Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CERITA dari dua dokter tentang rumah di kawasan Santiong, Kota Ternate, Maluku Utara, yang didiami insinyur Jepang pada masa pendudukan membuat Sangkot Marzuki bersemangat. Kedua dokter itu- Ahmad Najib Aziz dan Mochtar Zein Pattiha- bercerita bahwa orang Jepang tersebut selalu membanggakan rumahnya sebagai kediaman Alfred Russel Wallace hampir seabad sebelumnya.
"Penelitian kami terinspirasi dari cerita itu. Penelitian saya bersama Syamsir Andili ini komprehensif, mempertimbangkan semua sudut cerita Wallace tentang rumahnya," ujar Sangkot, yang menjabat Presiden Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Direktur Eksekutif The Wallacea Foundation, saat dihubungi pada Ahad pekan lalu.
Yang dimaksud Sangkot dengan cerita Wallace adalah deskripsi rumah yang terdapat di buku The Malay Archipelago. Catatan pengamatan ahli biogeografi Inggris itu terbit pada 1869. Perayaan 150 tahun buku itu akan digelar pada 2019 dan 16 Oktober ini AIPI bersama British Council menyelenggarakan kuliah umum dalam rangkaian Wallacea Week 2017 sebagai pembuka acara akbar tersebut.
Dalam Bab XXI buku itu, Wallace menyebutkan rumahnya di pulau yang tersiksa gempa bumi tersebut dekat dengan pusat kota serta memiliki akses ke pedalaman dan gunung. Meski agak porak-poranda, kata Wallace, rumah itu sangat nyaman, tempat ia mengemas koleksinya, memulihkan kondisi tubuh, dan menyiapkan diri untuk perjalanan berikutnya.
Menurut dia, rumah itu berada sekitar lima menit perjalanan ke pasar dan pantai; antara rumah dan gunung tak ada lagi rumah-rumah orang Eropa. Di bawah rumah itu ada benteng yang dibangun Portugis dan sekitar satu setengah kilometer ke arah timur laut ada bangunan Istana Sultan. Di belakang rumah ada sumur yang memberikan air dingin dan murni.
Berdasarkan petunjuk Wallace itu, Sangkot memulai penelitian mencari tapak rumah yang dihuni Wallace sejak tiba di Ternate pada 8 Januari 1858 hingga keberangkatannya pada tahun baru 1861. Berbekal peta jalan Ternate dari buku Bijdragen tot de kennis der Residentie Ternate karya F.S.A. de Clercq tahun 1890, Sangkot menyimpulkan akses pusat kota dengan gunung yang dimaksud Wallace adalah jalan yang kini bernama Jalan Juma Puasa di Kelurahan Santiong.
Sumbangan penting dalam penelusuran itu datang dari Syamsir Andili, mantan Wali Kota Ternate tiga periode yang lahir dan besar di Santiong. Syamsir mewawancarai para penduduk tua yang juga besar di Santiong. Ia mendapati dua sumur dalam di kawasan Santiong yang menjadi sumber air bersih warga Santiong turun-temurun.
Salah satu sumur masih mengalirkan air melalui mesin pompa. Sumur itu berada di pekarangan belakang rumah Puanga Tjandra. Rumah Puanga itu sekitar 800 meter dari pasar, dekat dengan ujung sebelah barat Benteng Oranye seperti petunjuk Wallace.
Puanga, 65 tahun, mengatakan rumah itu sebelumnya milik keluarga Yusuf Bai. Ia membelinya pada 1972. Saat itu, bangunan masih berdinding batu kapur dengan atap daun pohon rumbia. Di kedua sisi rumah masih banyak tumbuh pohon pala dan cengkih. "Kalau ditanya sejarah rumah ini, saya kurang tahu. Yang saya tahu, ini dulu rumah almarhum Ucu Bai (Yusuf Bai)," ucap Puanga.
Bangunan rumah itu dirobohkan pada 1996 dan ia mendirikan bangunan baru dari dasar. Kini rumah memiliki dua massa bangunan. Yang utama berukuran 10 x 15 meter dengan tiga kamar tidur dan dua ruang tamu. Di sisi kanan depan terdapat warung berukuran 5 x 6 meter, yang di sampingnya menjulur Lorong A.R. Wallace.
Di bagian belakang rumah hanya tanah kosong dengan sumur yang sudah ditutup beton. Peninggalan pemilik lama yang tersisa hanyalah sebuah tiang beton penyangga sumur. Menurut Puanga, mulut sumur sedalam 13 meter itu ia tutup pada 2003 untuk mencegah masuknya sampah.
Pada 3 Desember 2008, di halaman depan rumah Puanga itu, Syamsir Andili yang menjabat Wali Kota Ternate (pada 2005-2010) meletakkan batu pertama untuk monumen yang menyatakan di rumah tersebut Alfred Russel Wallace pernah tinggal. Ia juga mengganti nama jalan yang semula Jalan Nuri menjadi Jalan Alfred Russel Wallace sebagai penghargaan terhadap Wallace dan demi misi menarik minat wisatawan. "Makanya saya sangat kecewa nama jalan itu diganti," ujar Syamsir saat ditemui di rumahnya di Batu Anteru, Ternate, Ahad pekan lalu.
Syamsir menyesali keputusan Pemerintah Kota yang mengganti Jalan Alfred Russel Wallace menjadi Jalan Juma Puasa, tepat enam bulan setelah ia lengser. Rencana pembangunan Observatorium Wallace di lahan seluas 8.000 meter persegi yang digagasnya pun urung terwujud. "Kami ingin mendorong Kota Ternate sebagai pusat kajian ilmu pengetahuan para peneliti dunia. Sebagai bentuk komitmen, Jalan Nuri diganti menjadi Jalan Alfred Russel Wallace," tutur Syamsir.
Zulkifli Bian, tokoh pemuda Santiong, mengatakan perubahan nama jalan lantaran masyarakat Santiong asing terhadap Alfred Wallace. Pemerintah Kota Ternate saat itu, kata dia,bahkan tidak dapat menjelaskan secara rinci sejarah Wallace kepada masyarakat sehingga mereka mendesak menggantinya dengan nama tokohpejuang asal Santiong.
Penetapan Syamsir terhadap rumah Puanga sebagai tapak rumah Wallace juga dikritik Maulana Ibrahim, dosen Fakultas Teknik dan Peneliti Arsitektur dan Pusaka Kota Universitas Khairun. Menurut dia, rumah itu belum memiliki bukti kuat untuk dikatakan sebagai rumah Wallace. "Ini karena riset yang dilakukan pemerintah hingga pada saat penetapan rumah itu tidak diketahui dan dipublikasikan dengan baik," ujar Ibrahim, yang juga Ketua Ternate Heritage Society, menjawab surat elektronik Tempo, Senin pekan lalu.
Menurut Ibrahim, selain berfokus ke rumah tua pusaka Indonesia, pemerintah harus melakukan penelitian khusus untuk menyiapkan data lengkap tentang rumah Wallace. "Jika ada pihak luar negeri mau membantu membangun kembali, tidak ada perdebatan lagi soal lokasinya."
Baik Ibrahim, Syamsir, maupun Sangkot sepakat dengan pentingnya penemuan tapak dan pembangunan kembali rumah yang pernah dihuni Wallace di Ternate. Alasannya, Rumah Ternate Wallace sangat terkait dengan sejarah lahirnya Teori Evolusi melalui Seleksi Alam.
Dari situlah "Surat dari Ternate" yang termasyhur itu ditulis dan dikirimkan Wallace kepada Charles Darwin serta Henry Walter Bates dan Frederick Bates. Surat itu melampirkan makalahnya berjudul "On the Tendency of Varieties to Depart Indefinitely from the Original Type".
Wallace menguraikan temuannya atas pertanyaan yang tak terjawab selama tiga tahun ekspedisi di Kepulauan Nusantara. Sebelumnya, ia tak mengetahui mengapa dan bagaimana makhluk hidup berubah menjadi bentuk baru, beradaptasi dengan lingkungan, serta menghilang. Jawabnya adalah "seleksi alam" dan "yang terkuat akan bertahan", dua frasa kunci ini kemudian muncul dalam buku Darwin, On the Origin of Species.
Surat yang dikirim Wallace dari Ternate pada 9 Maret 1858 inilah yang kemudian mengungkap Wallace juga adalah penemu Teori Evolusi bersama Darwin, yang selama 150 tahun dikukuhkan secara eksklusif sebagai Bapak Teori Evolusi. "Di Kota Kuching di Sarawak, tempat Wallace bekerja dan menulis âSurat dari Sarawakâ rapi terurus. Di Bantimurung, Sulawesi Selatan, tempat Wallace lama bekerja, dan di Ternate, tempat teori akbar mengenai evolusi lahir, sama sekali bersih dari tanda-tanda yang mengingatkan adanya penemuan paling besar pada abad ke-19 itu. Sayang sekali," tulis Sangkot.
Dody Hidayat, Budhy Nurgianto (ternate)
Merekonstruksi Rumah Wallace
DALAM The Malay Archipelago, selain menggambarkan denah, Alfred Russel Wallace mendeskripsikan struktur dan bahan bangunan rumahnya, yang ia sebut sebagai model bangunan yang sangat umum di Pulau Ternate. Rumah itu berdinding batu setinggi satu meter. Seluruh bagian atas dinding- kecuali di beranda- dan plafon terbuat dari susunan rapat pelepah daun sagu. Lantainya dari plesteran semen. Rumah yang mirip dengan gambaran Wallace itu berdasarkan penelitian Sangkot Marzuki dan Syamsir Andili masih ada dua di kawasan Santiong, Ternate.
Ketua Ternate Heritage Society Ibrahim Maulana menyatakan rumah yang dimaksud Sangkot dan Syamsir itu merupakan jenis rumah rakyat yang disebut fala kanci yang bukan rumah bangsawan. Menurut Ibrahim, Duivenboden (Maarten Dirk van Renesse van Duivenbode), yang mencarikan rumah bagi Wallace, akan memberikan rumah bangsawan yang bergaya kolonial alias arsitektur Indies dengan bentuk atapnya menjulang tinggi. Contoh rumah ini adalah rumah keluarga sultan yang selama ini diklaim sebagai Rumah Wallace di kawasan Soa Sio. Tapi, kata Ibrahim, fala kanci bisa dikategorikan rumah bangsawan jika lebarnya lebih dari 8 meter dan panjang lebih dari 15 meter. Wallace menyebutkan dimensi rumahnya 12 x 12 meter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo