LEBIH dari 20 tahun silam, seorang pendeta di Yogyakarta, Dick Hartoko, menulis perihal burung unta yang punya kebiasaan menyurukkan kepalanya ke dalam pasir. Sang burung enggan melihat realita. Romo Dick menulis dalam kaitan dengan dana non-bujeter yang dikumpulkan lewat Nalo, praktek perjudian massal yang direstui pemerintah pada awal Orde Baru itu.
Pemerintah punya argumen: uang yang terkumpul sangat dibutuhkan untuk mendanai pengembangan olahraga. Namun, sebuah pertanyaan kemudian muncul, jika pemerintah memandang penting, kenapa proyek itu tidak masuk dalam anggaran?
Istilah dana non-bujeter kembali populer belakangan ini, menyusul terbongkarnya skandal Bulog dan sumbangan Sultan Bolkiah. Presiden Abdurrahman Wahid, atau orang-orang di sekitarnya, menyatakan dana-dana itu dipakai untuk keperluan "penyelesaian masalah Aceh".
Namun, para pengelola organisasi yang paling sederhana pun tahu, dana non-bujeter adalah wilayang remang-remang. Baik sumber dana maupun pemakaian dana non-bujeter "sejatinya ada tapi dianggap tidak ada". Di situ pemerintah telah bertindak, dalam istilah Romo Dick, seperti burung unta yang berpura-pura tidak tahu dari mana dana itu diperoleh dan untuk apa digunakan.
Seperti penggunaannya, dana non-bujeter umumnya diperoleh dari sumber yang gelap. Dalam kasus Nalo, Porkas, dan SDSB, dana diperoleh melalui judi yang menyengsarakan rakyat. Dana non-bujeter lain diperoleh melalui kutipan non-pajak, seperti misalnya Dana Reboisasi, yang dikutip dari pemegang HPH.
Di lingkungan tertentu, seperti di kalangan tentara dan polisi, orang menciptakan istilah "dana taktis" atau "dana operasi" sendiri—yang bersifat non-bujeter pula. Sumbernya: memeras pengusaha, mengutip "uang damai" dari sopir-sopir di jalanan, dan bahkan berkomplot dengan penjahat.
Soeharto banyak menciptakan pos-pos non-bujeter seperti itu ketika berkuasa. Dia antara lain meminta sekian persen keuntungan konglomerat dan BUMN untuk pengembangan koperasi. Dia juga menerima sumbangan dari para pengusaha untuk menggemukkan kocek sejumlah yayasan miliknya.
Mengembangkan usaha kecil, membiayai ongkos operasi tentara ataupun polisi, dan membantu bencana alam adalah soal yang teramat penting untuk dikesampingkan dari anggaran negara. Dan melihat ratusan triliun dana BLBI yang menguap di lingkungan perbankan, negara sebenarnya jauh dari kekurangan uang.
Mewarisi Indonesia setelah krisis, pemerintahan Abdurrahman Wahid bisa dipahami kekurangan dana. Namun, argumen "situasi darurat" seperti itu pula yang dulu disampaikan Soeharto untuk membenarkan penciptaan pos-pos dana non-bujeter. Kesalahan serupa tak perlu diulang.
Konsep dana non-bujeter terbukti merugikan publik secara berlapis-lapis. Pertama, publik harus menanggung beban ekonomi biaya tinggi yang dipicu oleh kutipan, suap, setoran, dan pemalakan. Kedua, uang yang terkumpul cenderung dikorup. Ketiga, jika pun tidak masuk kantong pribadi, dana serupa bisa digunakan untuk "operasi politik" melanggengkan kekuasaan seperti di era Golkar sebelum menjadi partai, atau bahkan membiayai "operasi militer" yang menindas rakyat.
Dan terakhir, yang paling laknat, konsep dana non-bujeter telah menyembunyikan korupsi dengan dalih mulia, seperti membantu korban bencana alam, mengembangkan usaha kecil, atau "menyelesaikan masalah Aceh".
Sudah saatnya pemerintahan Abdurrahman Wahid berhenti meniru burung unta Orde Baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini