Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika diluncurkan pada 15 November 2022, bertepatan dengan Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali, banyak kalangan optimistis skema Just Energy Transiton Partnership atau JETP bisa mempercepat upaya transisi energi Indonesia. Apalagi Joko Widodo yang ketika itu menjabat Presiden sesumbar bisa mendorong negara-negara maju untuk segera mengucurkan pendanaan sebesar US$ 20 miliar atau Rp 320 triliun. Harapannya: berbagai proyek peralihan energi berbasis fosil ke sumber yang lebih bersih dan berkelanjutan bisa terwujud.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah dua tahun berlalu, nasib JETP tak jelas. Negara penyandang dana seperti Amerika Serikat, Jepang, atau Kanada tak kunjung merealisasikan komitmennya. Di lain pihak, pemerintah Indonesia juga selalu terlambat dalam menyusun Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP). Ini adalah dokumen hidup yang menggambarkan rencana besar transisi energi berikut proyek-proyek yang akan digarap beserta kebutuhan dananya. Pada 2023, penerbitan dokumen tersebut telat beberapa bulan. Tahun ini belum jelas kapan berkas pembaruannya akan terbit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lambatnya penerbitan CIPP jelas akan berdampak pada realisasi pendanaan JETP. Siapa yang mau mengucurkan dana jika target maupun rencana kerja si penerima dana tak jelas. Berdasarkan penelusuran majalah ini, ada sejumlah persoalan yang mengganjal penyusunan CIPP. Salah satunya ketidakjelasan perhitungan emisi karbondioksida yang akan direduksi, lantaran pemerintah tak mampu menyetop pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara captive. Ini adalah PLTU yang digunakan oleh industri tertentu, di antaranya pabrik pengolahan dan pemurnian mineral atau smelter. Proyek penghiliran nikel yang digembar-gemborkan Jokowi semasa menjadi presiden ternyata menjadi ganjalan untuk program transisi energi.
Persoalan lainnya adalah perubahan nomenklatur kabinet pascapergantian pemerintahan. Sekretariat JETP Indonesia rupanya "kehilangan induk" setelah Presiden Prabowo Subianto menghapus Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi dari nomenklatur kabinetnya. Ini berpengaruh pada kinerja Sekretariat JETP yang sedang dikejar target menyelesaikan dokumen CIPP.
Tak cuma masalah di dalam negeri, ada faktor eksternal yang mengganjal kelanjutan JETP, yakni tak jelasnya komitmen negara-negara maju penyandang dana. Janji untuk menggelontorkan dana hibah tak terwujud. Yang tersisa adalah tawaran pinjaman dengan bunga komersial yang dikhawatirkan bakal membebani negara penerima. Di Amerika Serikat, terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden sedikit banyak mempengaruhi kelanjutan skema pendanaan berkeadilan ini. Trump adalah sosok yang tak terlalu mendukung, bahkan mungkin tak percaya dengan proyek-proyek transisi energi.
Pembaca yang terhormat, rubrik Ekonomi dan Bisnis Majalah Tempo pada edisi 16 Desember 2024 mengupas tentang perenang yang terjadi pada skema JETP, sekaligus potensi mandeknya berbagai proyek transisi energi. Ada pula laporan mengani aksi korporasi PT Unilever Indonesia Tbk yang memanaskan persaingan bisnis es krim di Indonesia. Selamat membaca.
Laporan selengkapnya: Di Balik Mandeknya Dana JETP dan Transisi Energi