lain penggeledahan kantor KLHK pada 3 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zali menyodorkan indikasi kinerja rendah dan lamban itu lewat penanganan terhadap 1.192 subjek hukum yang sudah diminta kelengkapan datanya oleh KLHK, tapi baru 240 yang telah patuh melengkapi data. Kemudian, baru 65 subjek hukum yang sudah sampai tahap verifikasi lapangan dan 48 yang sudah sampai tahap penafsiran citra satelit resolusi tinggi. Dari semua itu, baru 15 subjek hukum yang telah membayar denda.
"Sejak awal transparansi dan akuntabilitas KLHK memang telah dinantikan publik. Transparansi itu meliputi berapa besar denda yang sudah terkumpul, siapa saja pelaku usaha korporasi dan individu yang telah diloloskan atau diputihkan oleh KLHK," tutur Zali melalui pesan tertulis, Senin 14 Oktober 2024.
Zali menyebut semua informasi itu harus dibuka secara transparan ke publik. “Karena informasi yang berkembang penyelesaian denda ini diduga banyak kongkalikong dalam pengurusannya," katanya sambil menambahkan keyakinannya, penggeledahan oleh Kejaksaan Agung terkait dugaan tindak pidana suap dan gratifikasi dalam penentuan besaran denda.
Penasehat Senior Indonesia Human Right Committee for Social Justice (IHCS), Gunawan, senada dengan sikap PURAKA. Sebagai kuasa hukum Sawit Watch, Gunawan mengatakan menyoroti kesenjangan antara jumlah subjek hukum dengan yang sudah ditangani oleh pemerintah.
Menurut Gunawan, perubahan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan melalui UU Cipta Kerja yang kemudian menjadi landasan hukum PP Nomor 24 Tahun 2021 tidak cukup bisa didayagunakan. Dampaknya malah membuka peluang untuk diuji- materikan di Mahkamah Konstitusi.
"Selain juga perlu perbaikan tata kelola penyelesaian kebun sawit di kawasan hutan dan tata kelola kebun sawit itu sendiri sehingga tidak berwatak ekspansif,” kata Gunawan.
Pada September 2023, Sawit Watch dan beberapa lembaga telah melakukan Uji Materiil di Mahkamah Agung atas peraturan teknis mekanisme pemutihan sawit yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif di Bidang Kehutanan. MA telah memutuskan perkara ini pada 21 Desember 2023 dengan menolak permohonan uji materiil ini yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 42 P/HUM/2023