Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Bakat Muda dari Sekolah Bola

Sekolah sepak bola menjadi produsen pemain muda berbakat. Melakukan perekrutan sendiri dan mengirim pemainnya berlatih ke luar negeri.

15 Oktober 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bakat Muda dari Sekolah Bola

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN napas terengah dan peluh bercucuran, Yogi Hermawan berlari ke dalam Stadion Bea-Cukai, Jakarta Timur. Sebagian besar rekan setimnya di Sekolah Sepak Bola Bina Taruna masuk lebih dulu setelah melahap rute lari sekitar lima kilometer.

Kelar beristirahat dan mengatur ritme napasnya, kiper 14 tahun itu bergegas bergabung dalam latihan di halaman depan stadion. "Saya bisa menyesuaikan pola latihannya," kata Yogi kepada Tempo, Selasa dua pekan lalu.

Anak-anak Bina Taruna mengisi sekitar 90 persen slot pemain tim Provinsi DKI Jakarta di putaran final Piala Soeratin 2017. Turnamen yang diikuti 30 tim ini digelar di Yogyakarta, 14-28 Oktober. Mereka berada dalam satu grup dengan tim Riau dan Sumatera Selatan. "Ajang ini bisa menambah pengalaman mereka," ujar Pelatih Kepala Bina Taruna Saut Lumban Tobing, Kamis pekan lalu.

Perekrutan Yogi berawal dari terbatasnya stok kiper Bina Taruna. Saut membutuhkan penjaga gawang baru setelah timnya ditinggalkan Wildan Mauluddin dan Muhammad Riyandi. "Mereka kiper terbaik kami," kata Saut.

Wildan kini bermain di Persiba Balikpapan U-19. Kiper bertinggi badan 1,9 meter itu membantu Bina Taruna di turnamen Gothia 2014 dan 2015. Sementara itu, Riyandi bergabung dengan Barito Putera dan direkrut menjadi kiper tim nasional U-19. Namun ia harus absen selama enam bulan karena cedera saat membela timnas U-19 di Piala AFF bulan lalu.

Saut memperoleh informasi tentang Yogi dari kawannya sesama pelatih di Medan. Pelatih dengan lisensi B itu puas setelah melihat Yogi bermain di Medan. Dia pun mendatangi orang tua Yogi, meminta izin membawanya berlatih di Jakarta. "Mereka sangat tertarik dan mendukung Yogi ke Jakarta."

Akhir September lalu, Yogi langsung ikut latihan. Pemain dengan tinggi 1,8 meter itu tadinya anggota PS Thamrin Graha Metropolitan Medan yang berlaga di Liga 3. "Target saya bisa main untuk tim nasional," ujar Yogi, yang mengidolakan kiper Arema FC dan tim nasional Kurnia Meiga.

Bina Taruna adalah salah satu sekolah sepak bola yang melahirkan pemain muda berbakat. Sutan Diego Armando Ondriano Zico, yang mencuri perhatian publik saat berlaga di Piala AFC U-16 di Thailand bulan lalu, adalah salah satu produknya. Zico menjadi pencetak gol tersubur dengan 10 gol di babak kualifikasi dan membantu tim asuhan Fachri Husaini lolos ke putaran final di Malaysia tahun depan.

Sejak mengamati Zico di turnamen U-11 di Bogor, Jawa Barat, empat tahun lalu, Bina Taruna berminat memboyongnya. Beruntung pelatih Bina Taruna, Bonni Wijaya, mengenal ayah Zico, Oriyanto Jhosan, yang dulu rekannya bermain bola. Bonni berhasil membujuk Oriyanto agar Zico bergabung dengan Bina Taruna. "Selain di klub, bakat dia diasah ayahnya."

Zico menunjukkan tajinya saat membela Bina Taruna di Liga TopSkor U-13 dengan membukukan 23 gol. Di Liga Kompas, Zico mengemas lebih dari 30 gol. Chelsea Soccer School Singapore terpesona dan menariknya berlatih bersama. Aktivitas ini sempat mengurangi waktu latihannya di Bina Taruna. Tapi ketajamannya sebagai striker terus bertambah. "Dia jadi kapten timnas U-15 di Piala Gothia," kata Saut.

Memburu talenta muda juga dilakukan akademi Asli Sepak Bola Anak Desa (ASAD) 313 Jaya Perkasa, Purwakarta, Jawa Barat. Mereka berkonsentrasi mendapatkan pemain di desa-desa yang sebelumnya tak terpantau. "Banyak yang berbakat dan fisiknya kuat, tinggal dimatangkan dan dilatih strategi bermain," ucap Manajer ASAD 313 Alwi Hasan.

Salah satu pemain baru yang masuk radar ASAD adalah Suwanto, bocah 14 tahun dari Karawang, Jawa Barat. Menurut Alwi, kemampuan Suwanto mirip Egy Maulana, pemain asal Medan yang diboyong Indra Sjafrie untuk membela Indonesia di Piala AFC U-18 di Myanmar. "Kami masih berunding dengan keluarga untuk memboyong Suwanto," kata Alwi.

Terbuka bagi anak di seluruh Indonesia, ASAD 313 menerapkan sistem kuota 33 pemain. Akademi menyediakan beasiswa, fasilitas latihan, pendidikan, dan asrama gratis. ASAD juga merekrut pelatih berlisensi dan mengirim pemainnya berlatih di klub-klub di Eropa. Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi ikut mendukung program ASAD. "Ada bantuan dana dari pemerintah daerah," tutur Alwi.

Akademi ini menjalankan kurikulum sendiri dengan program latihan mulai Senin hingga Jumat. Mematangkan kemampuan bahasa Inggris dan pendidikan agama pemainnya juga masuk dalam program ASAD. "Kalau ada anak yang bosan lalu mundur atau melanggar aturan bisa diganti," katanya.

Program ASAD membuahkan hasil. Namanya dikenal dunia saat mewakili Indonesia di Danone Nation Cup U-12 di Brasil, dua tahun lalu. Sebelum dihentikan Cile di perempat final, ASAD menaklukkan dua tim unggulan, Afrika Selatan dan Belgia, di penyisihan grup serta mengalahkan juara bertahan Prancis. "Padahal ASAD baru dibentuk sekitar dua tahun sebelumnya," ujar Alwi.

Sekolah sepak bola terbukti mampu menyediakan pemain muda berbakat bagi klub dan tim nasional. Ironisnya, SSB harus menghidupi dirinya sendiri. Orang tua kerap mengumpulkan uang untuk menggaji pelatih, membeli peralatan, sampai ongkos mengikuti turnamen. "Tanpa sponsor, anggotanya membantu sekolah sepak bola bertahan," kata Ketua Asosiasi Sekolah Sepak Bola Indonesia (ASSBI) Amarta Imron, Rabu pekan lalu.

Saat ini, ada sekitar 2.000 sekolah sepak bola di 24 provinsi yang berafiliasi dengan ASSBI. Namun, menurut Amarta, masih banyak SSB yang tak terdata. Masalah lainnya, sebagian besar tak memiliki sistem manajemen memadai. Pelatih bahkan terpaksa mengurusi beberapa tugas administrasi sekaligus.

Amarta mengatakan pendataan pemain menjadi prioritas untuk diperbaiki. Dengan data lengkap, manajemen klub dan tim nasional bisa lebih mudah mencari pemain. SSB juga mendapatkan manfaat dari klub. "Seperti di Eropa, statistik pemain dari menit bermain sampai gol tersedia. Ongkos mahal blusukan mencari pemain bisa ditekan," ucap Amarta.

Bekerja sama dengan akademi klub asing menjadi trik SSB mengembangkan kualitas pemain mereka. Pada Maret lalu, Bina Taruna menggandeng klub Liga Jepang, FC Tokyo, untuk mengirim tiga pemainnya berlatih di klub itu. Dua di antaranya, Luthfi Kamal dan Dava Aldiasyah, kini bergabung dengan tim nasional U-19.

Dua anggota angkatan pertama ASAD 313, Hamsa Lestaluhu dan Ahludz Dzikri, juga dikirim latihan ke klub London, Queens Park Rangers. Mereka kini menjadi penggawa timnas U-16. Pemain berbakat ASAD yang lain terus tumbuh. Enam anggotanya sudah direkrut tim Jawa Barat untuk Piala Soeratin 2017.

Menurut Taufik Jursal Effendi, Manajer Estrellas de Futbol yang menjadi mitra La Liga Academy di Indonesia, kurikulum pembinaan pemain muda di Indonesia belum terarah. Saat ini lebih banyak sekolah sepak bola yang tumbuh ketimbang akademi milik klub.

Taufik mengatakan, idealnya, pemain dibentuk di akademi klub yang seharusnya memiliki fasilitas latihan lebih baik. Adapun di SSB, anak-anak seharusnya menggeluti sepak bola sebagai permainan. "Klub ternyata tidak mampu menangani pembinaan pemain muda. Sebagian besar pemain di kompetisi asalnya dari SSB," kata Taufik, Selasa dua pekan lalu.

La Liga Academy berkonsentrasi pada pembinaan pemain berumur 6-16 tahun dengan mengadopsi kurikulum La Liga Spanyol. Bergulir pada November, Indonesia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang dilirik La Liga Spanyol untuk mengembangkan akademi ini. "Programnya untuk mengenalkan sepak bola dan pelatihan yang sesuai pada anak-anak. Akademi akan dibimbing pelatih dari La Liga Spanyol," ujar Taufik.

Amarta Imron berharap SSB menjadi wadah anak-anak berkenalan dengan permainan sepak bola. Menurut dia, anak akan tekun berlatih jika menganggap sepak bola menyenangkan. "Enggak perlulah anak kecil disuruh latihan terus tanding," katanya.

Urusan sepak bola untuk prestasi, menurut Amarta, seharusnya dilakukan klub-klub profesional dan akademinya. Tapi kondisi ini sulit tercipta karena sebagian besar klub di Indonesia justru tak memiliki akademi bagus. "Membangun akademi klub berkualitas itu investasi. Nyatanya, lapangan saja banyak yang tak punya."

Gabriel Wahyu Titiyoga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Âİ 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus