AKHIR-akhir ini masalah pemilihan strategi pembangunan banyak dibicarakan kembali. Dalam berbagai pembahasan, terdapat satu segi yang tidak secara tegas-tegas dikupas, yaitu kriteria apa yang dapat dipergunakan oleh masyarakat untuk menilai berbagai pilihan strategi pembangunan yang ditawarkan oleh perorangan ataupun kelompok masyarakat. Apabila kita mempunyai kriteria yang dikembangkan dan disepakati bersama, kita akan dapat membahas berbagai pilihan strategi secara lugas, tetapi dengan kepala dan hati yang dingin. Dalam kesempatan ini, saya menyarankan agar setidaknya dipergunakan empat kriteria penilaian suatu strategi pembangunan, baik strategi pembangunan masa lalu maupun strategi pembangunan yang sekarang ini ditawarkan oleh berbagai kalangan untuk membangun Indonesia di masa depan. Kriteria tersebut dituangkan dalam empat buah pertanyaan. Pertama, apakah strategi tersebut telah memperhitungkan penggunaan sumber daya ekonomi yang terbatas secara sebaik-baiknya (optimal)? Kedua, apakah manfaat dari hasil pemba ngunan (yang berdasarkan strategi pembangunan) tersebut dinikmati secara luas oleh berbagai kelompok masyarakat dan tersebar di seluruh persada Nusantara? Ketiga, apakah strategi tersebut bertitik tolak dari kekuatan yang kita miliki saat ini dan kurun waktu mendatang yang tidak terlalu panjang? Dan keempat, apakah strategi tersebut dapat menyesuaikan diri dengan per ubahan-perubahan tak terduga yang mungkin terjadi dalam kurun waktu mendatang yang agak panjang? Pengamatan kita menunjukkan bahwa strategi pembangunan yang telah dilaksanakan pada awal-awal pembangunan dan selama 10 tahun terakhir ini, seperti yang antara lain diungkapkan dalam Pidato Pertanggungjawaban Presiden Mandataris MPR beserta lampirannya tanggal 1 Maret 1993 yang lalu, sudah menunjukkan arah yang benar. Inti dari strategi tersebut adalah ''fasilitatif'' (memberi kemudahan), sebagai lawan kata dari strategi ''intervensi'' (campur tangan). Perlu digarisbawahi di sini bahwa strategi fasilitatif ini jauh dari menganut sistem liberal, yang berarti menyerahkan segala sesuatu kepada kekuatan pasar, seperti yang (sengaja atau tidak) sering disalahartikan. Pemerintah masih memegang peran yang sangat penting. Tetapi peran Pemerintah tersebut dibatasi pada pengambilan langkah-langkah yang dapat dilaksanakannya sebaik-baiknya, misalnya menyediakan prasarana fisik, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, mengoordinasikan keputusan-keputusan berbagai bidang agar menjadi serasi, menentukan aturan permainan untuk dunia usaha, memelihara stabilitas, dan mengupayakan keadilan. Sudah tentu masih terdapat ruang gerak, walaupun terbatas, bagi Pemerintah untuk menjadi katalis dalam membantu industri yang sedang berkembang, tetapi dengan harapan industri tersebut segera dapat berdiri di atas kaki sendiri. Di sini tekanannya adalah membangun berdasarkan kekuatan yang sudah kita miliki untuk membangun kekuatan baru yang lebih besar. Kita perlu belajar berjalan sebelum ikut pertandingan lari cepat. Pilihan strategi fasilitatif seperti di atas harus dibedakan dari strategi intervensi. Sadar ataupun tidak, dalam strategi intervensi ini terkandung anggapan bahwa Pemerintah mampu secara tepat memperkirakan terlebih dahulu perkembangan jangka panjang teknologi dan pasar. Karena yakin akan kemampuannya itu, sebagai akibatnya strategi ini mempunyai kecenderungan untuk memberikan bantuan, baik berupa perlindungan secara tidak langsung (proteksi) maupun perlindungan/bantuan langsung (subsidi). Bahkan strategi ini menganjurkan loncatan ke depan (leapfrogging), dan bukan belajar secara bertahap. Dalam kurun waktu 25 tahun yang lalu, kita pernah mencoba kedua strategi itu. Kita lihat bahwa strategi intervensi sering kali tidak memberikan hasil seperti yang kita harapkan. Hal ini bukan khas Indonesia, melainkan terjadi di mana-mana. Banyak perlindungan yang diberikan kepada industri dalam negeri tidak mendorong mereka menjadi dewasa dan sanggup berdiri di atas kaki sendiri. Perlindungan tersebut telah meningkatkan industri hilir. Dan pada akhirnya, konsumen pula yang harus menanggung, walaupun tidak semua konsumen tersebut dari kalangan mampu. Kita tidak pula melihat bahwa industri yang dilindungi tersebut melakukan loncatan teknologi. Karena pasar dalam negeri terjamin, produsen tidak merasa perlu segera menyesuaikan teknologi. Kalaupun ada industri yang berhasil melakukan loncatan teknologi, keberhasilan tersebut harus dibayar dengan mahal, bukan saja dalam bentuk rupiah dan devisa, melainkan juga dalam bentuk sumber daya manusia dengan kualitas tinggi. Permasalahannya, rupiah, devisa, dan sumber daya manusia dengan kualitas yang tinggi tersebut masih sangat langka di Indonesia. Penggunaan sumber daya ekonomi itu untuk suatu industri berarti tidak tersedia untuk industri lainnya, yang sering kali mempunyai prospek perkembangan yang lebih cerah. Tidak seperti halnya strategi intervensi, strategi fasilitatif tidak memerlukan perlindungan langsung ataupun tidak langsung. Contohnya adalah industri yang berorientasi ekspor. Iklim usaha yang merangsang cukup diciptakan melalui penyesuaian nilai tukar rupiah secara realistik, upaya memperlancar arus dokumen di pelabuhan, pemberian fasilitas pembebasan dan pengembalian bea masuk atas barang dan bahan baku impor yang digunakan untuk memproduksi barang ekspor, dan pengurangan hambatan terhadap penanaman modal. Hasil-hasil kebijaksanaan deregulasi tersebut diatas, seperti tercermin dalam pertumbuhan berbagai lapangan usaha, termasuk ekspor hasil industri pengolahan, sudah banyak dilaporkan sehingga tidak perlu kita ulangi di sini. Yang perlu dicatat di sini adalah bahwa kebanyakan industri yang berhasil memasarkan hasil produksinya ke luar negeri bukan industri yang sebelumnya memperoleh perlindungan yang besar selama bertahun-tahun. Dalam berbagai media massa, sering dinyatakan bahwa strategi pembangunan yang berdasarkan keunggulan komparatif (strateginya para ahli ekonomi?) memang cocok untuk kurun waktu Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJPT I), sedangkan kurun waktu PJPT II lebih cocok melalui lompatan-lompatan teknologi (strateginya para teknolog?). Untuk menilai kedua strategi tersebut, kita tetap dapat mempergunakan empat kriteria seperti tersebut di atas, karena kriteria itu juga disusun untuk menjawab tantangan ke depan. Apakah masalah dan tantangan yang kita hadapi dalam 25 tahun yang akan datang? Secara garis besar, paling tidak, masih terdapat tiga tantangan yang memerlukan perhatian khusus, baik oleh Pemerintah maupun masyarakat. Pertama, bagaimana meningkatkan pemerataan hasil-hasil pembangunan kepada kelompok masyarakat yang semakin luas. Walaupun dalam kurun waktu 25 tahun yang lalu sudah banyak kemajuan yang dapat dicapai, kesejahteraan 27 juta rakyat Indonesia masih menyedihkan. Mereka masih hidup di bawah garis kemiskinan. Beberapa puluh juta lainnya, yang sekarang ini sudah hidup sedikit di atas garis kemiskinan, sewaktu-waktu bisa tergelincir ke dalam kemiskinan, misalnya, karena kegagalan panen. Sementara itu, setengah pengangguran juga masih tinggi. Satu di antara delapan kepala keluarga pada usia produktif bekerja kurang dari 25 jam per minggu. Walaupun dengan upah buruh yang rendah, lapangan kerja tidak cukup banyak untuk dapat menyerap semua tenaga kerja tersebut. Lebih gawat lagi, karena struktur penduduk masa lampau, tenaga kerja baru yang masuk dalam pasar tenaga kerja masih terus membanjir. Karena itu, kebutuhan untuk menciptakan tenaga kerja adalah kebutuhan yang sangat besar dan sangat mendesak. Tantangan kedua adalah bagaimana mempertahankan penanaman modal dan pertumbuhan yang cukup tinggi untuk dapat meningkatkan kesejahteraan mereka yang kurang beruntung seperti di atas. Tantangan kedua ini tidak kalah besarnya daripada tantangan pertama. Penerimaan dari sumber minyak bumi tidak akan dapat diandalkan lagi selepas tahun 2000. Sementara itu, beban pembayaran kembali utang luar negeri, baik utang Pemerintah maupun swasta, masih sangat besar. Satu-satunya jalan keluar adalah dengan meningkatkan penggalian sumber dana dari dalam negeri. Hal ini bukan pekerjaan yang mudah, dan oleh karena itu dana yang berhasil dihimpun, baik oleh Pemerintah maupun swasta, tidak boleh dihambur-hamburkan untuk proyek-proyek swasta dan Pemerintah yang tak peting dan mendesak. Strategi pembangunan untuk kurun waktu PJPT II harus dapat menjawab tantangan itu. Tantangan ketiga, bagaimana mempertahankan daya saing serta keluwesan. Kita menghadapi kompetisi internasional yang semakin keras. Dengan dilaksanakannya kebijaksanaan deregulasi di RRC, India, dan Vietnam, Indonesia akan menghadapi persaingan yang semakin ketat dalam memasarkan produk-produk yang secara intensif memerlukan tenaga kerja kurang terampil. Dalam mencari sumber-sumber kekuatan baru tersebut, kita harus selalu ingat bahwa teknologi dan pasar dapat berubah dengan cepat. Perekonomian yang berhasil, seperti Jepang, adalah perekonomian yang dapat menyesuaikan diri dengan cepat dan efisien terhadap perubahan-perubahan keadaan. Perekonomian tersebut mampu beralih dengan cepat dari industri lama (yang kalah bersaing) ke industri baru (yang bakal mampu bersaing), menciptakan produk-produk khusus untuk pasar yang makin berkembang, dan selalu mencari sumber baru keunggulan komparatif. Dengan kata lain, tantangan kita ke depan adalah mempertahankan fleksibilitas perekonomian, yaitu menjaga kemampuan agar sumber daya manusia dan modal secara cepat dan berhasil guna dapat berpindah dari satu industri ke industri lainnya. Dalam hubungan ini, strategi pembangunan ke depan harus dapat menjawab kriteria ketiga dan keempat. Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian di atas: empat kriteria yang kita paparkan pada awal tulisan ini bukan saja dapat dipakai untuk menilai strategi pembangunan masa lampau, melainkan juga untuk strategi pembangunan masa depan, karena kriteria yang dipilih bersifat sangat mendasar sehingga selalu dapat dipergunakan selama Indonesia belum menjadi negara maju sejajar Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat. *) Staf Pengajar Fakultas Ekonomi UI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini