Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Yang Banjir, Yang Gedongan Di Jakarta

Permukiman baru semakin menjamur di Jakarta seiring dengan pertambahan penduduk. Berbagai problem yang timbul di pemukiman, antara lain masalah air, jalan, tempat peribadatan, dst. (ling)

22 Juni 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KELUHAN pertama yang dilontarkan keluarga Nyonya Agus sesaat setelah mereka memasuki rumah barunya ialah engap dan panas. "Ventilasi rumah kurang agus," ujarnya. Rumah D-70, yang hargaya (waktu itu, tiga tahun lalu) Rp 18 juta, dalah rumah ukuran terkecil di sebuah real state di Sunter, Jakarta Utara. Keluhan lain: "Air ledengnya asin." Padahal, penghuni haus membayar tambahan Rp 300 ribu untuk biaya pemasangan PAM. Kini bahkan air yang mengalir dibatasi. Pagi hari, hanya empat jam dan petang lima jam. Air asin atau air minum berbau payau adaah keluhan yang sudah lama bagi pemukim di wilayah Jakarta Utara. Masalah air ini hampir tak terdapat di wilayah lain, seperti Jakarta Selatan. Di daerah Bintaro, Jakarta Selatan, tak pernah ada kesulitan mendapatkan air bersih. Jalan-jalan di sebuah real state di sini juga cukup rapi. Ada got-got yang bersih dan ak mampat. Penerangan jalan iseling oleh pohon-pohon ang rindang di sepanjang jaan. Apik dan asri. "Kalau ada pohon yang mati, cepat diganti petugas," ujar Nyonya Katoppo, salah seorang penghuni. Tapi tak semua penghuni memiliki kepuasan seperti Nyonya Katoppo. Baron Nasution - sesama penghuni dipermukiman itu - mempunyai keluhan macam-macam. Rumah tunai seharga Rp 23 juta (empat tahun lalu) itu tak ada teleponnya. Janjinya, begitu masuk, kontan ada suara terdering. Telepon dipasang setahun kemudian. Developer, ujar Baron, tak menyediakan fasilitas rumah peribadatan, sekolah, atau sarana olah raga. Memang ada lapangan tenis, tapi tak ada lapangan untuk jenis olah raga lain. Padahal, dalam janji, bahkan ada kolam renang segala. Sekolah juga ada di sekitar situ, meski sebuah TK saja. Tapi lokasi TK telah meramas lokasi taman. "Menangnya developer tak bisa cari lokasi lain?" ujarnya jengkel. Untung, kompleksnya tak pernah kebanjiran. Sedangkan tetangganya, kompleks IKPN Bintaro, terkenal pelanggan banjir. Juga kompleks SPS di Puri Kembangan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Kota, dalam konsep ekologi, bukan sekadar lingkungan buatan, tempat manusia bisa hidup mengembangkan peradabannya. Suatu alam lingkungan sebaiknya memiliki siklus biologis. Artinya, setiap lingkupan proyek pemukiman harus memperlihatkan sinkronisasi kepentingan penghuninya dengan lingkungannya. Ini yang tampaknya belum kelihatan di sebuah permukiman di Jakarta Timur. Masuk ke kompleks di daerah Kelapa Gading itu, terbentang jalan yang mulus dengan pohon palem berderet di kanan kirinya. Kemudian tampak rumah-rumah besar, bertingkat, dan termasuk kelompok mewah untuk kawasan itu. Masuk lagi ke dalam, terpakulah pemandangan akan rumah yang kecil-kecil, pada berhimpitan. Di sini jalan berdebu, atau becek kalau hujan. Sampah menggunung, dan got tentu saja mampat. Siapa yang berkewajiban menyediakan sarana jalan, got, air, listrik untuk setiap kawasan baru? Rupanya, pengelolaan fasilitas ini memang tak jelas. Pihak developer menuding Pemda DKI, sedangkan menurut Pemda DKI, ketentuan teknis itu harus dipenuhi developer. "Meski tidak semua developer," ujar Ir. Kandar Tisnawinata, kepala Dinas Tata Kota DKI, "ketentuan teknis ini memang sering dilanggar." "Tapi Pak Cosmas sudah mengatakan, serahkan saja tanah untuk fasilitas umum ini kepada Pemda," ujar Enggarkiasto Lukito, direktur PT Bangun Cipta Pratama, yang membangun Kelapa Gading. Kalau hal ini terjadi, yaitu developer "terpaksa" membangun jalan, taman, tempat ibadat, dan sebagainya, beban biaya dijatuhkan ke pembeli. Akibatnya, harga rumah per unit jadi tinggi. Djoko Slamet Utomo, kuasa pengelola perumahan Ciputat Baru, yang masuk wilayah Tangerang, juga menyatakan hal yang sama. Dia tetap menyangkal adanya keharusan untuk membangun sekolah, jalan, taman, dan sarana lain. Kalau toh dalam permukiman itu ada jalan yang mulus, harga rumah - meski itu rumah murah atau jenis KPR-BTN - pasti mahal. Meski lokasinya terletak di pelosok Jakarta. Atau bila ada developer yang membuat jalan, tak sampai satu tahun aspalnya sudah terkelupas. "Jalan raya itu sebetulnya hanya bersifat bantuan," ujar Djoko. Jakarta, sejak 1970, mengalami perkembangan kawasan permukiman yang cepat sekali. Pembangunan perumahan yang mengambil lahan luas di keliling "batas" kota lama, sampai ulang tahun Jakarta yang ke-458 ini (tanggal 22 Juni) telah mendominasi wajah Ibu Kota. Sehingga, masalah-masalah lingkungan, baik yang menyangkut tempat-tempat permukiman baru maupun dampaknya terhadap perkembangan kota, menjadi semakin ruwet. Dalam dasawarsa terakhir (1970-1980), luas wilayah DKI naik sampai 12%. Dari 588 ribu ha pada tahun 1970, menjadi 656 ribu ha pada 1980. Kenaikan penduduknya dalam dasawarsa itu 46%. Ini berarti, kenaikan jumlah penduduk tiap tahun 4% (nomor dua, setelah Lampung yang 5,8%). Dalam jumlah, ada 250 ribu tiap tahun, dan ini sudah melebihi jumlah penduduk Brunei Darussalam sekarang. Karena itu, usaha real estate menjamur. Tercatat ada 140 real estate, dan tanah yang disediakan untuk dikelola ada 5.017 ha. Ini belum termasuk perumahan-perumahan yang dibangun Perumnas. Menurut Munas REI (Real Estate Indonesia) delapan tahun lalu, secara ideal, Jakarta memerlukan 83. 300 rumah tiap tahun. Tapi bagi penduduk Jakarta - yang pada 1980 kepadatannya 9.884 tiap km2 - fasilitas rumah masih barang mewah. Sebab, dari sekitar 7,5 juta penduduk Jakarta kini, 66% penduduk tergolong miskin, demikian perkiraan LSP (Lembaga Studi Pembangunan), Jakarta. Tak bisa dipungkiri, akibatnya sekitar 500 tempat kawasan kumuh (slums) bermunculan pula di Jakarta. Ledakan penduduk dan ketimpangan sosial ekonomi jadi masalah khusus bagi Jakarta. Dan munculnya permukiman-permukiman baru menyebabkan Jakarta kemudian dihadapkan pula pada masalah transportasi karena mobilitas penduduk yang tinggi. Seorang karyawan Bank Indonesia di kawasan Senen Raya setiap hari menghabiskan uang transpor Rp 2.000. Rumahnya di Ciputat Baru, dan kendaraan yang harus ditungganginya mulai dari ojek (karena belum ada bis/kendaraan umum), dua kali naik bis, dan terakhir bajaj, yang makan waktu dua jam. Sulitnya kendaraan (dan mahal) di Jakarta Selatan rupanya disengaja. Seperti kata Kandar Tisnawinata, kepala Dinas Tata Kota itu, desakan permukiman di zona selatan begitu berat dan pesat. Untuk mengurangi beban ini, Pemda DKI mendorong pcrtumbuhan permukiman di sebelah barat dan timur Jakarta. Dikatakan Kandar, Jakarta Selatan yang sudah mendapat beban penduduk 1,3 juta jiwa itu maksimal hanya boleh mcndapat tambahan sekitar 500 ribu orang, sampai tahun 2005 nanti. Pertimbangan ini berdasarkan bahwa Jakarta bagian selatan adalah daerah penangkap hujan (catchment area). "Bangunan yang ada harus kurang dari 20% luas lahan," ujar Kandar. Dia tidak mengatakan apakah jumlah 20% itu sudah terpenuhi atau kecolongan, tapi Pemda DKI menghendaki Jakarta melebar ke barat dan timur. Di kedua sisi itu, menurut dia, masih ada lahan 10.000 ha, masing-masing untuk kawasan permukiman. Dengan dalih itu, anggaran sarana jalan lebih diutamakan di Jakarta Barat dan Jakarta Timur. "Sebab, kalau jalannya mulus dan lebar, semua orang tertarik," katanya. Pemda DKI juga mentolerir kepadatan daerah di permukiman zona barat dan timur sampai 40% luas areal yang ada. Sisanya digunakan untuk jalur hijau, sarana umum (sekolah, tempat peribadatan, jalan), dan taman. Secara keseluruhan, Kandar menaksir bahwa sekarang ini paling tidak 30% daratan DKI masih berupa daerah hijau, tidak tertutup oleh bangunan atau jalanan. Rencana tata kota tahun 2000 pun, menurut Kandar, telah dibuat, meski dia cuma menemukakan teori-teori yang muluk. Masalah ini memang sering dijadikan topik seminar. Pernah, beberapa bulan lalu, ada diskusi "Wajah Jakarta 2005". "Berdasarkan asas keseimbangan ekologis," kata Ir. Suhadi, wakil Dinas Tata Kota DKI dalam diskusi tersebut, "perkiraan jumlah penduduk untuk 20 tahun mendatang 12 juta, dan warga Jabotabek 23 juta." Fasilitasnya tak dirinci secara nyata, tapi polutansi kendaraan bermotor sudah bisa diperkirakan. Dari 135 ribu ton gas CO (carbon monoksida) setahun pada 1985, akan mcncapai sekitar 500 ribu ton pada tahun 2005. Kebutuhan air juga cukup gawat. Kini, untuk 7,5 juta penduduk, penyediaan air PAM sekitar 700 ribu m3 per hari. Tahun 2005? Tak tahu dapat air dari mana, tapi air yang dikonsumsi itu, pada gilirannya, akan menjadi air limbah juga. Padahal, menurut Ir. Zulkarnaen dari Dinas PU DKI, air limbah penduduk DKI tercemar lebih berat ketimbang air limbah warga New York. Tentang sarana atau fasilitas apa yang akan dihidangkan untuk penduduk akarta pada tahun 2005, tak ada yang bisa memberi jawaban pasti dan jelas. Yang pasti, beban terhadap sarana dan prasarana transportasi, air minum, serta permukiman meningkat pesat. Dan Jakarta, sang ibu kota, biasanya jadi barometer bagi kota-kota lainnya di Indonesia. Toeti Kakiailatu Laporan Putut Tri Husodo, Yulia S. Madjid, Suhardjo Hs. (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus