YOGYA, Desember 1974. Malam telah larut. Tapi suasana Kongres
PSSI di Gedung Agung tetap hangat. Agenda sidang tinggal satu
mata acara lagi: pemilihan formatur baru.
Menurut ketentuan acara yang telah disepakati, masalah ini baru
akan dibahas esok harinya. Di meja pimpinan rapat, Kosasih
Purwanegara SH tampak seperti berfikir keras. Ia masih
dipengaruhi oleh pembicaraan seorang perutusan sidang, yang
meminta agar pemungutan suara dalam pemilihan nanti dilakukan
secara bebas dan rahasia.
Ia cukup maklum maksud usul itu. Mengingat ketika itu ada dua
fihak yang mau maju sebagai kandidat Ketua Umum PSSI. Di satu
fihak kelompok Trio Plus -- Syarnubi Said-Hutasoit-Suparjo. Di
lain fihak tampil Bardosono. Padahal dalam kepala Kosasih sudah
terdapat gambaran yang jelas siapa yang bakal menempati kursi
Ketua Umum PSSI sepeninggalnya. Perasaannya memlih Bardosono.
Dalam berfikir-fikir itu, menurut cerita Kosasih, tiba-tiba
seorang peserta sidang membuka suara: "Besok Minggu, Pak. Minggu
mau ke luar". (Versi lain mengatakan bahwa yang memberikan
penawaran itu adalah Kosasih sendiri). "Kalau besok mau ke luar
(maksudnya: melakukan aeara bebas), pemilihan mesti sekarang
dibicarakan", jawab Kosasih. Usul itu kemudian disepakati oleh
sebagian besar peserta rapat. Dan diputuskanlah (setelah merobah
agenda sidang) bahwa pemilihim dilakukan malam itu juga. Palu
pimpinan kemudian diserahkannya kepada Daeng Pattompo. "Saya
telah mendesak supaya tata tertib dalam prosedur rapat ditaati".
kata Hendrik Wiriadinata, perutusan Biak. Tapi. "Pattompo
menganggap calon cuma satu: Bardosono".
Agaknya yang menjadi dasar penetapan Pattompo adalah gemuruh
suara yang meneriakkan: Bardosono, Bardosono. "Padahal kalau
saja orang itu (Kosasih tidak mau menyebut nama, barangkali yang
dimaksud adalah Hendrik Wiriadinata) berdiri, lagi pula ia duduk
di depan, mungkin jalan sidang akan lain", cerita Kosasih.
Itu memang tidak terjadi. Dan pimpinan sidang telah mengetokkan
palu pertanda kemenangan Bardosono secara aklamasi. Sekalipun
tidak murni, karena di situ rupanya aklamasi adalah suara yang
paling keras.
Ketidak-murnian sokongan dalam Kongres Yogya yang lalu, tampak
menjadi nyata setelah Bardosono melewati hari-hari
kepemimpinannya di PSSI. Suara-suara daerah mulai bermunculan.
Dan menuntut diadakannya Kongres Luar Biasa. Lebih-lebih setelah
pengumpul suara (vote getter) seperti Sutjipto Danukusumo dan
Kamamddin Panggabean disingkirkan dari kepengurusan PSSI.
"Jangan saudara-saudara lupa bahwa kepengurusan ini tertulisnya
tidak dengan dukungan penuh. Ada golongan-golongan yang tidak
menyetujui", penjelasan Kosasih, yang juga menyatakan diri tidak
dapat bekerja sama dengan Bardosono. Ia mengundurkan diri dari
jabatan Wakil Ketua Dewan Penasehat PSSI, bulan lalu.
Tapi mengingat bond yang buka suara lebih kecil jumlahnya
ketimbang yang diam, tidakkah mayoritas tetap berdiri di fihak
Bardosono'? Bukankah diam selama ini diartikan orang dengan
setuju?
Kosasih tampak tidak sependapat dengan itu. Sekalipun ia tidak
tahu pasti apa yang menyebabkan bond-bond pada tutup mulut, tapi
ia mempunyai asumsi tidak mungkin bond-bond itu setuju dengan
keadaan sekarang. "Tak mungkin mereka bergembira setuju kalau
prestasi PSSI serba mundur", dalih Kosasih. Ia juga
mengingatkan bahwa sekarang yang terdengar adalah suara-suara
yang tidak setuju. Tidak ada satu pun suara yang terang-terangan
menyokong garis kepemimpinan Bardosono. "Nggak ada, toh. Nggak
ada, toh", seru Kosasih. Gejolak ketidak-puasan dalam tubuh PSSI
memang tak pernah reda. Yang terang-terang buka suara juga tak
banyak. Tiga orang bekas pengurus PSSI -- Sutjipto
Danukusumo-Hans Pandelaki-Kamaruddin Panggabean yang dulu
merupakan penyokong Bardosono September lalu lembali menyatakan
garis pendirian. Setelah hampir l tahun mereka bungkam terhadap
kemelut yang melanda PSSI.
Bekas Ketua I PSSI, Sutjipto Danukusumo mengawali penilaian atas
cara kerja Bardosono yang kian simpang siur, tidak konsisten,
dan mau menang sendiri Kamaruddin Panggabean mengutarakan bahwa
ada 19 bond angta Komda Sumatera Utara dan 7 dari Komda Aceh
-- yang mendesak diadakannya Kongres Luar Biasa PSSI, guna
mengatasi kemelut itu (TEMPO, 2 Oktober 1976). Juga Persija
memandang perlu Kongres Luar Biasa. Sementara itu KONI Pusat tak
kurang menganggap persoalan PSSI sebagai hal yang serius.
Dikuatirkan gejolak yang tumbuh akan mengancam perkembangan
dunia persepakbolaan nasional.
Menilik perjalanan pemilihan Bardosono memang tidak kelihatan
begitu beres. Ditambah dengan sikap diam mayoritas bond-bond --
entah karena takut atau dan sebagainya. Mengingat sikap bersuara
atau diam yang dilakukan oleh bond-bond bisa mengundang tafsiran
macam-macam dari berbagai fihak yang saling bertentangan faham.
Tampaknya KONI-lah kini yang diharapkan bertindak.
AKAN mampukah KONI mengatasi persoalan itu? Entahlah.
Bardosono bukanlah sekedar persoalan organisasi PSSI, tapi
nampaknya menyangkut masalah "politik". Sepulangnya dari
menghadap Presiden, pekan lalu, Ketua KONI, Suprajogi hanya
mengatakan bahwa KONI akan memanggil pengurus PSSI secepatnya.
Tapi Bardosono selaku pemegang mandat Kongres PSSI menganggap
persoalan yang muncul sebagai urusan rumah tangga PSSI. Dan bisa
diselesaikan sendiri.
Di bawah ini wawancara TEMPO dengan Ketua Umum PSSI itu:
Tanya: Apakah betul ada gerakan inkonstitusionil yang ingin
menjatuhkan Bapak?
Jawab: Kalau yang ingin menggantikan kedudukan atau menjatuhkan
saya serta pengurus PSSI secara inkonstitusionil, itu memang
ada. Terutama dari mereka yang dulu pernah duduk dalam
kepengurusan PSSI. Dan mempunyai ambisi untuk duduk kembali.
(Pernyataan itu dengan tangkas dibantah oleh bekas Sekum PSSI,
Hans Pandelaki: "Tidak benar tuntutan bond untuk mengadakan
Kongres Luar Biasa itu inkonstitusionil. Tuntutan tersebut
berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PSSI. Jadi
konstitusioilil").
T: Betulkah ada bond-bond yang mengirim surat menuntut Kongres
Luar Biasa PSSI?
J: Sampai sekarang tidak ada. Lalu Bardosono menceritakan bahwa
dulu memang pernah ada surat dari bond 1 dari Sibolga, 1 dari
Bogor, 1 dari Malang, dan 1 dari Komda Jawa Tengah -- yang
meminta penjelasan mengenai kebijaksanaan yang dijalankannya.
"Persoalan itu sudah selesai", ujar Bardosono. Ia kemudian
menambahkan bahwa dalam suasana Hari Raya Idulfitri yang lalu,
ia ada menerim sejumlah surat dari pengurus bond. Isinya:
Mengucapkan Selamat Hari Raya Idulfitri. Dan ada pula yang
menambahkan: Semoga sukses. Ucapan selamat iu jumlahnya sekitar
220 buah. Oleh Bardosono, kartu lebaran itu ditafsirkan sebagai
dukungan moril daerah terhadap kepemimpinannya. Sebab, "Tak satu
pun dari surat itu meminta Kongres Luar Biasa. Juga yang dulu",
tambah Bardosono.
T: Bagaimana dengan 19 bond seperti yang dikatakan Kamaruddin
Panggabean?
J: Saya kira itu bohong besar. Setelah saya cek pada Sekum
Jumarsono, tidak ada suratnya. Yang dikirim langsung pada saya,
juga tidak ada.
(Sementara itu, Sekjen KONI, M.F. Siregar mengatakan bahwa KONI
ada menerima sejumlah tindasan dari tuntutan yang diajukan bond
kepada PSSI. Ia tidak menyebut jumlahnya berapa).
T: Apakah tidak mungkin surat itu dihilangkan oleh pengurus
PSSI?
J. Tidak mungkin. Saya tidak berpendapat demikian. Masak
dihilangkan.
T. Bagaimana tanggapan Bapak tentang tuntutan Kongres Luar Biasa
dari Persija?
J: Tumakaka [salah seorang pimpinan Persija] begitu membikin
pernyataan bersama Soekendro segera lapor pada saya. Ia sendiri
bertentangan dengan itu. Tidak sekehendak. Karena klub-klub
tidak mendukungnya. Itu Tumakaka tahu betul. SK Wibowo, tahu
betul. Zazuli, tahu betul. Jilis Tahir tahu betul. [Nama-nama
yang disebut Bardosono adalah tokoh-tokoh klub di lingkungan
Persija]. Mereka datang di sini [maksudnya: di rumah Bardosono]
melaporkan segala sesuatunya. Dan akan meminta
pertanggunganjawab Soekendro sebagai Ketua Umum Persija dalam
rapat anggota, 9 Nopember nanti.
T: Beberapa daerah, seperti Jakarta dan Sumatera Utara
menyatakan kesanggupan untuk menjadi penyelenggara Kongres Luar
Biasa. Bagaimana tanggapan Bapak?
J. Saya tidak yakin, mereka menyatakan itu dengan hati yang
jujur. Mungkin mereka dipengaruhi oleh golongan atau oknum
tertentu. Coba fikir. Untuk menyelenggarakan Kongres Luar Biasa
itu, biayanya paling sedikit 50 juta rupiah. Dari mana Persija
atau daerah lain mendapatkan uang sebanyak itu. Di samping itu,
sekali lagi saya tgaskan bahwa Kongres Luar Biasa tidak ada.
Untuk mengadakan Kongres Luar Biasa harus ada 3 persoalan.
Pertama, harus ada 1/3 dari jumlah anggota, lebih kurang 100
bond yang mengajukan usul untuk diadakan Kongres Luar Biasa.
Kedua, ada masalah penting dan mendesak urtuk dibicarakan.
Ketiga, ini yang terpenting, jika Ketua Umum PSSI menyetujui.
Karena, pertama, jumlah yang mengajukan usul tidak mencapai
1/3. Kedua, tidak ada masalah yang mendesak. Maka tidak perlu
ada Kongres Luar Biasa. Yang mereka katakan kemelut atau ricuh,
sudah saya selesaikan satu-per-satu, dan habis.
T: Kenapa bond-bond sekarang pada diam? Apakah mereka takut?
J. Mereka tidak takut. Tapi mereka dewasa. Dapat memilih mana
yang benar dan mana yang salah.
T: Bagaimana usaha Bapak untuk menetralisir suara-suara sumbang
terhadap kepengurusan sekarang?
J: Kerja keras. Dan melaksanakan semua program berdasarkan
strategi dan rencana PSSI. Serta tidak menghiraukan
kritik-kritik atau suara-suara yang bernada negatif dan
destruktif.
T: Betulkah Komwil-Komwil memberikan dukungan terhadap
kepemimpinan Bapak?
J. Dalam rapat Komwil (Rabu, 6 Oktober malam) tidak dibicarakan
soal dukung-dukungan. Malam itu mereka hanya melaporkan
kemajuan-kemajuan di wilayah masing-masing Sementara saya
memberikan penjelasan kepada mereka mengenai keadaan PSSI
sekarang ini. Bahwa heboh itu tidak ada. Kericuhan tidak ada.
Semua sudah selesai. (Sehari setelah pertemuan itu, Sekum
Jumarsono mengungkap keterangan yang agak bertentangan dengan
keputusan rapat. Ia menyatakan kelima Komisaris Wilayah itu
melaporkan kepada Bardosono bahwa seluruh bond di wilayahnya
berdiri penuh di belakang Ketua Umum PSSI. Dan sekaligus
membantah suara-suara yang mengatakan ada bond-bond dari
Sumatera Utara, Jakarta, dan Jawa Tengah yang mendesak
diadakannya Kongres Luar Biasa. Pernyataan Jumarsono, itu
kemudian dibantah oleh Erwin Baharuddin dari Komwil II).
T: Sehubungan dengan keterangan Erwin Baharuddin yang berbeda
dengan Jumarsono setelah sidang Komwil yang lalu, ada yang
mengatakan mereka itu seperti kena sirep (pukau). Apa betul?
J: Nggak betul. Masak mereka kena sirep. Saya bukan tukang
sirep. (Bardosono lalu ketawa: ha, ha, ha lama sekali).
J: Ada yang mengatakan karena Bapak sebagai pejabat pemerintah
-- dalam hal ini Sekdalobang -- dan mengadakan rapat PSSI di
Bina Graha menyebabkan orang menjadi rikuh. Apa betul?
J: Tidak pernah. Rapat-rapat PSSI saya adakan di Senayan. Tiap
hari Kamis jam 15.00, sesudah jam kerja.
T: Betulkah Bapak menjanjikan sejumlah uang buat Komwil?
J: Tidak ada. Yang benar bahwa untuk setiap Komwil memang
tersedia bantuan rutin 25 ribu rupiah, per bulan. Itu untuk
keperluan administrasi, uang perangko, dan sebagainya.
T: Ketua KONI, Suprajogi pernah mengatakan bahwa akhir-akhir ini
prestasi PSSI menurun. Apa komentar Bapak?
J: Prestasi itu tidak identik dengan medali atau jumlah gol
kemenangan.
(Kemudian Bardosono menceritakan bahwa PSSI dalam strateginya
membagi 4 fase perkembangan. Tiap fase 1 tahun. Fase pertama dan
kedua merupakan fase investasi dan fondasi. Guna meletakkan
dasar yang kuat untuk take off pada fase ketiga dan keempat).
Jadi kalau menilai prestasi dengan jumlah gol kemenangan dalam
fase pertama dan kedua adalah sangat keliru. Sukses atau
tidaknya investasi harus dinilai apakah dalam masa investasi itu
ditelorkan bibit-bibit unggul, apa tidak. Buktinya, sekarang ada
Suhatman, Taufik Lubis, Burhanuddin, dan lain-lain yang menjadi
pengganti pemain-pemain senior saat ini.
T: Apakah memang wajar KONI turun tangan dalam masalah tuntutan
Kongres Luar Biasa?
J: Urusan PSSI sebenarnya adalah urusan intern top organisasi.
Kalau pimpinan PSSI sanggup menyelesaikan urusan intern-nya,
kenapa orang lain atau instansi lain, termasuk KONI Pusat, ikut
campur. Kecuali bila pimpinan PSSI minta tolong untuk
menyelesaikan urusan intern-nya. Baru instansi lain, termasuk
KONI Pusat, bisa menolongnya. Tapi selama kita sanggup
menyelesaikan sendiri untuk apa mereka mencampuri urusan orang
lain. Mbok ya sempurnakan urusan sendiri dulu.
T: Apa yang Bapak maksud dengan Demokrasi Sepakbola?
J: Demokrasi Pancasila yang diterapkan dalam persepakbolaan.
T: Mengapa rekening PSSI di bank atas nama Ketua Umum PSSI?
J: Saya tidak ingin terulang kasus hilangnya uang 5 juta rupiah
seperti dalam kepengurusan lalu, tanpa proses. Karena pada
akhirnya Ketua Umumlah yang bertanggungjawab mengenai keuangan.
T: Bagaimana neraca keuangan PSSI sekarang? Defisit atau
surplus?
J: Dua minggu lalu, masih defisit 1 1/2 juta rupiah. Tapi
setelah ada pertandingan (maksudnya: pertandingan dengan Sao
Paolo) surplus 15 juta rupiah.
T: Berapa besar bantuan KONI untuk PSSI?
J: Bantuan KONI kepada PSSI yang berupa uang subsidi untuk top
organisasi, kami tidak pernah memintanya. Misalnya ada, saya
kira amat kecil sekali.]
T: Mengingat usia Tony Pogaknik sudah mulai laniut (64 tahun),
apakah Bapak yakin dia akan berhasil menangani team PSSI Pre
World Cup dengan sukses?
J: Soal yakin dan tidak itu sebetulnya relatif. Tapi saya
menaruh keyakinan bahwa Tony mempunyai nilai-nilai positif yang
cukup tinggi untuk mensukseskan PSSI Pre World Cup di Singapura.
T: Dulu Tony pernah menyebut Sinyo Aliandu dan Januar Pribadi
untuk menjadi asistennya. Bagaimana dengan kasus Sinyo Aliandu
yang menginginkan kontrak sebagai pelatih?
J: Tony memang sudah mengusulkan beberapa nama untuk menjadi
pembantu coach pada saya. Di antaranya termasuk nama Sinyo
Aliandu. Tapi masih sedang saya pelajari. Belum diputuskan. Saya
akan dengar pendapat anggota pengurus lain dulu.
(Menjelang keberangkatan team PSSI Harimau ke Eropa, Juli lalu
pelatih Sinyo Aliandu sebelum mendampingi team tersebut
mengajukan usul sistim kontrak buat pelatih. Ia meminta bayaran
1/2 juta rupiah per-bulan. Sementara Tony untuk tugas sekarang
mendapat bayaran 1.000 dollar AS -- sekitar 420.000 rupiah.
Permintaan Sinyo itu tidak dipenuhi oleh PSSI).
T: Betulkah Coerver (bekas pelatih team Pre Olimpik) akan
dipanggil kembali?
J: Coerver memang mempunyai kewajiban 2 bulan lagi sebagai
pelatih PSSI. Ia sudah dibayar untuk masa 12 bulan. Yang
dijalaninya baru 10 bulan. Jadi masih kurang 2 bulan lagi. Tapi
sebelum Pre World Cup saya tidak akan memanggil Coerver.
(Dua pekan silam di Jakarta tiba pimpinan klub sepakbola Go
Ahead Eagles, P. Stephan dari Belanda. Oleh sementara pengamat
olahraga ia diperkirakan akan turun tangan membantu persiapan
PSSI).
T: Bagaimana dengan Stephan?
J: Stephan tugasnya lain. Ia datang di sini mewakili
pemerintahnya dalam bidang persepakbolaan untuk memberi bantuan
pada PSSI. Ternyata di Negeri Belanda, mereka menghargai dan
menilai tinggi hasil karya dari PSSI. Sehingga mereka bermaksud
untuk membantu PSSI dengan memberikan grant. Bantuan cuma-cuma
untuk PSSI itu nanti akan saya salurkan buat kepentingan Diklat
Salatiga.
T: Apa betul Bapak akan mengundurkan diri?
J: Tidak benar. Itu yang dirmuat Pos Kota hari ini (Rabu, 13
Oktober 1976) merupakan fitnah dan kabar bohong.
T: Kalau Bapak mengundurkan diri, kabarnya Gubernur Ali Sadikin
yang akan diminta kesediaannya untuk menjadi care taker Ketua
Umum PSSI. Bagaimana komentar Bapak?
J: Saya tidak akan mengundurkan diri. Dan saya tidak ada niat
untuk itu. Saya akan tetap melaksanakan kepercayaan Kongres
Yogya untuk masa jabatan 4 tahun.
T: Sehubungan dengan tuntutan Kongres Luar Biasa dari Persija,
Bapak menantang untuk mencarikan pengganti. Itu maksudnya apa?
J: Bukan menantang. Waktu itu saya katakan oleh karena
pengalaman saya sebagai Ketua Umum itu cukup berat, maka saya
minta agar dari sekarang sudah disiapkan calon Ketua Umum PSSI
untuk Kongres 1978. Jadi bukan menantang.
T: Apakah dalam Kongres yang akan datang, Bapak akan mencalonkan
diri lagi?
J: Tentang saya mencalonkan diri atau tidak tergantung pada
situasi nanti. Kalau saya merasa sudah capek, saya tidak akan
mencalonkan diri. Tapi semua itu tergantung pada kondisi dan
situasi nanti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini