RUDY Hartono pegang lakon baru. Ia terpilih untuk menduduki
kursi Ketua Bidang Pembinaan PBSI--induk organisasi bulutangkis
nasional. "Pilihan tepat," kata Ketua KONI Pusat Soeprajogi
seusai pengukuhan pengurus haru PBSI di ruang resepsi gedung
KONI di Senayan, pekan lalu. Ia optimistis Rudy akan membawa
angin segar dalam pembinaan bulutangkis nasional. Pengurus PBSI
periode 1981-1985 diketuai oleh Ferry Sonneville.
Soeprajogi benar. Rudy, walau sehari-hari masih jadi pemain,
ternyata cukup jeli melihat kelemahan pembinaan di masa lalu.
"Terlalu mengabaikan masalah latihan teknis," kata Rudy.
Sinyalemen ini diperkuat pula oleh Eddy Yusuf, bekas pemain
Piala Thomas di tahun 1950-an.
Pola pembinaan bulutangkis di Indonesia sejak 1967 memang
diarahkan pada pengembangan sistem permainan yang disebut: speed
and power game. Gaya yang mengandalkan kecepatan dan kekuatan.
Di sini yang dibutuhkan adalah kondisi fisik prima dari atlet.
Sekarang sistem itu telah ditiru musuh. Sehingga-perlu dicari
metode baru. "Resep saya adalah skill, speed, and power," kata
Rudy. Ia menambahkan suksesnya selama ini adalah berkat
penggabungan ketiga unsur itu.
Mengenai ketrampilan (skill) menurut Rudy, adalah pematangan
pukulan (strokes) yang meliputi drops out, smasf, dan
sebagainya. Faktor ketrampilan juga merupakan resep dari pemain
legendaris Wong Peng Soon. "Jika cuma mengandaikan kecepatan dan
kekuatan saja anda akan habis," kata Wong yang menetap di
Singapura.
Di RRC soal ketrampilan ini sudah lama dikembangkan. Pemain
mereka bahkan punya ciri khas: memiliki kelincahan gerak
pergelangan tangan. Kelebihan ini banyak menopang kelemahan
fisik. Lihat saja misalnya, waktu Luan Jin melawan Dhany
Sartika dalam pertandingan Indonesia melawan RRC di Singapura,
1980. Walau, waktu itu, Luan sudah kehabisan napas, smaslnya
masih saja menghunjam tajam. Sementara Dhany, sedikit lebih
segar dari lawan tak sanggup berbuat serupa.
Kini Luan, menurut cerita Rudy, sudah makin hebat. Ia memiliki
ketrampilan, kecepatan, dan kekuatan secara sempurna. "Prakash
(Padukone) waktu ketemu Luan tak berkutik sama sekali," kata
Rudy. Prakash adalah juara All England 1980, yang diakui sebagai
salah seorang pemain terbaik dunia saat ini, dikalahkan Luan
dalam Turnamen Masters di London, September.
Tiga- pedoman pokok, pembinaannya--ketrampilan, kecepatan, dan
kekuatan--menurut Rudy akan dijadikannya pegangan bagi pembinaan
bulutangkis nasional. Dalam waktu dekat sistem ini akan
diterapkannya di pelatnas. "Kalau sistem ini tidak diterapkan
mulai sekarang bisa-bisa nasib kita seperti Malaysia," kata Eddy
Yusuf. Malaysia, (d/h Malaya) di tahun 1950 adalah pemegang
supremasi bulutangkis dunia. Tapi sukses yang diraih itu membuat
mereka lupa diri. Akhirnya mereka "tenggelam" sampai sekarang.
Bagaimana dengan pembinaan di daerah? Program Rudy adalah
menghidupkan kembali kompetisi klub. Terutama untuk tingkat
junior. "Basis kekuatan kita adalah di perkumpulan," kata Rudy.
Ia menambahkan sebagai perangsang bagi klub yang menjadi juara
nasional akan diberi kesempatan mewakili Indonesia dalam
turnamen diluar negeri -- suatu hal yang tak terbetik di masa
kepengurusan lalu.
Ada Jalan Keluar
Gagasan lain yang ingin direalisasikan Rudy adalah pemencaran
(desentralisasi) pelatnas. Tahun 1974 Kongres PBSI di Semarang
pernah menugasi kepengurusan Sudirman untuk melaksanakan ide
ini. Tapi gagal. Tak ada biaya. Kini Rudy telah menemukan jalan
keluar: biaya dipikul bersama antara pengurus besar dan pengurus
daerah. Tentang daerah yang dipilih jadi proyek desentralisasi
belum diputuskannya.
Yang juga akan digalakkan Rudy adalah pencarian bakat ke daerah
seperti yang dirintisnya dengan perusahaan susu Indomilk di
tahun 1975. Waktu itu beberapa pemain muda usia dari berbagai
pelosok dibiayai perusahaan susu tersebut untuk dilatih di
Jakarta selama tiga pekan. Di masa datang, menurut Rudy,
waktunya mungkin akan diperpanJang. Standar pemain yang akan
dipilihnya: putra punya tlnggi minimal 170 cm dan putri 165 cm.
"Postur banyak mempengaruhi prestasi," kata Rudy. Ia sendiri
tingginya 178 cm.
Kritik dialamatkan pula oleh Rudy terhadap pembinaan yang
panjang di pelatnas. Ia mengatakan sebagai hal yang membosankan.
Juga pemborosan uang. "Cuma jalan keluarnya belum ditemu kan,"
kata Rudy. Ia berpendapat pelat nas bisa dipersingkat bila di
daerah su dah ada pusat latihan berstandar nasio nal--termasuk
penyediaan teman ber latih yang imbang.
Tentang pembinaan pemain putri Rudy akan menempuh cara yang
dilaku kan di Jepang. Dosis maupun beban latihan akan
ditingkatkannya. Risikonya para wanita itu akan berotot -- dan
mungkin kurang feminin. Kefemininan seorang wanita, menurut Rudy
tidaklah ditentukan oleh bentuk tubuh. Tapi dari sikap. "Lenne
Koppen, pemain nomor 1 Eropa saat ini, yang di lapangan
kelihatan kayak laki-laki itu, setelah pertandingan toh tak beda
dengan wanita lainnya," ujar Rudy.
Program pembinaan yang direncanakan Rudy, menurut Ferry, akan
dilaksanakan secara bertahap. Mengingat tugas yang dipikul cukup
berat. Antara lain harus mempertahankan Piala Thomas. Dalam
pertandingan di London, Mei 1982 Indonesia akan mendapat saingan
keras dari RRC. "Asal persiapan kita baik tak usah khawatir
dengan RRC," kata Ferry. Ia menyebut peluang kita dengan RRC
sama besarnya.
Mengenai dana yang diperlukan untuk pembinaan, meliputi
pengeluaran di pelatnas dan pengembangan daerah, diperkirakan
Ferry sekitar Rp 300 juta per tahun. Walau saat ini kas PBSI
cuma Rp 21 juta, ia yakin kebutuhan akan terpenuhi. KONI Pusat,
kata Ferry, telah menjanjikan akan membantu kepengurusannya.
"Kalau semua rencana ini jalan, saya yakin supremasi dunia akan
, tetap di tangan kita," ujar Eddy Yusuf.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini