Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Adu Kuat Tim Mapan dan Kuda Hitam

Babak penyisihan Euro 2000 dipenuhi kejutan dengan tumbangnya para unggulan. Ke mana pasar taruhan kini bergerak?

18 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALANGKAH nikmatnya jadi penonton yang netral dalam Piala Eropa 2000 ini. Sayangnya, pelatih tim Inggris Kevin Keegan tak bisa bersikap seperti ini. Alhasil, sekalipun ia takjub pada permainan tim Portugal saat menekuk Inggris dengan skor 3-2—padahal sebelumnya telah tertinggal dua gol—ia hanya bisa masygul. Bukan Keegan saja yang menelan rasa pahit ini. Semua pencinta tim "Matador" Spanyol juga hanya tertegun saat pujaan mereka dibekap Norwegia dengan skor tipis 0-1. Bukan tak mungkin kejutan lain akan segera menggelinding. Soalnya, tim dengan nama besar tak lagi membuat gentar. Buktinya, Jerman ditahan imbang Rumania. Tuan-rumah-bersama Belanda hanya bisa menang tipis satu gol atas Chek. Itu pun atas bantuan wasit Pierluigi Collina yang memberikan hadiah penalti di menit terakhir. Dari tim yang tergolong mapan, hanya juara dunia Prancis dan Italia yang memetik hasil bagus. Prancis berhasil menggulung Denmark tiga gol tanpa balas, sementara Italia berhasil dua kali menang berturut-turut. Peta kekuatan sepak bola di Eropa memang telah berubah. Negara-negara yang dulu hanya dianggap sebagai pelengkap penderita untuk turnamen ini kini tak bisa dipandang sebelah mata. Mengapa bisa begini? Bila dirunut ke belakang, aturan Bosman-lah yang memicu pergeseran. Aturan ini nyaris secara praktis memperbolehkan satu klub menggunakan pemain yang semuanya berkewarganegaraan asing saat bertanding. Dengan demikian, kesempatan makin terbuka untuk berlaga di liga paling bermutu seperti Seri A (Italia), La Liga (Spanyol), dan Premiereship (Inggris) bagi pemain dari setiap penjuru Eropa. Artinya, mereka tak harus duduk di bangku cadangan karena harus memberikan tempat untuk pemain lokal. Kesempatan yang bertambah ini tentu membuka peluang pemain untuk makin matang. Ketika para pemain ini kembali untuk memperkuat negaranya, mereka tak lagi minder menghadapi tim negara mapan karena mereka sudah terbiasa bertemu dengan pasukan lawannya dalam kompetisi lokal. Ambil contoh kesebelasan Portugal. Dua bintang besarnya, Luis Figo dan Rui Costa, adalah pilar di klubnya masing-masing. Figo adalah nyawa permainan klub Barcelona, Spanyol. Permainan pemain berusia 28 tahun ini hampir tak pernah menunjukkan grafik menurun. "Tak berlebihan bila ia disebut sebagai pemain terbaik dunia saat ini," kata Dan Petrescu, bek kesebelasan Rumania, yang berada satu grup dengan Portugal. Pujian ini secara tak langsung menyiratkan kengerian tim Eropa Timur itu terhadap aksi Figo. Bukan cuma Petrescu yang kagum. Petinggi klub Lazio, Italia, baru saja menawar Figo dengan harga 26 juta poundsterling, tapi Barca belum rela melepas kalau harganya tidak 32 juta poundsterling. Luar biasa. Sementara itu, pecandu bola mana yang berani meragukan yahudnya gocekan serta umpan Costa saat bermain untuk Fiorentina, Italia? Maka, kemampuan Portugal untuk bangkit dan mengamuk saat berhadapan dengan Inggris adalah sesuatu yang bisa dilacak biangnya. Tim seperti Norwegia adalah contoh lain yang bagus untuk kasus pemainnya yang matang di kompetisi negara lain. Dari 22 pemain nasionalnya, 16 orang merumput di luar negeri, dengan mayoritas di Premiereship, Inggris. Tak mengherankan bila gaya sepak bola Britania model kick and rush tercium kental saat kesebelasan "Viking" ini bertanding. Namun, betapa mereka bisa memainkan gaya kuno dengan lebih efektif. Sebetulnya, bukan pemain dari negara "lapis kedua" saja yang gemar merumput di negeri orang. Kesebelasan kuat macam Prancis dan Belanda juga lebih mengandalkan pemain yang berasal dari klub di luar kompetisi lokal mereka. Hasil yang dipetik sama saja: kematangan. Di sisi lain, serbuan pemain asing ini otomatis membuat pemain dari negara tempat kompetisi itu berlangsung jadi berkurang kesempatannya. Contoh yang paling telak adalah Italia. Sekalipun Negara Piza ini sudah mencatat hasil bagus, permainannya masih jauh dari mengesankan. Lini tengah kesebelasan ini juga tergolong kurang kreatif karena nyaris di tiap klub posisi pengatur serangannya dipegang pemain asing. Beruntung, Italia masih punya pemain seperti Stefano Fiore dan Francesco Totti, yang cukup punya imajinasi saat bertanding, sehingga permainan Italia tidak jatuh pada kategori membosankan. Bagaimana dengan di Spanyol? Masih lumayan karena peran kunci masih dipegang pemain lokal. Namun, tim ini selalu punya masalah dengan puncak penampilan. Meledak dalam babak penyisihan dengan kemenangan besar, Spanyol selalu melempem ketika turnamen yang sesungguhnya digelar. Masih ingat ketika mereka dilipat Nigeria dua tahun lalu dalam partai perdana mereka di Piala Dunia 1998? Kesialan Spanyol boleh jadi tak lepas dari pemilihan Molina sebagai kiper utama. Soalnya, Molina ini berasal dari klub Atletico Madrid, yang musim ini tertendang ke divisi dua. Namun, tak selalu serbuan pemain asing merugikan. Turki malah kelimpahan berkah. Pemain lokal seperti terlecut dan, akibatnya, mutu kompetisinya meningkat tajam. Buktinya, klub Galatasaray bulan Mei lalu berhasil mencetak sejarah dengan memboyong Piala UEFA untuk pertama kalinya. Saat ini, nama Hakan Sukur, yang sudah dibeli Inter Milan dengan harga 8 juta poundsterling, tak kalah kondang dengan striker kelas dunia lainnya. Dengan persaingan yang dinamis seperti ini, siapa yang paling berpeluang tampil sebagai juara? Terlalu dini untuk diramalkan. Namun, pasar taruhan saat ini condong menempatkan Prancis di urutan pertama dengan perbandingan 1: 3,25. Wajar, mengingat permainan juara dunia ini begitu solid dan menawan. Di tempat berikutnya berjejer tim Belanda (1:4,5), Italia (1:6), Spanyol (1:9), dan Portugal (1:12). Faktor Belanda sebagai tuan rumah dan Italia sebagai tim yang terkenal liat dalam turnamen bisa dimengerti. Tapi Spanyol? Barangkali prestasi gemilang tiga klub Spanyol—Real Madrid, Valencia, dan Barcelona—di ajang Piala Champions membuat para petaruh masih menaruh harapan tinggi pada tim ini. Kecuali Portugal, tim-tim kuda hitam belum dilirik. Sebagai ilustrasi, taruhan untuk Chek dipantek pada 1:23, di bawah Jerman, yang dipatok 1:19. Sementara itu, di urutan paling buncit adalah Swedia dengan peluang 1:251. Mengapa bisa begini? Tampaknya, petaruh masih bersikap konservatif. Dari 16 negara yang bertanding, hanya tujuh negara—Jerman, Italia, Spanyol, Prancis, Belanda, Denmark, dan Chek (saat masih bergabung dengan Slovakia)—yang pernah mencicipi manisnya gelar juara. Namun, petaruh yang melebarkan pilihan barangkali bisa menangguk untung besar bila menjagoi kuda hitam. Bukankah kemenangan tim "Dinamit" Denmark pada 1992 juga tak ada yang meramalkan sebelumnya? Yusi A. Pareanom

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus