Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Teka-teki yamdena

Kondisi tanah di pulau yamdena sangat rawan dan menyulitkan regenerasi hutan. tetapi berbekal hph, ada pengusaha membuka hutan di sana. penduduk protes, sementara sk menteri kehutanan ditunda-tunda pengumumannya.

20 Maret 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA yang ditunggu-tunggu masyarakat Tanimbar, Maluku Tenggara, setelah Sidang Umum MPR berakhir pekan ini. Namun yang ditunggu bukanlah hasil persidangan akbar itu, tapi isi Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan yang menyangkut kelanjutan konsesi HPH (hak pengusahaan hutan) di Pulau Yamdena, Kepulauan Tanimbar. SK yang telah ditandatangani 27 Februari lalu itu ternyata baru akan diumumkan isinya setelah Sidang Umum MPR berakhir. Yang lebih mengundang tanya, SK itu akan diumumkan di Ambon oleh Gubernur Maluku, M. Acip Latuconsina. Padahal, penundaan pengumuman SK Menteri Kehutanan itu saja telah menggelisahkan banyak orang. Sebabnya tak lain karena latar belakang pengambilan keputusan ini agak istimewa. Keputusan ini diteken Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap setelah muncul berbagai protes atas pemberian HPH seluas 164.000 hektare (April '91) kepada PT Alam Nusa Segar. Memang, sejak tahun lalu ramai diberitakan, bagaimana kehadiran perusahaan milik Grup Salim ini sangat ditentang masyarakat Tanimbar yang tak rela hutannya dibabat. Protes masyarakat Tanimbar itu diwakili Ikatan Cendekia Tanimbar Indonesia (ICTI) dibawa ke forum DPR di Jakarta. Malah akhirnya terlahir kesepakatan untuk mengkaji ulang (Agustus '92). Awal bulan lalu, dalam dengar pendapat Menteri Kehutanan dengan DPR, hasil tim kaji ulang sempat dipersoalkan. Ketika itu muncul permintaan agar DPR diberi tahu terlebih dahulu sebelum Menteri menerbitkan SK. ''Ternyata hasil penelitian tim kaji ulang ini lebih rahasia ketimbang hasil tim pencari fakta insiden Dili,'' kata Albert, wakil ketua ICTI, agak kesal. Tuduhan itu bukannya tak beralasan. Tim kaji ulang, yang terjun ke lapangan pada Oktober 1992 silam, sebetulnya telah menyelesaikan penelitiannya akhir Januari lalu. Kendati beberapa pihak ingin mengetahui, Departemen Kehutanan tak berniat membeberkan hasilnya. Tak heran bila kemudian terlontar tuduhan dari lembaga swadaya masyarakat Skephi, yang menilai Departemen Kehutanan sengaja menyembunyikan hasil penelitian itu. Sikap tertutup ini oleh Skephi diartikan sebagai pertanda bahwa konsesi HPH untuk Alam Segar akan dilanjutkan. ''Padahal, hasil penelitian itu sendiri sebenarnya cukup objektif. Namun ringkasan eksekutifnya ternyata sangat menyimpang dari objektivitas hasil tim kaji ulang,'' kata Felnditi, pendiri ICTI. Masalahnya jadi lebih rumit karena ringkasan eksekutif itu dipakai sebagai bahan untuk menerbitkan SK yang akan sangat menentukan masa depan Yamdena. Dan masa depan pulau ini memang layak diperhitungkan dengan hatihati. Meski hutannya masih rimbun (324.000 hektare), Yamdena bukanlah lahan yang subur. ''Hutan di Yamdena adalah karunia Tuhan,'' kata Felnditi, pendiri ICTI. Disebut karunia, sebab tanah kapur dan alam Yamdena sungguh tak bersahabat. Pulau kecil seluas 450.000 hektare itu lebih besar sedikit dari DI Yogyakarta hanya memiliki beberapa mata air. Kalaupun hutan satusatunya di Maluku Tenggara ini masih tetap utuh, itu sematamata berkat pengelolaan hutan yang dilakukan penduduk setempat secara tradisional. Seperti diketahui, alam yang keras telah mengharuskan penduduk untuk berhati-hati menjaga hutan di sekelilingnya. Bila ada yang ingin berkebun, ia harus mendapat izin dari petuanan (marga). Lembaga ini baru memberiizin setelah melalui proses musyawarah. Penduduk juga tak bisa seenaknya menebang kayu kuning yang banyak terdapat di hutan yang sudah terbagi-bagi secara adat itu. ''Ini yang membuat hutan di Tanimbar sejak zaman dulu sampai sekarang masih utuh. Aturan menebang pohon itu dibuat berdasarkan pengalaman tradisional saja. Menurut pengalaman, jika satu bagian hutan ditebang, sampai sepuluh tahun pohonpohon tak bisa tumbuh lagi,'' ujar Felnditi agak berpanjang lebar. Pengalaman berharga seperti itu ternyata bisa dijelaskan secara ilmiah. Ini dibuktikan tim peneliti terdiri dari para peneliti Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Departemen Pertanian Bogor yang diterjunkan ICTI. Kondisi solum (ketebalan) tanah di Yamdena, misalnya, ternyata menyedihkan. Solumnya tipis sekali. Paling tebal hanya 40 sentimeter. Nah, bandingkan dengan tanah di Jawa yang solumnya bisa mencapai 1,5 meter. Solum yang tipis dan tanah kapur di bawahnya itulah yang mengakibatkan pertumbuhan secara alamiah sangat sulit terjadi. Menurut ICTI, kondisi rawan Yamdena itu juga tergambar dalam laporan tim kaji ulang. Angka erositas, misalnya, menurut perhitungan tim kaji ulang, adalah 210 sampai 700 ton per hektare per tahun. Ini berarti setiap penebangan satu hektar hutan akan menyebabkan erosi 210 hingga 700 ton. Tapi, perkiraan tim ICTI, angka erositasnya hanya 100 ton/ha/tahun. ''Jadi, bayangkan saja jika 164.000 hektare hutan dibabat, berapa juta tanah akan terkikis,'' Felnditi mempersoalkan. Tingkat erositas yang tinggi itu jelas tak dapat diimbangi oleh pembentukan tanah yang sangat sulit terjadi, terutama dalam iklim kering dan tanah penuh kapur. Inilah yang mempertebal ke khawatiran ICTI, bahwa Yamdena suatu saat nanti akan tenggelam. Namun, dalam pandangan tim kaji ulang, kekhawatiran ICTI itu di rasakan agak berlebihan. Meski hasil pengujiannya tak jauh berbeda dengan pengujian ICTI, kesimpulan yang dirangkum dalam ringkasan eksekutifnya ternyata berbeda. Tim kaji ulang yang 62% terdiri dari aparat Departemen Kehutanan ternyata masih melihat ada peluang untuk mengonsesikan hutan Yamdena. Tapi tim ini tidak mengingkari bahwa pengusahaan hutan di Yamdena tak bisa dijalankan dengan persyaratan seperti HPH di tempat lain yang berkondisi normal. Karena itu, tim ini menentukan per syaratan ketat jika proyek pengusahaan hutan di Yamdena tetap mau dilanjutkan. Selanjutnya, apakah konsesi Alam Segar akan dilanjutkan atau status hutan Yamdena akan dikembalikan ke asalnya, ini terserah Menteri Kehutanan. Sebelumnya, hutan Yamdena, menurut keputusan Dirjen Kehutanan tahun 1971, memang berstatus hutan riset dan hutan lindung. Namun, dalam rekomendasi Gubernur Maluku pada 1988, dinyatakan bahwa hutan itu layak dijadikan areal HPH. Setelah ada konsesi yang dikeluarkan berdasar rekomendasi itu, urusannya jadi panjang. Tak jelas, mengapa dulu ICTI tidak memprotes rekomendasi tersebut. Sekarang, Menteri Hasjrul Harahap tampaknya lebih suka membiarkan orang menebaknebak isi SK yang menyangkut nasib Yamdena. ''Lihat saja nanti,'' ujarnya, setengah menggoda. G.Sugrahetty Dyan K

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus