ADA seorang guru silat yang menjelaskan kepada saya bahwa
tidaklah sulit bagi seseorang untuk membela diri, juga kalau ia
diserang oleh sepuluh orang misalnya.
"Kalau anda dapat memukul pingsan atau mati salah seorangnya,
maka sembilan yang lain akan lari atau menyingkir".
Mengapa? "Sederhana saja. Selagi menyerang maka sepuluh orang
tersebut akan berfikir sebagai kelompok tetap dalam keadaan
bahaya mereka akan memikirkan keselamatan diri, dan karena itu
mereka sebenarnya berfikir secara perorangan. Dalam bahaya atau
kemelut, kelompok cenderung menjadi buyar".
Ibarat sapu lidi, sembilan batang yang tadinya bersatu susah
dipatahkan. Tetapi ketika mereka cerai-berai, tiap batangnya
dapat saja dibuat patah tujuh atau sepuluh.
***
Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan lain. Apakah filsafat
seperti itu berlaku juga dalam bidang lain? Dalam politik
misalnya?
Menarik sekali memikirkan kembali kesan-kesan masa kampanye
pemilu yang baru lewat. Tiap kontestan selalu mengadakan appeal
(seruan) untuk memberi kesan bahwa dirinya dan rakyat yang akan
memilih adalah satu. Di sana-sini terdengar janji bahwa kalau
saja kontestan Anu menang pemilu, keadaan akan banyak berubah:
landreform dan distribusi tanah diperbaiki, pendidikan dan
generasi muda diutamakan, dan perataan hasil-hasil pembangunan
diberi perhatian serius. Dibuat identifikasi antara kepentingan
rakyat dan kepentingan kontestan. Sedapat-dapatnya ditunjuk
bahwa si kontestan berfikir menurut jalan fikiran rakyat,
sementara jalan fikiran kontestan diusahakan menjadi jalan
fikiran rakyat.
Sejauh itu semua wajar-wajar saja. Kampanye yang berhasil adalah
yang mampu mengadakan political engineering -- suatu penyiasatan
politik untuk mencapai tujuan politik dan mewujudkan kemauan
politik tertentu, dengan cara menciptakan suatu cara berfikir
menurut kerangka acuan kelompok.
***
Nampaknya sejarah perjuangan kemerdekaan memberi pelajaran yang
sama. Ketika itu ada tujuan yang sama, menghadapi lawan yang
sama. Kolonialisme yang harus ditumbangkan dan kemerdekaan yang
harus direbut hampir secara otomatis membuat seluruh rakyat yang
terjajah berfikir menurut satu kerangka, yang mengikat mereka
menjadi satu kelompok yang padu.
Kemudian datang Indonesia merdeka. Lahir sejumlah besar partai
politik yang saling gontok-gontokan dan menyebabkan amat sulit
untuk menciptakan suatu stabilitas politik. Menjadi pertanyaan:
mengapakah orang-orang yang tadinya demikian bersatu padu, dalam
waktu tak lama berselang, menjadi amat pecah-belah ?
***
Pengalaman-pengalaman seperti itulah yang barangkali membuat
rakyat dengan hati nuraninya yang lugu -- menjadi kritis
menghadapi appeal politik dalam berbagai kampanye. Persatuan
kepentingan dengan mereka dikerahkan sehabis-habisnya tatkala
suara atau tenaganya dibutuhkan untuk mensukseskan suatu
perjuangan politik. Tetapi begitu perjuangan mulai
memperlihatkan hasil-hasilnya, mereka cenderung tidak
diutamakan, sekurang-kurangnya tak lagi sehebat ketika lagi
berjuang.
Bagaimana dijelaskan? Filsafat silat nampaknya berlaku juga di
sini dengan sedikit variasi: dalam perjuangan politik orang
cenderung berfikir sebagai kelompok, dalam menikmati hasilnya
orang cenderung berfikir sebagai perorangan.
Di sebuah warung "Bubur kacang ijo" orang bisa berjumpa dengan
kesadaran seperti itu.
- Bagainlal1a pendapat bang tentag kampanye yang baru lewat ?
Saya bertanya sekedar iseng
- Biasa dik.
"Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang sendirian".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini