P STEPHAN, manager Go Ahead Eagles dari Deventer, Belanda,
diam-diam muncul di Hotel Borobudur. Senin malam 11 Oktober itu
ia jadi tamu Frans Hutasoit, team manager PSSI "Harimau" yang
dalam perlawatannya ke Eropa dua bulan yang lalu diukur G.A.
Eagles 04. Dalam jamuan makan di Toba Restaurant itu, hadir
hampir seluruh anggota PSSI "Harimau". Tampak juga Sekum PSSI,
Jumarsono dan Bendahara, Suwarno.
"Katakanlah jamuan ini kami adakan khusus untuk menghormat dan
mengucapkan terima kasih kepada Stephan", kata Hutasoit pada
TEM- PO, "karena ia telah memberi bantuan dan melayani kami
sangat baik selama kami berada di Deventer". Tapi di balik
pernyataan yang dibumbui seulas basa-basi itu, nampak jelas
Hutasoit kenal benar siapa tokoh sepakbola prof itu.
Baru berusia 46 tahun, ia adalah bekas penyerang tengah klub
"RIOS" yang pernah menjadi juara amatir kompetisi di Belanda
pada tahun 1965. Sejak itu ia memasuki dunia sepakbola prof
dengan G. A. Eagles. Ia pernah menjadi pelatih sebelum meningkat
menjadi manager. Kini klubnya mengkontrak Wiel Coerver. Dalam
wawancara dengan wartawan TEMPO, Lukman Setiawan dan penulis
sepakbola Kompas, Kadir Yusuf, Stephan menjelaskan kedatangannya
ke Indonesia adalah dalam rangka program kerjasama kebudayaan
antara Pemerintah RI dan Belanda. "Saya diurus pemerintah saya
untuk meninjau keadaan sepakbola Indonesia. Kemudian saya harus
menyusun sebuah program bantuan untuk meningkatkan
persepakbolaan di Indonesia".
Selama lebih kurang seminggu ia telah meninjau Diklat Salatiga,
menonton dua kali Harimau lawan Sao Paolo Brasil dan tentu saja
bertemu dengan Ketua Umum PSSI, Bardosono. Kesan dari pertemuan
dengan Bardosono itu dikatakan "baik-baik saja".
Kesan yang lebih mendalam agaknya adalah: apa yang didengarnya
dari Coerver tentang Indonesia tidak banyak meleset. "Indonesia
dengan penduduknya yang demikian banyak dan gemar sepakbola
mengapa tidak dapat menjadi negara sepakbola terkemuka di
dunia?". Pertanyaan ini kemudian ia jawab sendiri dengan
mengajukan Suriname dan Ghana sebagai contoh. "Di sana dengan
program latihan yang mantap telah memperlihatkan hasil yang
nyata. Mengapa Indonesia yang memiliki materi jauh lebih banyak
tidak bisa?". Ia juga menyebut Ghana, di mana ia pernah melatih
pemain-pemain berbakat dengan hasil yang memuaskan.
Untuk rencana peningkatan sepakbola di Indonesia ia menggariskan
tiga tahap pembinaan selama 3 tahun. Pertama: ia bersama
beberapa pembantunya akan memantapkan sekolah sepakbola,
mendidik dan melatih para wasit, asisten pelatih dan pemain
nasional. Juga mengajarkan management sepakbola bagi para
ofisial. Kedua: bersama-sama para asisten pelatih, wasit dan
ofisial hasil didikan tahap pertama melanjutkan pendidikan dalam
latihan di kalangan kader sepakbola. Ketiga: dalam tahap ini
Stephan dan stafnya hanya melakukan checking terhadap kegiatan
yang dilakukan sepenuhnya oleh tenaga Indonesia. Dalam tahap ini
pula hasil didik program kerjasama kebudayaan ini, mengalami
seleksi. Yang lulus akan meneruskan beban pembinaan selanjutnya.
SAYA yakin dengan program pembinaan yang saya tawarkan itu
basis pembinaan sepakbola dalam jangka panjang akan mantap dan
saya merasa optimis bahwa Indonesia bisa menjadi negara
sepakbola terkemuka di dunia", kata Stephan. Tapi mengingat
rencana tersebut merupakan proyek kerjasama antar-pemerintah,
maka ia akan membuat laporan terperinci dari hasil peninjauannya
ke Indonesia. "Pihak kami akan menyediakan tenaga dan pihak
Indonesia akan menyediakan sarana". Pelaksanaan program itu
diperkirakan baru akan teriadi sekitar bulan Mei atau Juli 1977
pada waktu mana semua sarana yang diperlukan sudah betul-betul
disiapkan PSSI. Dan di sekitar bulan-bulan itu pula Kesebelasan
G.A. Eagles akan mengadakan perlawatan ke Jakarta dan
daerah-daerah melakukan serangkaian pertandingan.
Khusus mengenai sepakbola profesionil, Stephan berpendapat bahwa
Liga Prof merupakan keharusan untuk peningkatan mutu sepakbola.
"Liga prof di mana-mana adalah kekuasaan dan sekaligus juga
merupakan jaminan buat kesejahteraan para pemain. Untuk itu
peraturan prof setebal buku dikeluarkan untuk mengatur hubungan
antara pemain dengan klub".
Ia mengingatkan juga akan siasat licik yang kadang-kadang bukan
tidak mungkin dipakai untuk memukul lawan secara tidak sportif.
"Misalnya sebuah klub yang kaya dapat dengan seenaknya saja
membeli pemain-pemain bintang klub lawan menjelang suatu musim
kompetisi. Tapi ternyata pemain-pemain tersebut hanya disuruh
duduk di pinggir lapangan sebagai cadangan. Ini mematikan
pemain". Karena itu, Stephan memperingatkan bahwa konsentrasi
pemain-pemain yang ulung sebaiknya tidak terpusat pada satu klub
saja, tapi dapat tersebar paling sedikit pada 6 sampai 8 klub.
"Dengan demikian dapat tercapai keseimbangan kekuatan dan mutu
tontonan menjadi menarik".
Stephan menganggap seorang prof yang meninggalkan status
profesionalnya boleh saja kembali ke status amatir. Ini tentu
didasarkan pada kondisi di negeri Belanda. Seperti katanya: "Di
Belanda pengaruh serikat buruh sangat dominan. Seorang pemain
prof pada saat mengakhiri kontraknya, ia bebas untuk mencari
pekerjaan lain. Malah bebas untuk kembali ke status amatir.
Serikat buruh tidak menghendaki timbulnya perbudakan di zaman
modern".
Akan halnya Coerver yang ia kontrak sebagai coach G.A. Eagles,
ternyata membuahkan hasil. Dari kedudukan nomor 9 musim
kompetisi ini, kini G.A. Eagles naik ke nomor 6. Di samping itu
di bawah asuhan Coerver, sejumlah pemain muda dapat
ditingkatkan, menggantikan beberapa pemain senior yang
ditransfer ke klub lain. Dari hasil transfer itu, setelah
dipakai untuk membeli pemain muda malah masih menghasilkan
untung satu juta gulden. "Saya sadar bahwa Coerver orangnya
sulit. Tapi saya tahu bagaimana menghadapi dan bekerjasama
dengan dia. Saya atur di kontrak begitu rupa sehihgga dia tidak
bisa mencampuri masalah yang bukan urusannya. Kalau dia langgar,
risikonya denda yang cukup besar", kata Stephan.
Apakah ia rela melepaskan Coerver barang 2 bulan untuk
mempersiapkan team PSSI ke babak kwalifikasi Kejuaraan Dunia di
Singapura? "Kenapa tidak. Silakan. Saya ingin sekali melihat
Indonesia keluar sebagai pemenang. Dan saya tahu Coerver juga
bersedia". jawab Stephan. Tapi sayang, rencana semula Ketua Umum
Baldosono untuk memakai Coerver sebagai coach PSSI ke Pre World
Cup untuk melunasi kontrak Coerver dengan PSSI tak urung
mengalami perubahan lagi. Konon alasan yang dikemukakan
Bardosono adalah: Stephan tidak mau melepaskan Coerver. Suatu
pertanda dari awal kerjasama yang kurang licin agaknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini