Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Warga Minoritas Terdampak Perubahan Iklim, PBB: Australia Melanggar HAM

Pemerintah Indonesia diminta ikut mencermati putusan dari Komite HAM PBB atas kasus dampak perubahan iklim yang diadukan warga Pulau Selat Torres itu.

7 Oktober 2022 | 18.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Suku Aborigin Australia dan Kepulauan Torres Strait memakai pakaian tradisional di depan Gedung Pemerintah setelah tampil dalam upacara penyambutan di Sydney, Australia, 28 Juni 2017. REUTERS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Komite HAM PBB menyatakan Pemerintah Australia telah melanggar HAM masyarakat di Kepulauan Selat Torres. Penyebabnya, upaya adaptasi perubahan iklim yang dinilai tidak memadai dan tidak tepat waktu untuk melindungi penduduknya yang ada di kepulauan itu yang sudah rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keputusan diberikan Komite HAM PBB pada 22 September 2022, atau sekitar dua bulan berselang dari Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi yang menyatakan bahwa hak atas lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan sebagai hak asasi manusia (HAM) universal. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adapun pengaduan dari warga Australia minoritas itu sudah diterima Komite HAM PBB sejak 2020. Tak memadainya upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim disebut berakibat kepada pelanggaran berlapis hak-hak sipil dan politik warga di kepulauan berdasarkan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). 

Pengadu mendalilkan Pasal 6 (hak untuk hidup) telah dilanggar karena pemerintah Australia gagal mencegah hilangnya nyawa yang dapat diprediksi dari dampak perubahan iklim dan melindungi hak atas hidup pengadu. Juga Pasal 17 atau hak atas privasi, keluarga, dan tempat tinggal. Pengadu merujuk perubahan iklim yang telah menimbulkan gangguan terhadap kehidupan pribadi, keluarga, dan rumah pengadu yang kemungkinan harus meninggalkan tempat tinggal mereka. 

Pengadu menambahkan pelanggaran atas Pasal 27 (hak atas budaya minoritas). Yang ini karena perubahan iklim telah menyebabkan perubahan gaya hidup tradisional para pengadu dan mengancam mereka untuk pindah dari pulau yang menjadi bagian inti dari budaya mereka. Sedangkan pelanggaran terhadap Pasal 24 atau hak anak didalilkan berdasarkan kegagalan Pemerintah Australia dalam mengambil langkah untuk melindungi hak generasi yang akan datang dari komunitas pengadu yang akan sangat terdampak oleh perubahan iklim. 

Komite HAM PBB menyatakan pengaduan dapat diterima dan belakangan memutuskan Pemerintah Australia melanggar Pasal 17 dan 27 ICCPR. Menurut para pakar di komite itu, Australia melanggar Pasal 17 dikarenakan kegagalan untuk menjelaskan penundaan langkah-langkah adaptasi perubahan iklim, khususnya terhadap permintaan peningkatan tanggul laut oleh pengadu, dan tidak menangani berkurangnya sumber pangan masyarakat akibat perubahan iklim. 

Torres Straits Islands. Foto: Torres Strait Regional Authority

Pasal 27 dilanggar karena Canberra dianggap gagal mengambil langkah adaptasi yang tepat waktu dan mumpuni untuk melindungi kemampuan kolektif pengadu dalam menjaga cara hidup tradisional dan meneruskan budaya, tradisi, serta penggunaan sumber daya di darat dan laut ke generasi berikutnya.

Meskipun tidak menyatakan adanya pelanggaran Pasal 6 (hak untuk hidup), Komite HAM PBB memberikan tafsiran yang dapat dikembangkan di kasus-kasus berikutnya. Dalam melindungi hak atas hidup, negara disebut wajib mengambil segala langkah yang diperlukan dalam rangka menangani ancaman yang dapat diprediksi secara logis dan situasi yang mengancam kehidupan. Dampak perubahan iklim dapat dicantumkan dalam kedua situasi tersebut. 

Sebanyak tiga dari 18 anggota komite itu juga menyatakan perbedaan penafsiran (partially dissenting) untuk Pasal 6. Menurut ketiganya, Pemerintah Australia terbukti melanggar karena tidak mengambil langkah-langkah adaptasi yang tepat waktu setelah menerima berbagai pengaduan masyarakat untuk mitigasi dan adaptasi.

Baca halaman berikutnya: Catatan dan seruan untuk Indonesia yang dianggap lebih banyak memiliki penduduk rentan terhadap dampak perubahan iklim

Catatan dan Seruan untuk Indonesia

Dalam catatan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) dan Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), ada empat keunikan dari Keputusan Komite HAM PBB dalam kasus Torres Strait Islanders. Di antaranya adalah kasus ini pertama kalinya penduduk dari pulau berdataran rendah yang rentan dampak perubahan iklim mengajukan tuntutan hukum  ke Badan Traktat HAM PBB. 

"Juga, kasus ini pertama kalinya negara dinyatakan melanggar HAM oleh Badan Traktat HAM PBB dikarenakan tidak memadainya upaya adaptasi perubahan iklim," bunyi bagian dari catatan itu. 

Sebanyak dua catatan lainnya adalah bahwa negara dinyatakan bertanggung jawab atas emisi Gas Rumah Kaca yang diproduksi oleh negara tersebut. Juga, negara
berkewajiban mengambil langkah-langkah positif untuk melindungi hak masyarakat adat atas budaya yang terancam oleh dampak perubahan iklim.

Keduanya lalu meminta pemerintah Indonesia, sebagai negara dengan jumlah penduduk pulau yang sama rentannya, bahkan lebih tinggi, ikut mencermati putusan itu. Indonesia juga ditekankan sebagai negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ke-7 di dunia sehingga perlu mengakselerasi upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, khususnya di pulau-pulau berdataran rendah yang rentan akan dampak perubahan iklim. 

Keputusan Human Rights Committee dalam kasus Pulau Selat Torres perlu dijadikan momentum bagi pemerintah, penegak hukum, akademisi, dan masyarakat sipil mewujudkan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang lebih ambisius dan responsif. "Menunda untuk melakukan mitigasi dan adaptasi yang memadai, berpotensi untuk menimbulkan ancaman pelanggaran HAM oleh negara," kata mereka.

Berikut ini seruan yang dibuat IOJI dan ICEL dalam pernyataan bersama yang mereka buat menindaklanjuti kasus Torres Straits Islanders:

1. Untuk Pemerintah Indonesia:

perlu meningkatkan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim berdasarkan kajian komprehensif tentang dampak perubahan iklim yang melibatkan masyarakat terdampak (genuine participation) dengan metode yang teruji secara ilmiah. Langkah ini perlu dikomunikasikan secara berkala dengan transparan dan akuntabel. Lebih dari itu, guna menjalankan amanat Pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945, Pemerintah Indonesia perlu menetapkan ekosistem karbon biru dan hutan sebagai critical natural capital yang tidak bisa dipindahkan (irreplaceable) dan tidak bisa digantikan (non-substitutable) dalam rangka menjamin pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Penetapan ini harus diiringi dengan pembentukan dan pelaksanaan instrumen dan kebijakan perlindungan lingkungan hidup yang kuat.

2. Untuk hakim:

perlu mengakomodir pertimbangan hukum terkait dampak perubahan iklim secara ilmiah, serta menghubungkan kausalitas antara HAM dan perubahan iklim dalam putusannya. Untuk itu, diharapkan hakim merujuk dan mereferensikan pada dokumen hukum relevan, salah satunya kasus Torres Straits Islanders.

3. Untuk akademisi/komunitas ilmiah:

mengarusutamakan diskursus dan penelitian terkait dampak perubahan iklim utamanya pada masyarakat terdampak langsung.

4. Untuk LSM dan masyarakat sipil:

Bersama-sama mengawal komitmen dan target perubahan iklim Indonesia, memberikan pemahaman tentang hak-hak dasar kepada masyarakat terdampak dan melakukan upaya pendampingan kepada masyarakat terdampak yang sedang membela hak-hak nya dari potensi pelanggaran hak atas lingkungan hidup yang sehat.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus