Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Resep Baru Stephan: 3 Tahap ...

P stephan, manager go ahead eagles dari deventer, belanda, datang ke indonesia untuk meninjau dan meningkatkan persepakbolaan indonesia. ia menggariskan 3 tahap pembinaan selama 3 tahun. (or)

23 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

P STEPHAN, manager Go Ahead Eagles dari Deventer, Belanda, diam-diam muncul di Hotel Borobudur. Senin malam 11 Oktober itu ia jadi tamu Frans Hutasoit, team manager PSSI "Harimau" yang dalam perlawatannya ke Eropa dua bulan yang lalu diukur G.A. Eagles 04. Dalam jamuan makan di Toba Restaurant itu, hadir hampir seluruh anggota PSSI "Harimau". Tampak juga Sekum PSSI, Jumarsono dan Bendahara, Suwarno. "Katakanlah jamuan ini kami adakan khusus untuk menghormat dan mengucapkan terima kasih kepada Stephan", kata Hutasoit pada TEM- PO, "karena ia telah memberi bantuan dan melayani kami sangat baik selama kami berada di Deventer". Tapi di balik pernyataan yang dibumbui seulas basa-basi itu, nampak jelas Hutasoit kenal benar siapa tokoh sepakbola prof itu. Baru berusia 46 tahun, ia adalah bekas penyerang tengah klub "RIOS" yang pernah menjadi juara amatir kompetisi di Belanda pada tahun 1965. Sejak itu ia memasuki dunia sepakbola prof dengan G. A. Eagles. Ia pernah menjadi pelatih sebelum meningkat menjadi manager. Kini klubnya mengkontrak Wiel Coerver. Dalam wawancara dengan wartawan TEMPO, Lukman Setiawan dan penulis sepakbola Kompas, Kadir Yusuf, Stephan menjelaskan kedatangannya ke Indonesia adalah dalam rangka program kerjasama kebudayaan antara Pemerintah RI dan Belanda. "Saya diurus pemerintah saya untuk meninjau keadaan sepakbola Indonesia. Kemudian saya harus menyusun sebuah program bantuan untuk meningkatkan persepakbolaan di Indonesia". Selama lebih kurang seminggu ia telah meninjau Diklat Salatiga, menonton dua kali Harimau lawan Sao Paolo Brasil dan tentu saja bertemu dengan Ketua Umum PSSI, Bardosono. Kesan dari pertemuan dengan Bardosono itu dikatakan "baik-baik saja". Kesan yang lebih mendalam agaknya adalah: apa yang didengarnya dari Coerver tentang Indonesia tidak banyak meleset. "Indonesia dengan penduduknya yang demikian banyak dan gemar sepakbola mengapa tidak dapat menjadi negara sepakbola terkemuka di dunia?". Pertanyaan ini kemudian ia jawab sendiri dengan mengajukan Suriname dan Ghana sebagai contoh. "Di sana dengan program latihan yang mantap telah memperlihatkan hasil yang nyata. Mengapa Indonesia yang memiliki materi jauh lebih banyak tidak bisa?". Ia juga menyebut Ghana, di mana ia pernah melatih pemain-pemain berbakat dengan hasil yang memuaskan. Untuk rencana peningkatan sepakbola di Indonesia ia menggariskan tiga tahap pembinaan selama 3 tahun. Pertama: ia bersama beberapa pembantunya akan memantapkan sekolah sepakbola, mendidik dan melatih para wasit, asisten pelatih dan pemain nasional. Juga mengajarkan management sepakbola bagi para ofisial. Kedua: bersama-sama para asisten pelatih, wasit dan ofisial hasil didikan tahap pertama melanjutkan pendidikan dalam latihan di kalangan kader sepakbola. Ketiga: dalam tahap ini Stephan dan stafnya hanya melakukan checking terhadap kegiatan yang dilakukan sepenuhnya oleh tenaga Indonesia. Dalam tahap ini pula hasil didik program kerjasama kebudayaan ini, mengalami seleksi. Yang lulus akan meneruskan beban pembinaan selanjutnya. SAYA yakin dengan program pembinaan yang saya tawarkan itu basis pembinaan sepakbola dalam jangka panjang akan mantap dan saya merasa optimis bahwa Indonesia bisa menjadi negara sepakbola terkemuka di dunia", kata Stephan. Tapi mengingat rencana tersebut merupakan proyek kerjasama antar-pemerintah, maka ia akan membuat laporan terperinci dari hasil peninjauannya ke Indonesia. "Pihak kami akan menyediakan tenaga dan pihak Indonesia akan menyediakan sarana". Pelaksanaan program itu diperkirakan baru akan teriadi sekitar bulan Mei atau Juli 1977 pada waktu mana semua sarana yang diperlukan sudah betul-betul disiapkan PSSI. Dan di sekitar bulan-bulan itu pula Kesebelasan G.A. Eagles akan mengadakan perlawatan ke Jakarta dan daerah-daerah melakukan serangkaian pertandingan. Khusus mengenai sepakbola profesionil, Stephan berpendapat bahwa Liga Prof merupakan keharusan untuk peningkatan mutu sepakbola. "Liga prof di mana-mana adalah kekuasaan dan sekaligus juga merupakan jaminan buat kesejahteraan para pemain. Untuk itu peraturan prof setebal buku dikeluarkan untuk mengatur hubungan antara pemain dengan klub". Ia mengingatkan juga akan siasat licik yang kadang-kadang bukan tidak mungkin dipakai untuk memukul lawan secara tidak sportif. "Misalnya sebuah klub yang kaya dapat dengan seenaknya saja membeli pemain-pemain bintang klub lawan menjelang suatu musim kompetisi. Tapi ternyata pemain-pemain tersebut hanya disuruh duduk di pinggir lapangan sebagai cadangan. Ini mematikan pemain". Karena itu, Stephan memperingatkan bahwa konsentrasi pemain-pemain yang ulung sebaiknya tidak terpusat pada satu klub saja, tapi dapat tersebar paling sedikit pada 6 sampai 8 klub. "Dengan demikian dapat tercapai keseimbangan kekuatan dan mutu tontonan menjadi menarik". Stephan menganggap seorang prof yang meninggalkan status profesionalnya boleh saja kembali ke status amatir. Ini tentu didasarkan pada kondisi di negeri Belanda. Seperti katanya: "Di Belanda pengaruh serikat buruh sangat dominan. Seorang pemain prof pada saat mengakhiri kontraknya, ia bebas untuk mencari pekerjaan lain. Malah bebas untuk kembali ke status amatir. Serikat buruh tidak menghendaki timbulnya perbudakan di zaman modern". Akan halnya Coerver yang ia kontrak sebagai coach G.A. Eagles, ternyata membuahkan hasil. Dari kedudukan nomor 9 musim kompetisi ini, kini G.A. Eagles naik ke nomor 6. Di samping itu di bawah asuhan Coerver, sejumlah pemain muda dapat ditingkatkan, menggantikan beberapa pemain senior yang ditransfer ke klub lain. Dari hasil transfer itu, setelah dipakai untuk membeli pemain muda malah masih menghasilkan untung satu juta gulden. "Saya sadar bahwa Coerver orangnya sulit. Tapi saya tahu bagaimana menghadapi dan bekerjasama dengan dia. Saya atur di kontrak begitu rupa sehihgga dia tidak bisa mencampuri masalah yang bukan urusannya. Kalau dia langgar, risikonya denda yang cukup besar", kata Stephan. Apakah ia rela melepaskan Coerver barang 2 bulan untuk mempersiapkan team PSSI ke babak kwalifikasi Kejuaraan Dunia di Singapura? "Kenapa tidak. Silakan. Saya ingin sekali melihat Indonesia keluar sebagai pemenang. Dan saya tahu Coerver juga bersedia". jawab Stephan. Tapi sayang, rencana semula Ketua Umum Baldosono untuk memakai Coerver sebagai coach PSSI ke Pre World Cup untuk melunasi kontrak Coerver dengan PSSI tak urung mengalami perubahan lagi. Konon alasan yang dikemukakan Bardosono adalah: Stephan tidak mau melepaskan Coerver. Suatu pertanda dari awal kerjasama yang kurang licin agaknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus