Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisi juga menyimpulkan bahwa jumlah korban dalam peristiwa itu adalah 35 tewas dan 55 terluka. Dari jumlah yang tewas, 24 jiwa di antaranya melayang oleh tindakan aparat. ”Massa ketika itu beringas dan menyerang aparat sehingga terjadi penembakan,” kata Djoko Soegianto, ketua Komisi. Namun, penyebutan jumlah korban itu sendiri jauh berbeda dengan beberapa kesaksian yang menyebut sampai ratusan jiwa.
Peristiwa 16 tahun silam itu tak hanya membawa maut, tapi juga membawa konsekuensi politik yang luas. Banyak aktivis dan politisi Islam memperoleh label ”ekstrem kanan”. Mereka ditahan, disiksa, dan hak-haknya dikebiri hingga betahun-tahun kemudian. Dan untuk semua itu, Komisi hanya minta agar pemerintah minta maaf dan merehabilitasi nama korban serta memberikan kompensasi bantuan.
A.M. Fatwa, anggota DPR dari Partai Amanat Nasional yang pernah ditahan dan disiksa sebagai buntut kasus itu, memandang aneh keputusan Komisi yang menyatakan tidak ada pembantaian. ”Penembakan membabi-buta aparat kala itu bisa disebut pembantaian massal,” katanya.
Beny Biki, adik kandung Amir Biki, yang tewas dalam peristiwa itu, juga memandang aneh kesimpulan Komisi yang tidak menyebut penanggung jawab ”pelanggaran HAM” dalam peristiwa itu. Komisi tidak menyebut nama Try Sutrisno dan L.B. Moerdani, yang kala itu menjabat Panglima Kodam Jaya dan Panglima ABRI serta bertanggung jawab atas operasi penyerbuan ke Tanjungpriok. ”Kesaksian Mayor (Purnawirawan) Lasmana Ibrahim, yang mendengar ada perintah tembak dengan peluru tajam oleh para atasannya, tidak digunakan oleh KP3 Priok,” kata Beny.
Djoko berpendapat, berdasarkan Undang-Undang No. 39/1999, Komisi hanya diwajibkan memberikan masukan kepada DPR, bukan menyebut nama-nama untuk ditindaklanjuti secara hukum. Ini berbeda dengan komisi sejenis untuk Timor Timur, yang merekomendasikan beberapa jenderal untuk disidik oleh Kejaksaan Agung. ”KP3 Tim-Tim berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1999, sedangkan kami tidak,” katanya.
Munir, Ketua Dewan Pengurus Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), tidak sependapat. ”Selama RUU tentang hak asasi manusia belum disahkan, perpu itu masih berlaku,” katanya. Pasal 11 Perpu No. 1/1999 itu menyebutkan bahwa hasil penyelidikan komisi penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia bisa digunakan sebagai bahan yang cukup bagi penegak hukum untuk melakukan penyidikan. Lebih dari itu, meski saat ini sudah dicabut, saat Komisi dibentuk, Perpu No. 1/1999 masih berlaku.
Rendahnya angka korban juga menjadi sorotan. ”Bagaimana mereka tahu jumlah korban tanpa membongkar kuburan?” kata Beny Biki. Sedikitnya ada empat lokasi kuburan tempat korban dimakamkan, yakni di Mengkok dan Al A’raf, Jakarta Utara, serta di Condet dan Ceger, Jakarta Timur. Keempat lokasi itu tidak disentuh.
Djoko punya dalih, ”Keluarga korban tidak menghendaki kuburan tersebut dibongkar.” Namun, Beny Biki menyangkalnya. ”Selain Dewi Wardah (istri Amir Biki), banyak korban yang setuju makam dibongkar,” kata Beny. Lagi pula, sebagai lembaga penyelidik, KP3 Tanjungpriok sebenarnya tidak perlu minta izin untuk menggali kuburan.
Berbagai kesimpulan aneh itu memunculkan dugaan telah terjadi sesuatu. ”Saya menduga komisi hak asasi manusia dijadikan benteng terakhir penjaga kekebalan hukum bagi militer di Indonesia,” kata Munir.
Munir mengaku memperoleh laporan tentang adanya pertemuan jajaran petinggi TNI dengan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Markas Besar TNI pada Maret lalu. Dalam pertemuan itu, Komnas HAM minta agar Panglima TNI memberikan kompensasi kepada keluarga korban. Sebaliknya, ”Para korban tidak akan menuntut proses hukum selanjutnya,” katanya lagi. Komisi telah bertindak menjadi semacam broker.
Dugaan ada kesepakatan itu klop dengan hasil yang dilontarkan KP3 Tanjungpriok. ”Aneh, jumlah korban yang disebut Komisi kok sama dengan kesaksian Try Sutrisno?” kata Beny. Apalagi, dua hari menjelang hasil itu diumumkan, ada pertemuan sejumlah anggota Komisi dengan beberapa korban di Hotel Cempaka Sari. ”Pertemuan itu dibiayai oleh KP3 dan para korban digiring untuk melakukan upaya damai,” kata Beny.
Belakangan memang ada kelompok korban yang menginginkan agar kasus 12 September 1984 itu diselesaikan secara damai. Pelaku minta maaf dan nama mereka direhabilitasi, tentu saja dengan imbalan sejumlah uang untuk kompensasi penderitaan mereka. ”Anak kami butuh sekolah dan itu artinya uang,” kata Nasrun, salah satu korban, kepada TEMPO Interaktif.
Berbeda dengan kasus Timor Timur, yang segar, pembantaian Tanjungpriok telah berlangsung lama. Banyak bukti telah terbenam di bawah tekanan rezim Orde Baru untuk menindasnya. Banyak korban juga telah lelah mencoba mencari keadilan yang tidak kunjung tiba. Lebih dari segalanya, berbeda dengan Timor Timur, tak ada tekanan internasional yang begitu besar untuk menyidik kasus ini secara lebih serius.
Johan Budi S.P., Iwan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo