Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Operasi Memoles Citra Jokowi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Halo pembaca,
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lazimnya, prestasi seseorang mendapat penghargaan karena ada pengakuan dari orang lain. Namun, jika kita mempromosikan prestasi sendiri, kita menyebutnya klaim, jika bukan narsisme yang berlebihan. Hari-hari menjelang lengser, Jokowi memerintahkan anak buahnya mengampanyekan keberhasilannya selama sepuluh tahun.
Maka jangan heran jika Anda terpapar konten media sosial, pidato menteri, atau berita media massa yang berisi puja-puji terhadap kebijakan dan program Jokowi dalam dua periode menjadi presiden. Konten itu diorkestrasi oleh para pejabat pemerintahan atas suruhan Jokowi sendiri.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, misalnya, berpidato memuji Jokowi karena berhasil mempertahankan neraca perdagangan surplus selama 52 bulan. Menteri Keuangan Sri Mulyani juga memuji kinerja moncer APBN melayani proyek-proyek besar infrastruktur. Di media sosial, warganet ramai menggaungkan tagar “TerimakasihJokowi”.
Klaim dan kampanye itu bermasalah dalam dua tahap. Pertama, sudah tugas pemerintah membuat neraca perdagangan surplus, membuat APBN bagus, hingga membangun infrastruktur. Mandat konstitusi adalah menyejahterakan seluruh warga negara. Tak perlu puja-puji untuk melegitimasinya. Kedua, kampanye itu memakai uang negara, uang pajak kita.
Apalagi, faktanya, klaim-klaim itu tak sepenuhnya benar. Neraca perdagangan yang surplus itu hanya menyumbang 0,66 persen terhadap pertumbuhan ekonomi. Di era Jokowi ekonomi tumbuh stagnan 4,2 persen, jauh di bawah yang ia targetkan sebesar 7 persen. Pengangguran di mana-mana karena lonjakan investasi tak mendorong industri turunan yang menciptakan lapangan kerja. Jumlah kelas menengah turun karena sektor formal lesu.
Karena itu, kampanye positif pemerintahan Jokowi menjadi ironi dan membuat miris. Sebab, presiden yang mau pensiun seharusnya menyiapkan estafet kepada pemerintahan baru, bukan sibuk berkampanye mengklaim diri hebat dan berhasil.
Ada banyak pekerjaan rumah yang ditinggalkan Jokowi, terutama kerusakan-kerusakan yang ia buat selama menjadi presiden: dari melemahnya demokrasi, peran lembaga negara yang diacak-acak, hingga program-program ekonomi yang fokus pada industrialisasi di hulu yang menguntungkan pemodal besar.
Bagaimana Jokowi dan para pejabat di sekitarnya memoles citra itu kami ulas di edisi ini. Selain laporan utama, kami menurunkan laporan investigasi tentang bisnis perikanan keluarga menteri. Kapal-kapal asing yang dulu dibekukan, pelabuhan yang dihentikan operasinya, kini dihidupkan untuk membuka peluang bisnis bagi anak dan menantu menteri-menteri Jokowi. Konflik kepentingan dan suburnya nepotisme ini tak ada dalam materi kampanye memoles citra Jokowi.
Duit Besar di Balik Operasi Memoles Citra Jokowi Menjelang Lengser
Menjelang Jokowi lengser, keluar instruksi mengkampanyekan keberhasilan pemerintah. Ada kontrak miliaran rupiah ke media massa.
Apa yang Akan Dilakukan Jokowi Setelah Lengser
Setelah lengser, Jokowi akan kembali ke Solo diiringi relawannya. Tak mau perpisahan mewah karena sentimen negatif.
Investigasi
Karpet Merah Bisnis Perikanan untuk Anak Menteri Perikanan
Menteri Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menghidupkan lagi pelabuhan yang pernah ditutup. Ada jejak anaknya di bisnis perikanan.
Ekbis
Apa Peran Sinarmas dalam Kerugian Investasi Dana Pensiun Taspen
KPK mengusut kerugian investasi PT Taspen (Persero). Ada Sinarmas di balik transaksi tersebut.
Hukum
Kiat Para Pejabat Menitipkan Calon Pilihan Pimpinan KPK
Kepala Polri hingga Istana Negara cawe-cawe dalam pemilihan calon pimpinan KPK. Kandidat dibagi dalam empat kluster.
Wawancara
Farwiza Farhan: Perlu Lebih Banyak Perempuan dalam Konservasi Lingkungan
Farwiza Farhan, peraih Penghargaan Ramon Magsaysay 2024, bercerita tentang konservasi Kawasan Ekosistem Leuser di Aceh.
Sosok
Dian Oerip dalam Pengembaraan Wastra Nusantara
Dian Oerip turut melestarikan wastra Nusantara dan memberdayakan penenun di daerah. Menghidupi kain tradisional dengan hati.
Baca selengkapnya di Majalah Tempo: