MANA yang lebih penting: menghukum Soeharto atau mendapatkan kembali (sebagian) harta yang telah dijarahnya dari Republik? Bagi Presiden Abdurrahman Wahid, jawabnya sudah jelas. Bila bekas orang kuat Orde Baru itu bersedia menyatakan tobat—dan membuktikan rasa penyesalannya itu dengan mengembalikan harta yang masih dikuasainya kepada negara—pintu maaf akan terbuka. Sebagai kepala negara, Gus Dur telah menyatakan akan menggunakan hak prerogatifnya untuk memberikan pengampunan. Sebab, kata kiai dari Ciganjur itu, ia ingin membebaskan bangsa Indonesia dari sandera dendam.
Keinginan yang luhur tapi perlu ditanggapi dengan kritis. Soalnya, upaya pembebasan orang ramai dari jerat vendeta tak dapat dilakukan hanya dengan pengampunan. Lihatlah upaya Nabi Muhammad ketika mencerahkan umatnya dari kabut Jahilliyah. Belenggu dendam diputus tidak semata dengan rasa kasih dan semangat memaafkan, melainkan juga penegakan keadilan melalui mekanisme hukum.
Dengan berisiko bernuansa klise, tak ada salahnya mengingat kembali fungsi utama hukum sebagai cara beradab untuk menyelesaikan sengketa di masyarakat, sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan sebelumnya. Karena itu, agar mampu menghasilkan rasa adil di kalangan orang ramai, semua perangkat hukum seharusnya merupakan hasil persetujuan bersama yang berlandaskan pada prinsip kesetaraan setiap manusia.
Dalam kerangka pemikiran seperti ini, niat Presiden Abdurrahman Wahid untuk menyelesaikan kasus Cendana secara politik—untuk mudahnya kita sebut saja sebagai politik barter Presiden—lebih mudah dipahami. Masalahnya, seorang diktator yang berkuasa begitu lama seperti Soeharto—juga Marcos di Filipina, Mobutu Sese Seko di Zaire, dan Baby Doc di Haiti—pada akhirnya menciptakan hukum sesuai dengan kepentingannya. Mereka, secara sadar, telah memelesetkan adagium kekuasaan berdasarkan hukum (rule of law) menjadi memperalat hukum untuk kekuasaan (rule by law). Karena itu, jangan harap perangkat hukum warisan mereka dapat berfungsi sebagai alat penegak keadilan ketika rezim para diktator itu telah runtuh.
Harapan itu, sayangnya, yang kini menyandera sebagian besar rakyat Indonesia. Hiruk-pikuk teriakan para pemimpin gerakan reformasi tentang perlunya supremasi hukum telah memandulkan kepekaan banyak orang tentang hubungan antara efektivitas sebuah produk hukum dan asal-muasal kelahirannya. Harapan yang juga sempat mewabah di Filipina ketika rezim Marcos tumbang (1984), di Zaire ketika Mobutu Sese Seko jatuh (1997), dan di Haiti saat Jean-Claude Duvalier alias Baby Doc tersingkir (1986). Harapan yang berubah menjadi kekecewaan bersama berjalannya waktu, karena hukum terbukti gagal menerbitkan keadilan di ketiga negara tersebut (lihat Sulitnya Memburu Harta Koruptor, halaman 21).
Indonesia patut becermin pada pengalaman-pengalaman buruk itu sehingga tak perlu terjerembap pada jurang kekecewaan yang sama. Bahkan, mudah-mudahan, bersepakat untuk meniru apa yang terjadi di Korea Selatan, yaitu kisah kebesaran jiwa bekas presiden Chun Doo Hwan ketika menyatakan penyesalan dan permohonan maaf kepada bangsanya di depan Majelis Nasional Korea Selatan, 1988. Juga pengakuannya telah menyelewengkan dana publik senilai US$ 23 juta dan kesediaannya untuk mengembalikan uang itu. Tak heran jika kebijakan Seoul memberikan amnesti kepada bekas orang kuat itu pun mendapat dukungan besar rakyat Negeri Ginseng.
Adakah kemampuan kita untuk menapak tilas jalan yang ditempuh bangsa Korea Selatan itu? Agaknya hal ini berpulang pada kepiawaian Presiden Abdurrahman Wahid untuk menjadi penuntun bangsa. Juga pada kesadaran para pemimpin lainnya, baik yang formal maupun yang tidak—atau yang acapkali disebut para elite politik—untuk mendukung upaya ini.
Selain itu, sikap Soeharto dan keluarganya tentu menjadi faktor penting. Kepada mereka sepatutnya hanya diberikan dua pilihan: berjiwa besar mengikuti jejak Chun Doo Hwan secara sukarela atau dipaksa melalui wewenang hukum negara. Pilihan yang sebenarnya lebih baik bagi Keluarga Cendana ketimbang menghadapi kemungkinan terburuk: menjadi terdakwa di pengadilan jalanan.
Skenario terburuk itu bukan tak mungkin terjadi. Apalagi jika tudingan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono tentang peran Cendana dalam berbagai kegiatan provokasi di Tanah Air terbukti benar. Bahkan, seandainya pun tuduhan ini keliru tapi cukup banyak anggota masyarakat yang percaya bahwa berbagai kerusuhan di pelosok negeri ini dipicu oleh kegiatan pendukung dinasti Soeharto, dukungan massa untuk mengadili Soeharto dan keluarga di pengadilan rakyat akan semakin menggunung. Dan kita sadar, bila gunung ini sampai meletus, masyarakat Indonesia akan semakin terempas ke jurang kebiadaban.
Maka, apa boleh buat, kita memang harus berani mengambil keputusan berat demi masa depan bangsa. Pemberian kesempatan kepada Soeharto dan keluarganya untuk memikirkan akan menerima pilihan politik barter Presiden Abdurrahman atau tidak harus ada batas waktunya dan tak boleh terlalu lama. Tekanan hukum harus terus ditingkatkan bersama berjalannya waktu. Sebab, pada akhirnya, kita tak boleh terkesan masih menjadi sandera Keluarga Cendana.
Sebab, seperti kata orang Inggris, kesabaran bukanlah lautan tak bertepi. "Enough is enough"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini