BAIK stabilitas maupun pertumbuhan, yakni dua sisi dari pembangunan, tampaknya mencatat sukses besar. Tapi bagaimana pemerataan? Pelaksanaan Trilogi Pembangunan ini sebenarnya telah diuraikan panjang lebar dalam sidang paripurna pertama ketika Presi den/Mandataris MPR menguraikan pertanggungjawaban pelaksanaan GBHN tahun 1988. Pertanggungjawaban itu ternyata diterima MPR tanpa pertanyaan. Namun, dalam sidang paripurna ke-9 yang berlangsung Selasa lalu, unek-unek mereka, khususnya mengenai kesenjangan, terpancing keluar lewat juru bicara fraksi masing-masing. Fraksi ABRI mengakui bahwa selama PJPT I, Indonesia cukup banyak mencatat kemajuan, tapi masih ada kesenjangan pada kesempatan untuk ber-kiprah dalam pembangunan. Fraksi Partai Pembangunan bicara tentang nasib kaum dhuafa (papa) dan meminta agar peraturan perundang-undangan diserasikan dengan nilai-nilai keadilan, agar tidak menjadi kedok pelindung berbagai kemapanan. Adapun Fraksi Karya Pembangunan secara lebih transparan mendukung GBHN, yang dinilai akan mencegah terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi pada kelompok tertentu dalam berbagai bentuk monopoli dan monopsoni. Fraksi PDI melontarkan kesenjangan antar daerah, lalu menganggap perlu segera dikeluarkan sejumlah undang-undang untuk memperlancar pemerataan, misalnya UU perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah, tentang perlindungan pengusaha kecil dan menengah, dan persaingan yang sehat. Dari pendapat-pendapat tersebut, jelas tersirat bahwa kesenjangan merupakan hal yang perlu ditangani secara lebih serius. Padahal, menurut Mandataris MPR, berbagai langkah telah diayunkan Pemerintah untuk melaksanakan program pemerataan. ''Penanggulangan kemiskinan, penciptaan kesempatan kerja, pemenuhan kebutuhan dasar manusia, adalah bagian dari upaya besar kita untuk pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya,'' kata Presiden Soeharto. Pada penerimaan negara, Pemerintah melaksanakan perpajakan secara efisien dan adil. Pada pengeluaran negara, selalu memberikan prioritas yang sangat tinggi pada program-program pemerataan (lihat Gampang Hanya di Omongan). Tapi kesenjangan terus berlanjut. Begawan ekonomi Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, yang berbicara di DPR pada 7 November 1992, menganalisa persepsi tentang kesenjangan yang dikatakannya menyangkut segi lain dalam proses pembangunan, yaitu segi institusional. Dalam hubungan ini kesenjangan mengandung dimensi ekonomis-sosiologis dan dimensi ekonomis-regional. Segi institusional yang bersifat ekonomis-sosiologis bersangkut paut dengan ketimpangan yang mencolok pada perimbangan kekuatan di antara golongan pelaku ekonomi: antara saudagar besar dan produsen kecil. Sedangkan kesenjangan dalam dimensi ekonomis-regional menunjuk pada ketidak-seimbangan dalam jalannya perekonomian antardaerah. ''Kalau satu sama lain dibiarkan tanpa intervensi kebijaksanaan negara, perkembangan selanjutnya merupakan semacam lingkaran kegiatan yang semakin bermanfaat bagi kawasan yang sudah maju. Sementara kawasan yang ketinggalan mengalami lingkaran setan,'' kata Sumitro. Sumitro berpendapat bahwa intervensi aktif dari negara perlu untuk mengerem ketimpangan yang cenderung berlangsung semakin besar. Bahwa pemerintah sering melakukan intervensi, misalnya dengan membagi-bagi kue pembangunan di daerah, mungkin perlu dievaluasi secara mendalam. Proyek-proyek besar untuk daerah bagaikan ikan (hasil proyek pembangunan) yang dijatuhkan di daerah tapi pancingnya (modal) berada di pusat. ''Semua program pemerataan kurang berhasil karena GBHN menurut saya sulit dimengerti dan mengundang banyak interpretasi,'' kata Sri Bintang Pamungkas. Doktor ekonomi industri dari Iowa State University (AS) ini menilai GBHN lebih merupakan alat politik. ''Kalaupun nantinya dijadikan kerangka acuan atau tidak, tak jadi soal,'' katanya de ngan nada menyayangkan. Ia memberi contoh GBHN 1988 menyebutkan perlu dihindarkan terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi yang merugikan masyarakat atau perorangan. GBHN 1988 juga menekankan peningkatan kesejahte raan petani. Nyatanya tidak terpenuhi. Kini GBHN 1993 diulangi lagi. ''Saya tak percaya itu akan tercapai,'' kata anggota MPR dari FPP itu. Tujuan mulia ini, menurut Bintang, akan tercapai jika dilakukan dua hal. Pertama, tersedianya lahan yang cukup bagi keluarga petani. Kedua, kalau perlu subsidi harga, terlebih jika pemerintah mau melakukan intervensi harga. ''Sekarang ini Bulog kan beli dengan harga murah sehingga petani tak punya daya beli cukup. Padahal mereka harus mengonsumsi barang industri. Di negara mana pun, termasuk Jepang dan Eropa, kalau mau intervensi harga, pasti memberi subsidi,'' kata Bintang pula. Memang, bila imbauan untuk menurunkan suku bunga saja sudah sulit dilaksanakan, konon pula GBHN 1993. Tentu jauh lebih sulit, misalnya, untuk bisa menciutkan kesenjangan antara yang kaya dan miskin, antara Jawa dan luar Jawa, seperti yang terpatri dalam GBHN 1993. Max Wangkar dan Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini