HONG KONG baru saja mernperkenalkan polusinya yang terbaru:
polusi cahaya. Tapi untunglah, begitu tulis South China Morning
Post 8 April lalu, yang terpengaruh hanyalah segelintir kecil
penduduk kota itu. Yakni para astronom. Tapi buat para ahli ilmu
falak ini, gangguan yang ditimbulkan oleh kemilau kota itu di
malam hari dan atmosfir yang kotor sudah cukup gawat.
Masalah itu dikemukakan awal bulan ini oleh para astronom koloni
Inggeris itu dalam pembukaan pameran astronomi di Balai Kota
Hongkong oleh Hongkong Amateur Astronomical Society. Pameran itu
diadakan antara lain untuk memperkenalkan gagasan pendirian
Planetarium Hongkong pada penduduk kota itu. Menurut rencana,
"Hongkong akan memiliki teater antariksa yang ultra-modern dalam
beberapa tahun", begitu diumumkan oleh ketua Dewan Kota, A. de
O. Sales.
Selama pameran itu, berbagai kegiatan yang bersangkutan dengan
ilmu falak disajikan pada khalayak ramai. Mulai dari proses
pembuatan teleskop, sampai pada melongok matahari melalui
teleskop matahari - "apabila cuaca mengizinkan" begitu
pengumuman penyelenggara. Namun di samping faktor cuaca itu,
mereka tambahkan pula keluhan tadi. Yakni penerangan kota itu
yang membuat para peneropong bintang terganggu silaunya di malam
hari. Polusi udara juga mengganggu pengamatan antariksa secara
seksama.
Itu memang problim yang dihadapi para peneropong bintang, baik
profesionil maupun amatir, yang harus bekerja di kota-kota
besar. Dari segi itu, Indonesia sebenarnya beruntung karena
begitu banyak daerah kosong tempat menegakkan teleskop lengkap
yang terbesar sekalipun. Tapi tentu saja koordinat lintang dan
bujur itu menentukan sudut pandangan yang paling cocok untuk
pengamatan bintang, planet, bulan, dan benda antariksa lainnya.
Sehingga orang Belanda dulu memilih Lembang untuk mendirikan
teropong bintang Bosscha, misalnya.
Namun sayangnya ekspansi industri bangunan - baik untuk tempat
tingal permanen maupun pariwisata - kadang-kadang bisa tubrukan
juga dengan kepentingan astronomi. Teropong bintang Bosscha
belakangan dikabarkan mulai terganggu juga oleh polusi cahaya
garagara Pertamina membangun kompleks hotel di dekatnya.
Pengurus teropong bintang sudah protes, tapi belum ada kabar
apakah Pertamina -- atau instansi lain, misalnya pariwisata --
bersedia membongkar hotel itu dan memindahkan lokasinya ke
tempat lain. Ataukah para ahli tehnik di ITB perlu menciptakan
satu kubah raksasa - misalnya dari kaca gelap yang hanya tembus
pandang satu arah saja - untuk menaungi hotel itu? Agar hotel
dan teropong bintang dapat hidup bertetangga tanpa saling
mengganggu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini