SEMBURAN minyak bumi bercampur gas alam setinggi 60 meter,
sebanyak 4000 ton sehari, telah menggegerkan negara-negara di
kawasan Laut Utara, Eropa sejak dua minggu lalu. Sumbernya
adalah sebuah sumur minyak terapung, Bravo, di ladang minyak
lepas pantai Ekofisk, 175 mil sebelah barat daya kota Stavanger,
Norwegia.
Genangan minyak mentah itu sampai minggu lalu sudah 20 Km
panjangnya. Ini bukan hanya membuat para nelayan dan ahli
ekologi Norwegia saja seperti cacing kepanasan. Juga negara
tetangga, yang pantainya berbatasan dengan daerah bencana itu:
Denmark dan Jerman Barat. "Hanya Tuhan yang dapat menolong kami,
kalau angin berbalik", kata Dr Hartwig Trondheim dari Institut
Hydrografi Jerman Barat di Hamburg pada Reuter.
Usaha penanggulangan memang sudah dilakukan. Tapi sampai minggu
lalu masih ibarat menggarami lautan saja. Yang dapat dilakukan
hanyalah membendung genangan minyak agar perembetannya rada
terbatas. Yakni penyemprotannya dengan deterjen kimiawi, agar
minyak mentah itu mengental bergumpal-gumpal sehingga mudah
diciduk, serta pembendungan fisik dengan pelampung pelampung.
Namun penyemprotan deterjen itu - yang memang sudah mulai
dilakukan oleh Lembaga Pengawas Polusi Nasional Norwegia - serta
merta menimbulkan protes dari nelayan dan cendekiawan. Soalnya,
mereka khawatir bahwa zat-zat kimia itulah yang akan lebih
merusak lagi ikan-ikan dan plankton makanan ikan di kawasan
'gudang ikan' Eropa Barat itu.
Tak Dapat Dekat
Sementara itu, minyak dan gas bumi terus menyembur sebanyak 4000
ton sehari dari sumur terapung milik maskapai AS Phillips
Petroleum Company. Perusahaan itu telah mengungsikan 112 pekerja
di sumur terapung itu ke perkampungan Ekofisk yang terdekat.
Namun untuk menambal kebocoran di saluran bor sumur itu,
bahayanya cukup besar. Bunga api kecil saja dari knalpot
helikopter atau kapal bisa serta-merta dilalap oleh gas alam
yang ikut menyembur. Makanya sampai minggu lalu, ahli-ahli
Amerika yang didatangkan ke Ekofisk tak dapat mendekat ke sumur
Bravo.
Para ahli lantas memikirkan cara penanggulangan yang lain. Yakni
mengurangi tekanan semburan minyak dan gas alam itu, dengan
membor lubang baru dari arah yang aman ke pipa penyedot minyak
di bawah laut. Nantinya, setelah tekanan minyak yang bocor sudah
berkurang, baru tukang-tukang tambal pipa minyak dapat bekerja
dengan aman. Namun berabenya, "cara ini bisa makan waktu 4
sampai 6 minggu, malah bisa juga lebih lama lagi", kata Hans
Christian Bugge dari Lembaga Polusi Norwegia. Sementara itu,
minyak yang terus luber akan makin sulit dibendung ekspansinya
menurut arah angin dan arus laut.
Masalah itu segera mengundang perdebatan yang ramai di Norwegia.
Tak ketinggalan, partai Liberal yang beroposisi menuding
pemerintah minoritas Partai Buruh bertanggungjawab atas insiden
itu, karena kurang memperhatikaul aturan keselamatan dalam
eksplorasi minyak dan gas lcpas pantai. Kalangan yang mutlak
menentang eksplorasi lepas pantai Norwegia dalam skala besar
malah sudah berniat membongkar masalah ini menjadi batu
penumbang pemerintah dalam pemilu bulan September mendatang.
Tapi sebenarnya, betulkah eksplorasi minyak dan gas alam-lepas
pantai begitu berbahaya, dan merupakan sumber polusi lautan yang
utama? Ternyata tidak, menurut suatu seminar yang kebetulan saja
telah diselenggarakan oleh United Nations Environtment Programme
(UNEP). Paling tidak, begitulah pendapat Dr M.T. Westaway dari
maskapai Inggeris BP.
Blow-up
Sebagaimana dikutip oleh AP minggu lalu, dari 1 ribu lebih sumur
lepas pantai yang telah dibor di perairan AS "hanya 10 insiden
telah menimbulkan polusi yang berarti, dan hanya satu, yakni
insiden Santa Barbara telah mencemarkan garis pantai". Bahkan
dalam kasus Santa Barbara itu, menurut Dr. Westaway, "7000 ton
minyak yang terbuang masih jauh lebih kecil dari pada ketika
tanker Torrey Canyon kandas di perairan Inggeris tanun 1967".
Sebuah Iaporan lain yang dikeluarkan US National Academy of
Sciences tahun 1975 menyebutkan, bahwa dari 6 juta ton minyak
yang tumpah ke 7 samudera dunia tiap tahun "hanya 80 ribu ton
berasal dari sumur produksi lepas pantai". Kebocoran dari sumur
minyak lepas pantai itu, bisa timbul karena minyak muncrat
(blow-up) seperti dalam insiden sumur Bravo di Norwegia itu.
Bisa juga timbul polusi, karena ada minyak yang terbuang ke laut
bersama air buangan.
Sebagai perbandingan, dalam seminar UNEP yang diselenggarakan di
Paris itu disebutkan bahwa kebocoran alamiah minyak ke laut tiap
tahun mencapai 600 ribu ton. Keterangan itu, kurang lebih sama
seperti yang pernah disampaikan oleh Dr Jenifer Marlene Baker
dari Oil Pollution Research Unit Orielton, Pembroke, Wales,
Inggeris. Dalam ceramahnya di ruang sidang LIPI Jakarta Nopember
tahun lalu, sarjana wanita itu memberikan perkiraan Wardley
Smith tentang polusi minyak ke samudera tiap tahun dari berbagai
sumber.
Dari perkiraan itu, ternyata bahwa polusi dari sumur produksi
lepas pantai ternyata paling rendah, yakni 'hanya' 200 ribu ton
setahun. Berikutnya disusul oleh kecelakaan tanker (300 ribu
ton), dan kebocoran alamiah (600 ribu ton itu). Sumber polusi
minyak ke samudera yang terbesar justru berasal dari
kilang-kilang minyak di darat, yang nlenlbuang kotorannya ke
laut, yakni 1,3 juta ton setahun. ekor ini disusul kemudian oleh
tanker-tanker yang suka mencuei perutnya di laut sebelum mengisi
tankinya dengan minyak kembali untuk diangkut, yakni 1 juta ton.
Tapi karena kecelakaan tanker dan kebocoran dari sumur minyak
lepas pantai hanya terjadi sekali-sekali tapi sangat fantastis
orang umumnya mengira kedua instalasi itulah sumber polusi
samudera yang utama. Sementara itu polusi yang sedikit tapi
kontinyu dari kilang di darat kurang dapat sorotan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini