Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Politik Pangan dalam Karya Mella Jaarsma

Pameran Mella Jaarsma mengkritisi karut-marut politik pangan. Karyanya masih melibatkan interaksi tubuh dengan aneka material.

26 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI atas hamparan tikar kecokelatan, dua perempuan dan seorang lelaki terlibat perbincangan. Namun tidak sesantai obrolan di warung kopi, mimik mereka tampak serius seperti bahasannya, yakni persoalan pangan di negeri ini. Sambil bergerak dinamis, orang-orang yang berkostum kain serba putih itu berpindah posisi duduk, lalu berdiri, dan berjalan-jalan di area pameran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka adalah Idha Saraswati, Zuhdi Sang, dan Gispa Ferdinanda Warijo yang sedang melakukan performance art dalam pembukaan pameran tunggal Mella Jaarsma. Pameran tunggal bertajuk “Tiga Pasang Tangan” itu berlangsung pada 10 Mei-10 Juni 2024 di galeri Lawangwangi Creative Space, Bandung, Jawa Barat. Dengan karya-karya yang ia tampilkan, seniman asal Belanda itu berupaya mengkritisi persoalan pangan di negeri ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Misalnya lewat tikar yang diduduki para penampil yang merupakan bagian dari karya berjudul The Blanket Talks alias Selimut Berbicara. Berukuran 640 x 450 sentimeter, permukaannya tak licin karena menonjolkan sambungan antarpola. Jaarsma menggunakan bahan kulit kayu, batok kelapa, jerami padi, dan batang pohon pisang.

Dalam karya itu dia juga menyelipkan semacam saku besar pada beberapa titik sehingga kaki orang bisa masuk ke balik tikar. Karya baru ini tergolong berbeda dengan kebanyakan kreasi kostum yang kerap ia garap dengan unik dan menggelitik.

Menurut kurator pameran, Arham Rahman, The Blanket Talks didominasi material alami tanpa elemen yang kontras. Jaarsma memadukan bentuk visual yang simbolis dalam wujud tikar dengan torehan tiga pola kalender tradisional Jawa untuk bertani dari jerami dan batok kelapa. Dari masa lalu yang hilang, dia masih mengaitkannya dengan situasi hari ini dan kemungkinannya di masa depan. Jaarsma berusaha mengais pengetahuan lokal, membuka pertanyaan tentang narasi dan wacana mengenai ketahanan pangan.

“Karyaku sering berangkat dari esensi kehidupan, jadi kita menghadapi apa sekarang dan mau membicarakan apa,” kata Jaarsma di sela acara pembukaan, Jumat, 10 Mei 2024.

Jaarsma sudah lama memikirkan masalah pangan sambil berjalan-jalan dan mengamati persawahan. Namun baru pada 2020 dia memulai proyek karyanya tentang budaya Asia Tenggara yang terkait dengan agraria dan tubuh. “Di balik isu pangan, ada banyak hal dan di luar Pulau Jawa jauh lebih bermasalah,” ujarnya.

Ia mencontohkan berubahnya pola makan sagu ke nasi di kalangan warga Papua yang berdampak perubahan sosial, lingkungan, dan budaya. Judul pameran, “Tiga Pasang Tangan”, terinspirasi aktivitas mengolah tanaman rumbia untuk dijadikan sari pati sagu oleh warga Papua. Kegiatan itu dinilai mewakili gagasan utama Jaarsma tentang politik pangan.

Karya yang dipamerkan terbagi menjadi instalasi, kostum, performance, lukisan, dan gambar. Tidak semuanya baru. Jaarsma juga menyertakan karya lama untuk menguatkan tema pamerannya. Misalnya, lewat Antithesis of Growth yang dibuat pada 2023, Jaarsma mempertanyakan masalah perkembangan yang ia nilai perlu dipikirkan ulang. “Mungkin dalam 20-30 tahun terakhir kita telah merusak banyak hal, termasuk kebudayaan, demi perkembangan,” ucapnya.

Antithesis of Growth karya Mella Jaarsma dalam pameran Tiga Pasang Tangan di Lawangwangi Creative Space, Bandung, Jawa Barat, 12 Mei 2024. Tempo/Prima Mulia

Dia mencontohkan rumah berarsitektur tradisional Jawa yang dikembangkan ribuan tahun, yaitu limasan, berubah ketika batu bata dan semen datang.

Karya itu senapas dengan The Impolite Project (2024) yang menurut Arham membicarakan pergeseran perilaku masyarakat Jawa yang dianggap tidak lagi halus akibat hilangnya keseimbangan dan simbiosis manusia dengan alam. Jaarsma menyimbolkannya lewat kostum berbahan tikar pandan yang dicat hijau lalu dibentuk berundak. Kostum itu dipakai seorang wanita yang pada bagian dadanya dipasangi sepasang corong mengarah ke bawah.

Karya itu dianalogikan sebagai Dewi Sri alias Dewi Padi yang beralih wujud. “Menjadi tubuh feminin yang direcoki instrumen-instrumen maskulin,” kata Arham.

Jaarsma menggaet Imam Wicaksono untuk berkolaborasi dalam salah satu karya barunya lewat video berjudul 12 Messages, 12 Tembang. Tembang berbasis sastra Jawa itu dikembangkan lebih kontemporer dengan mengangkat isu zaman sekarang.

Jaarsma mengaku kesengsem pada syair tembang. “Apa yang dinyanyikan itu fakta dan pesan, bukan harapan,” tuturnya. Video tembang itu pun menyinggung masalah kepunahan bahasa lokal.

Seniman yang juga kurator, Asmudjo Jono Irianto, mengatakan karya Jaarsma menarik dan penting. Namun, dalam pameran kali ini, dosen seni rupa Institut Teknologi Bandung itu menilai karyanya terlalu dibebani persoalan. “Jadi agak tanggung, drama pada karyanya enggak sampai,” katanya. Dia mengaku lebih menyukai karya Jaarsma sebelumnya yang seperti selubung.

Menurut Arham, Jaarsma membungkus isu-isu pangan dengan gaya visual yang biasa dilakukan sebelumnya, yaitu melibatkan tubuh, berwatak performatif, dengan aneka rupa kostum dan gambar, serta menggunakan material yang campur aduk dan kadang terlihat ringkih.

Karyanya menyuguhkan narasi yang bersifat keseharian serta padat informasi dengan kemasan metaforis. Narasinya, Arham menambahkan, tidak mengarah pada penilaian tunggal. “Sebaliknya, selalu ada ceruk yang disediakan sebagai ruang bagi pengunjung untuk menginterpretasi dan mengambil posisi sendiri,” ujarnya.

Arham mengungkapkan, ketika dia berbincang dengan Jaarsma tentang gagasan besarnya dalam pameran ini, kisah tentang Dewi Sri dan pemikiran ekologi Vandana Shiva sering muncul. Sosok Dewi Sri melahirkan ritual atau tradisi di kalangan masyarakat agraris untuk memanjatkan rasa terima kasih dan harapan akan hasil panen padi serta sikap hidup yang arif dan menjaga alam.

Mengikuti Vandana Shiva, Jaarsma ikut melihat persoalan pangan sebagai isu yang sangat lekat dengan perempuan. Namun kemudian perannya bergeser ke korporasi agrobisnis yang digerakkan oleh logika kapitalis-patriarkis.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Politik Pangan Mella Jaarsma". 

Anwar Siswadi

Anwar Siswadi

Kontributor Tempo di Bandung

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus