Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAMPIR sepuluh tahun berlarut-larut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tak kunjung menuntaskan tanggung jawab eksekusi atas perusahaan yang menjadi biang kebakaran hutan dan lahan pada 2015-2021. Padahal sedikitnya 19 korporasi diwajibkan membayar kerugian negara senilai Rp 20,7 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KLHK mengaku kesulitan memaksa perusahaan membayar denda tersebab kewenangan eksekusi ada pada pengadilan negeri. Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani mengatakan pihaknya telah mengajukan permohonan eksekusi paksa. Bahkan pihaknya menyiapkan tim penilai untuk menghitung aset perusahaan agar dapat dilelang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rasio sebetulnya telah melakukan pelbagai upaya untuk menyarankan korporasi menjalankan eksekusi sukarela. Salah satunya memberi ruang bagi perusahaan membayar denda secara bertahap. Namun capaiannya hanya Rp 131,1 miliar. Sejurus dengan itu, KLHK menyiapkan skenario eksekusi paksa dengan ancaman bakal menyita dan melelang aset perusahaan.
Berikut ini wawancara Tempo dengan Rasio Ridho Sani yang didampingi Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Jasmin Ragil Utomo di kantornya, Selasa, 21 Mei 2024.
Bagaimana progres eksekusi terhadap perusahaan pelaku kejahatan lingkungan yang dendanya mencapai Rp 20,7 triliun?
Dalam konteks perdata lingkungan, KLHK sangat intensif dan konsisten melakukan segala upaya menjalankan putusan pengadilan. Ada 19 perkara yang telah inkracht (berkekuatan hukum tetap). Dari jumlah itu, delapan kasus masih berlangsung proses eksekusinya. Sisanya 11 perkara berstatus eksekusi dengan catatan, yang terdiri atas 8 kasus sudah tereksekusi dan 3 dalam proses pembayaran.
Mengapa proses eksekusi sangat lama?
Eksekusi itu erat kaitannya dengan komitmen setiap ketua pengadilan negeri. Ini sangat bergantung pada mereka karena kewenangan eksekusi ada di ketua pengadilan negeri.
Adakah masalah lain?
Tantangan eksekusi lain berkaitan dengan aset-aset yang hendak disita. Tak mudah bagi kami menelusuri aset-aset ini karena yang berwenang memberi izin adalah kementerian. Makanya kami berkoordinasi dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional yang memiliki informasi izin hak guna usaha perusahaan tergugat.
Apakah eksekusi mandek karena perusahaan mangkir dari kewajiban menjalankan putusan pengadilan?
Memang ada langkah-langkah yang dilakukan pihak tergugat, yaitu mempailitkan diri atau dipailitkan. Padahal itu tak bisa dilakukan karena mereka harus memenuhi kewajiban terhadap negara yang sudah diputus pengadilan negeri.
Bagaimana bila perusahaannya sudah dijual kepada pihak lain untuk lari dari tanggung jawab?
Kami memblokir akta perusahaan sehingga mereka tidak bisa melakukan pemindahtanganan pengelolaan ke pihak lain. Setiap kali melayangkan gugatan, kami meminta pemblokiran akta perusahaan.
Bagaimana KLHK mengeksekusi PT National Sago Prima di Riau yang belum membayar denda Rp 319,1 miliar?
PT National Sago Prima sudah berkomitmen melakukan eksekusi secara sukarela. Mereka akan melakukan pembayaran dalam dua tahap, pertama paling lambat 28 Juni 2024 sebesar Rp 160 miliar dan Rp 159 miliar paling lambat pada 18 Desember 2024. Pemulihan lingkungan senilai Rp 733 miliar dilakukan secara mandiri dengan pengawasan KLHK.
Bagaimana tanggung jawab PT Jatim Jaya Perkasa yang harus membayar denda Rp 491 miliar?
Sejauh ini mereka tidak kooperatif dalam melaksanakan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Karena alasan ini, kami mengajukan permohonan eksekusi paksa ke pengadilan negeri. Saat ini kami sedang melengkapi data aset dan pendukung untuk menghitung nilai aset perusahaan.
Bagaimana KLHK menghitung aset PT Jatim Jaya Perkasa untuk pembayaran denda eksekusi?
Kami menyiapkan dukungan dari kantor jasa penilai publik untuk menghitung aset perusahaan apabila eksekusi paksa diperlukan. Termasuk menyiapkan skenario pelelangan aset perusahaan. Hal ini bagian dari percepatan eksekusi paksa. Tahun ini, kami diharapkan dapat melelang aset-aset tersebut.
Kapan permohonan eksekusi paksa atas PT Jatim Jaya Perkasa dikirim ke pengadilan?
Jasmin Ragil Utomo: Permohonan sita atau eksekusi paksa kami sampaikan ke pengadilan negeri pada 28 Oktober 2022. Sudah lama sebenarnya, tapi baru tahun ini ada respons agar kami melengkapi data pendukung.
Rasio Ridho Sani: Kasus-kasus yang sudah inkracht tersebut sudah kami tindak lanjuti dengan permohonan eksekusi paksa.
PT National Sago Prima dan PT Jatim Jaya Perkasa masih beroperasi menanam sagu dan kelapa sawit?
Nanti kami cek. Terima kasih atas informasinya. Kalau putusan pengadilan menyatakan mereka harus menghentikan kegiatan, tentu obyek gugatan tak boleh ditanami lagi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo