Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Program Studi Lingkungan Hidup Universitas Indonesia (UI) Adhiraga Pratama mengatakan kendaraan bermotor menjadi salah satu faktor penyumbang emisi udara di Jakarta. Faktor lainnya, menurut anggota Tim Penyusun Dokumen Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah DKI ini, yakni kegiatan industri dan pembangunan infrastuktur agrikultur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kondisi ini mempengaruhi kualitas udara dan suhu ambien, fenomena cuaca ekstrem, urban heat island, temperature humidity index, dan perubahan biodiversitas," kata Adhiraga dalam FGD Penyusun Dokumen Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta di Kantor Balaikota, Jakarta, Selasa, 28 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Adhiraga, jumlah mobil penumpang di Jakarta untuk tahun 2023 sebanyak 3,83 juta unit. Jumlah tersebut menurun jika dibandingkan dengan tahun 2021 sebanyak 4,11 juta unit, dan tahun 2022 sebanyak 4,21 juta unit. Untuk jumlah motor tahun 2023 yakni 18,229 juta dan tahun 2022 sebanyak 17,062 juta.
"Jadi berdasarkan sektor penyumbang emisi, maka aktivitas transportasi menjadi penyumbang terbanyak untuk parametekarbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), PM (Partikulat), dan NMVOCs (senyawa organik volatil non-metana)," ujarnya.
Dari lima titik pengambilan sampel, yakni Bundaran Hotel Indonesia, Kelapa Gading, Jagakarsa, Lubang Buaya, dan Kebun Jeruk, parameter Ozon, partikulat, dan SO2 hampir di seluruh wilayah sudah melewati baku mutu.
Untuk gas ozon batas baku mutu, yakni 35 μg/m3. Temuan gas ozon Bunderan HI yakni 64,09 μg/m3, di Kepala Gading yakni 76, 25 μg/m3, di Jagakarsa 53, 68 μg/m3, di Lubang Buaya sebesar 47, 53 μg/m3, dan Kebun Jeruk yakni 108, 69 μg/m3.
Namun, kata dia, kesan yang kontradiktif karena nilai indeks kualitas udara mengalami kenaikan dari tahun 2022 sebesar 68,06 menjadi 68,46 di tahun 2023. "Penjelasannya dalam penghitungan IKU ini memang tidak dimasukkan data partikulat meter. Untuk tahun 2025 partikulat meter bakal masuk ke parameter IKU, jadi nanti mungkin tren bakal berbeda," ungkapnya.
Menurut Adhiraga, akibat polusi udara yang terjadi di Jakarta ini dicatat bahwa prevalensi penderita pneumonia dan tuberkulosis paru menjadi lebih tinggi.