HAMPIR di setiap toko pakaian di kota-kota besar selalu dipajang
celana jean dan T-shirts yang cukup beragam. Apalagi kalau
tokonya ditata gaya Eropa Barat atau Hongkong--tulisan cheap
sale sebesar gajah dan musik rock memekakkan telinga--biasanya
ramai dikunjungi orang. "Yang dicari selalu jahitan Jakarta dan
yang impor kurang laku," kata seorang manajer toko pakaian jadi
tersohor di Jakarta. Dia menolak untuk disebut nama tokonya,
tetapi menurut pengakuannya, tokonya kini cuma menampung pakaian
jadi impor sekitar 20%. Selebihnya pakaian jadi bikinan lokal
yang jauh lebih murah. "Mutu baju jadi bikinan lokal kini tidak
kalah dengan jahitan luar negeri," sambungnya. Misalnya celana
jean harganya berkisar Rp 10.000, kalau yang merk Levi's iahitan
Hongkong bisa dua setengah kali lipat. T-shirts bervariasi
antara Rp 1.500 sampai sekitar Rp 4.000.
Beberapa pabrik pakaian jadi di seputar Jakarta semakin mantap
baik dalam hal mutu maupun pemasarannya. Gani Sanjaya dari PT
Lea Sanent misalnya, di tahun 1973 masih mengimpor jean merk Lea
dari Singapura. Tahun 1979 Lea mulai dibuat di Indonesia. Tahun
ini dari 40.000 potong celana jean yang dihasilkan setiap bulan,
sekitar 30% dibeli orang di Jakarta. Dari kekayaan assets)
sekitar Rp 60 juta, di tahun 1973 itu melonjak jadi Rp 1,1
milyar pada 1981.
Mengaku memakai bahan lokal 50%. Sanjaya mengeluh tentang
prosedur impor yang masih berbelit-belit. Menurut penakuannya,
Lea diekspor ke AS sekitar 20% saja. Sedangkan jean merk Tira
kini tidak lagi ekspor ke Eropa. "Karena merugi," kata Ir. F.
Djamaludin, direktur PT Tira Garment. Rupanya salah satu
produsen yang terkena pembatasan kuota dari negara MEE.
Tira kini cenderung memusatkan pasarannya untuk konsumen dalam
negeri saja. Mulai memproduksi sejak 1977, hasil jean-nya kini
sudah sekitar 60.000 potong setiap bulan. Johnny Tandrianto,
direktur pemasaran Tira mengaku pasaran terbesar mereka masih di
Jakarta sekitar 20% dari produksi. Selain jean, Tira juga
memproduksi aneka model T-shirts dan celana pendek. Saingan?
"Untuk baju kaus, merk Join-In saingan serius kami," kata
Johnny. Kaus merk Join-In--yang baru 2 tahun lalu mendapat
lisensi label dari Hongkong -- memang cukup santer mempromosikan
hasil produksinya. Konon produksinya kini mencapai 40.000 baju
kaus setiap bulan.
Si Perancang Italia
"T-shirts bukan produksi utama kami, " kata Daniel Oei, direktur
PT Baliwig yang memproduksikan jean merk Raphael. "T-shirts dan
kemeja kami buat sedikit saja, sekedar pelengkap." Produksi
utamanya memang celana jean. Oei yang menggantikan Djamal
Wibisono, adiknya yang meninggal Agustus lalu, meneruskan usaha
pengembangan Baliwig. Produksi jean mereka kini sudah mencapai
150.000 potong/bulan. "Dan 70% dari jumlah itu kami ekspor."
Selain pameran di Hotel Borobudur akhir Oktober lalu, Baliwig
juga memakai pendisain asing asal Florence, Italia, Armando
Gedhini. Si Italia itulah yang merancang model-model jean dan
pakaian anak muda sekarang dengan nama Californian.
Menolak untuk menyebutkan berapa besar kekayaan perusahaannya,
Baliwig kini menampung 1.800 tenaga kerja. Pasaran utamanya AS
dengan kantor tetapnya di California, Baliwig bekerjasama dengan
perusahaan garmen Bell Mart Industries di AS. Merk-merk seperti
Gloria van der Bilt, Givenchy atau Paradise ternyata adalah
jahitan Baliwig tanpa lupa mencantumkan label made in Indonesia,
Bisnis celana jean rupanya mendapat angin lumayan. Salah seorang
pengurus PIBTI (Persatuan Industri Barangjadi Tekstil Indonesia
mengkhayal "Kalau saja 10% orang Indonesia membeli jean satu
potong dalam setahunnya, Indonesia memerlukan 15 juta celana
jean. "Dan kami tidak bisa memenuhi jumlah tersebut lewat
seluruh mesin-mesin kami." Ia tak menjelaskan apakah organisasi
tekstil itu berminat untuk membuat sensus celana jean di sini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini